MANGGARAI BARAT, KOMPAS.TV - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengancam akan menutup Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang tidak produktif.
Bagaimana nasib maskapai milik negara PT Garuda Indonesia Tbk?
Seperti diketahui, Presiden Jokowi bertemu dengan para direktur utama BUMN saat melakukan kunjungan kerja di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur pada Kamis (14/10/2021) lalu.
Dalam pertemuan itu, Jokowi menyampaikan ketidakpuasannya karena pemerintah kerap menyuntikkan Penyertaan Modal Negara (PMN) pada BUMN yang sakit.
“Kalau yang lalu-lalu banyak BUMN ini banyak terlalu keseringan kita proteksi. Sakit, tambah PMN. Sakit, suntik PMN. Maaf, terlalu enak sekali,” kata Presiden Jokowi dalam keterangan dilansir dari kanal YouTube Sekretariat Presiden.
Baca Juga: Jokowi ke Dirut BUMN: Sudah Dibukain Pintu, Enggak Ada Respons, Saya Sering Malu, Terus Terang Saja
Menurut Jokowi, hal ini membuat BUMN jalan di tempat karena terus menetap di zona nyaman.
“Akhirnya itu yang mengurangi nilai-nilai yang tadi saya sampaikan. Kompetisi gak berani, bersaing gak berani, mengambil risiko gak berani. Bagaimana profesionalisme kalau itu tidak dijalankan?” ujar Presiden Jokowi.
Ia menambahkan dengan memberi ancaman akan menutup BUMN yang terus tidak produktif.
“Kalau Menteri BUMN sampaikan ke saya, 'Pak ada perusahaan seperti ini kondisinya'. Kalau saya, langsung tutup saja! Tidak ada selamatkan-selamatkan. Gimana kalau udah kayak gitu?” tambah Jokowi.
Pernyataan itu pun mengingatkan soal nasib PT Garuda Indonesia Tbk yang terancam bangkrut.
Sebelumnya, Garuda Indonesia juga tidak masuk dalam Holding BUMN pariwisata dan pendukung di bawah naungan PT Aviasi Pariwisata Indonesia (Persero).
Padahal, rencana awalnya Garuda masuk dalam tujuh daftar anggota Holding pariwisata dan pendukung itu.
Melansir Kompas.com, Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga menjelaskan, hal itu karena Garuda Indonesia sedang melakukan restrukturisasi sejumlah utang dan pelaksanaan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
"Kalau dimasukan (ke holding BUMN) nanti khawatirnya malah mereka enggak bisa fokus ke sana," ujar Arya dalam diskusi virtual, Selasa (5/10/2021).
Baca Juga: Kereta Cepat Jakarta-Bandung Pakai Duit APBN, Ini Alasan Kementerian BUMN
Arya mengatakan, saat ini Kementerian BUMN masih menunggu penyelesaian restrukturisasi Garuda, sebelum memasukan maskapai pelat merah itu ke dalam Holding Pariwisata dan Pendukung.
"Nanti holdingnya enggak baik kalau ada yang bermasalah. Kita ingin semua penggabungan di dalam holding itu clean. Kalau enggak, jangan dulu. Nanti mengganggu, jadi beban," kata Arya.
Menurut Arya, BUMN yang tergabung dalam suatu holding harus dalam kondisi keuangan yang baik, agar tidak mengganggu kinerja keuangan dan operasional holding secara keseluruhan.
"Kalau kondisi finance-nya enggak mungkin jangan dipaksakan, nanti holding-nya kasian, dan anak perusahaan lainnya kasian," ucap Arya.
Mengutip Kontan.co.id, saat ini Garuda Indonesia masih menunggu putusan perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Pengadilan Niaga Jakarta.
Akan tetapi, sidang putusan PKPU, yang semestinya berjalan Kamis (14/10/2021) lalu, ditunda hingga pekan depan lantaran majelis hakim tidak hadir.
Perlu dicatat, Garuda Indonesia memiliki utang Rp70 triliun. Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Irfan Setiaputra pernah mengatakan, pemerintah tidak mungkin menanggung seluruh utang BUMN itu.
Pihak garuda pun memilih melakukan restrukturisasi lewat PKPU dan mencoba bernegosiasi dengan para kreditur yang menagih pembayaran kepada BUMN itu.
“Hanya saja saat kita masuk dalam PKPU, setelah 270 hari ketika tidak ada kesepakatan antara debitur dengan kreditur, otomatis terpailitkan (Garuda),” kata Irfan dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VI DPR RI pada Senin (21/6/2021).
Baca Juga: Jakarta Resmi Jadi Tuan Rumah Formula E, PDIP Soroti Pelanggaran Aturan hingga Transparasi
Terkait utang puluhan triliun, Wakil Direktur PT Garuda Indonesia Dony Oskario menyebut, akar masalah utang itu adalah banyaknya pesawat yang tidak digunakan karena pandemi Covid-19.
“Kerugian kita itu sebenarnya murni karena pesawat yang tidak digunakan. Asetnya masih kita bayar secara fixed cost, tetapi pesawat itu tidak menghasilkan pendapatan,” ujar Dony di kesempatan yang sama.
Dony menyebut, keberadaan pesawat tidak terpakai itu dapat menyebabkan kerugian Rp1 triliun per tahun bagi Garuda Indonesia.
Sumber : Kompas TV/Kompas.com/Kontan.co.id
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.