Kompas TV bisnis kebijakan

Kebijakan Baru, Ditjen Pajak Terangkan Perubahan Tarif PPN Sekolah, Sembako Hingga Barang Mewah

Kompas.tv - 3 September 2021, 09:38 WIB
kebijakan-baru-ditjen-pajak-terangkan-perubahan-tarif-ppn-sekolah-sembako-hingga-barang-mewah
Ilustrasi perubahan kebijakan pajak pertambahan nilai (PPN) dengan multitarif. (Sumber: SHUTTERSTOCK)
Penulis : Fransisca Natalia | Editor : Edy A. Putra

JAKARTA, KOMPAS.TV – Pemerintah tengah mengajukan rencana kebijakan pajak pertambahan nilai (PPN) multitarif. Adapun PPN yang berlaku saat ini adalah dengan tarif tunggal yaitu sebesar 10 persen.

Rencana kebijakan itu tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bersama Panitia Kerja (Panja) RUU KUP Komisi XI DPR RI tengah membahas beleid ini.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kemenkeu Neilmaldrin Noor mengatakan, dengan penerapan multitarif PPN, diharapkan dapat lebih mewujudkan rasa keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat.

Dengan demikian golongan yang memiliki ability to pay atas Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) tertentu, akan dikenai tarif yang lebih tinggi.

Empat tarif PPN

1. General rate

Mengenai empat tarif PPN yang diusulkan oleh pemerintah yaitu yang pertama general rate dengan tarif yang berlaku secara umum sebesar 12 persen.

Pemerintah menyebut adanya kenaikan 2 persen atas tarif PPN yang berlaku saat ini merupakan kompensasi karena pemerintah telah menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) Badan.

Sejak tahun lalu, tarif PPh Badan menjadi 22 persen, sebelumnya 25 persen. Lalu, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 terkait kebijakan keuangan negara akibat pandemi virus corona, tarif PPh Badan akan diturunkan lagi menjadi 20 persen pada tahun 2022.

Baca Juga: Menperin Resmi Ajukan Perpanjangan Diskon 100 Persen PPnBM Mobil Baru

Menurut pemerintah, dengan tarif PPN baru, masih lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata negara-negara yang tergabung dalam Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) sebesar 19 persen. Sedangkan negara-negara seperti Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan (BRICS) sebesar 17 persen.

2. Lower rate

Lower rate PPN sebesar 5-7 persen atas barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Tarif 5 persen bakal ditujukan atas barang kebutuhan pangan dasar rumah tangga yang merupakan konsumsi paling besar masyarakat.

Tarif 7 persen atas jasa tertentu untuk menjaga jasa terkait tetap berkualitas dan terjangkau, misalnya jasa pendidikan dan angkutan penumpang.

“Terhadap BKP dan/atau JKP yang dikonsumsi masyarakat banyak diberikan tarif PPN lebih rendah dari tarif normal dan bagi masyarakat kecil dikompensasi dengan pemberian subsidi,” sebut Neilmaldrin, Kamis (2/9/2021), seperti dikutip dari Kontan.

3. Higher rate

Higher rate sebesar 15-25 persen untuk barang yang tergolong mewah/sangat mewah seperti rumah dan apartemen mewah, pesawat terbang, dan yacht.

Selain itu, tarif tersebut juga bakal berlaku bagi barang mewah lainnya seperti tas, sepatu, arloji, dan berlian.

“Pengenaan tarif akan lebih tinggi untuk konsumsi barang mewah atau sangat mewah, sedangkan untuk BKP dan/atau JKP tertentu seperti bahan pangan kebutuhan dasar rumah tangga dan jasa pendidikan akan dikenakan tarif lebih rendah,” jelas Neilmaldrin.

Ketentuan mengenai BKB/JKP tertentu beserta tarifnya akan diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP) sesuai dengan bunyi Pasal 44E RUU KUP.

Adapun tujuan pemerintah mengajukan adanya higher rate PPN adalah untuk memberikan keadilan atas barang-barang yang dikonsumsi oleh masyarakat ekonomi kelas atas atau kaya raya.

4. Final rate

Final rate sebesar 1 persen bagi pengusaha atau kegiatan tertentu. Misalnya, pengusaha kena pajak (PKP) dengan peredaran usaha maksimal Rp1,8 miliar per tahun cukup setor PPN 1 persen dari peredaran usahanya.

Ketentuan PPN Final juga dirancang untuk PKP dengan kegiatan usaha tertentu seperti produk pertanian karena tidak memiliki pajak masukan.

“Sampai dengan saat ini, RUU KUP sedang dalam proses pembahasan bersama DPR serta seluruh pemangku kepentingan seperti asosiasi, akademisi, pengusaha, dan masyarakat lainnya,” ucap Neilmaldrin.

Baca Juga: Komisi XI DPR Minta RUU KUP Harus Pro UMKM

 




Sumber : Kompas TV/Kontan.co.id




BERITA LAINNYA



FOLLOW US




Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.


VIDEO TERPOPULER

Close Ads x