JAKARTA, KOMPAS.TV- Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengapresiasi langkah pemerintah menaikkan cukai rokok di 2022.
Menurutnya, kenaikan cukai rokok adalah hal yang memang harus dilakukan.
"Kenaikan cukai rokok sebesar 12 persen adalah keniscayaan regulasi, yang patut diapresiasi. Apalagi disertai dengan simplikasi (penyederhanaan) sistem cukai rokok," kata Tulus dalam siaran pers yang diterima KOMPAS.TV, Selasa (14/12/2021).
Ia menyarankan, agar kenaikan cukai rokok dijalankan bersamaan dengan pengendalian dari sisi pemasaran hasil cukai tembakau.
“Oleh karena itu, kami mendesak pemerintah agar melarang penjualan rokok secara ketengan, atau per batang (single stick sales). Sebab
penjualan rokok secara ketengan menjadi cara yang paling mudah bagi anak-anak dan remaja untuk membeli rokok," ujarnya.
Baca Juga: BPJS Kesehatan Keluar Rp15,6 Triliun per Tahun untuk Obati Penyakit akibat Rokok
Ketua Komnas Pengendalian Tembakau (Komnas PT) Hasbullah Thabrany mengatakan, pemerintah sudah seharusnya tidak lagi takut dengan mitos-mitos kerugian ekonomi ala industri tembakau, yang menghambat dinaikkannya cukai rokok.
"Standar keterukuran pengendalian tembakau sudah jelas: derajat kesehatan dan kesejahteraan masyarakatnya meningkat, bukan sakit-sakitan karena rokok. Jadi rokok mahal itu sudah seharusnya dilakukan, tak perlu mencari-cari justifikasi untuk menunda kenaikan cukai rokok setiap tahunnya," tutur Hasbullah.
"Jangan lupa kita sedang berinvestasi untuk masa depan," tambahnya.
Hasil penelitian Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) UI menyebutkan, rokok berdampak pada terhambatnya pembangunan manusia sekaligus membebani biaya ekonomi dan
kesehatan yang harus ditanggung oleh negara.
Baca Juga: Cukai Rokok Naik, Ini Daftar Lengkap Harga Rokok 2022
Anak dari keluarga dengan perokok aktif 5,5 persen lebih rentan stunting dibandingkan dengan anak dari keluarga yang tidak merokok.
Di lain sisi, kecenderungan naiknya konsumsi rokok di masa pandemi menambah beban ekonomi
dan kesehatan.
Secara makro, negara harus menanggung beban biaya kesehatan sebesar Rp17,9 - Rp27,7 T selama setahun akibat penyakit karena rokok.
"Kebijakan fiskal, salah satunya dengan cukai masih terbukti ampuh untuk dapat menurunkan
prevalensi perokok di berbagai negara di dunia. Kenaikan cukai menjadi penting dilakukan sebagai bentuk kontrol atas produk berbahaya seperti rokok," ujar Hasbullah.
Para pegiat pengendalian tembakau pun berharap, Kemenkeu akan terus menyederhanakan sistem cukai, sehingga tidak memberi peluang kepada industri untuk berpindah-pindah ke golongan bertarif rendah.
Baca Juga: Punya Utang BLBI, Aset Tommy Soeharto Rp2,4 Triliun Dilelang Bulan Depan
Selain itu, adanya kenaikan batas minimum Harga Jual Eceran (HJE) juga dapat memungkinkan memahalkan harga rokok di pasaran. Pengenaan cukai terhadap Hasil Produk Tembakau Lainnya (HPTL) juga perlu mendapatkan perhatian, karena konsumsi dan penggunaannya di kaum muda juga sangat meningkat.
"Negara harus konsisten, tidak lagi melihat cukai rokok sebagai sumber pendapatan negara melainkan suatu kebijakan untuk melindungi kesehatan masyarakat. Di mana hasil cukainya dapat digunakan kembali oleh masyarakat, terutama untuk mengatasi masalah yang diakibatkannya," lanjut Hasbullah.
Dalam kesempatan yang sama, Chief
Strategist CISDI Yurdhina Meilissa menyampaikan hasil studi lembaganya. Berdasarkan hasil analisis input-output, kenaikan cukai rokok tidak serta merta berdampak buruk bagi perekonomian, seperti yang selama ini kerap dikhawatirkan.
"Bahkan kenaikan tarif cukai hingga 45 persen pun diperkirakan akan tetap menghasilkan dampak positif pada perekonomian dengan nilai output positif dan penciptaan lapangan pekerjaan," ucap Yurdhina.
Baca Juga: Hingga Oktober 2021, Utang Luar Negeri Indonesia Capai Rp6.038 T
"Maka, kenaikan rata-rata 12 persen yang akan berlaku tahun depan, diperkirakan tidak akan berdampak signifikan pada kondisi ekonomi.” sambungnya.
Kemarin, Senin (13/12) Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan 3 kebijakan terkait cukai rokok. Yaitu:
1. Penyesuaian tarif cukai dan batasan minimum harga jual eceran (HJE) seluruh jenis sigaret sebesar rata-rata tertimbang 12 persen dengan kenaikan tarif untuk sigaret Kretek tangan (SKT) maksimal 4,5 persen.
2. Penyederhanaan struktur tarif dari 10 layer menjadi 8 layer (simplifikasi Golongan IIA dan IIB jenis SKM dan SPM/sigaret putih mesin).
3. Optimalisasi kebijakan dana bagi hasil (DBH) CHT sebagai bantalan kebijakan CHT.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.