JAKARTA, KOMPAS.TV - Direktur Program Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menyebut, negara-negara dengan anggaran sosial atau social expenditure rendah cenderung menghadapi kasus Covid-19 lebih tinggi.
Hal ini diungkapkan Esther dalam diskusi daring bertajuk "PPKM: Gonta Ganti Strategi Ekonomi Kian Tak Pasti”, Senin (26/7/2021).
“Negara yang social expenditure-nya tinggi, maka kasus Covid-19 itu lebih landai, Sementara, negara yang social expenditure-nya rendah, ya kasusnya tetap akan tinggi. Apalagi, lockdown-nya tidak efektif,” ujar Esther.
Baca Juga: Indef: PPKM Harus Tetap Dijalankan sampai Kasus Covid-19 Melandai
Esther menyebut, Indonesia termasuk dalam negara anggaran bantuan sosial (bansos) yang rendah dan kebijakan pembatasan kegiatan atau lockdown yang tidak efektif.
“Ini contoh beberapa negara, termasuk indonesia, india, Afrika Selatan itu lockdown tidak efektif dan social expenditure-nya rendah. Sehingga, kasusnya tidak turun-turun,” jelas Esther.
Menurut Esther, hal ini tidak bisa lepas dari anggaran negara yang terbatas. Akibatnya, anggaran sosial untuk masyarakat pun sangat terbatas, yaitu sekitar 7,88% PDB (Produk Domestik Bruto).
“Karena ruang anggaran fiskal yang terbatas, maka kita lihat stimulus fiskal yang diberikan pemerintah pada masyarakat juga sangat terbatas,” kata Esther.
Di sisi lain, Esther memuji pemerintah karena telah menambah anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2021, meski ada catatan sendiri.
“Tapi, kita lihat alokasi dana PEN baik tahun 2020 maupun tahun 2021, itu paling besar untuk bansos. Untuk sektor kesehatan itu sedikit,” lanjut Esther.
Esther mendorong pemerintah menambah anggaran kesehatan untuk penanganan Covid-19. Selain itu, ia meminta pemerintah menyalurkan bantuan sosial secara tepat sasaran.
Baca Juga: Presiden Jokowi Keluhkan Banyak Data Tumpang Tindih, INDEF: Sistem Birokrasi Harus Direformasi
Hambatan Penyaluran Bansos
Pada kesempatan berbeda, Inspektur Jenderal (Irjen) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Tumpak Haposan Simanjuntak mengatakan, ada permasalahan data penerima bansos.
Penyaluran bansos yang tidak efektif ini, kata Tumpak, juga terkait kisruh data penerima. Menurut Tumpak, masalah data penerima ini berhubungan juga dengan kondisi pandemi.
“Ini yang sering menjadi kisruh, karena dinamisnya perubahan data di tengah pandemi Covid-19 ini,” kata Tumpak, Rabu (21/7/2021).
Menurut Tumpak, pandemi membuat ekonomi masyarakat tidak menentu, sehingga memunculkan kelompok baru masyarakat miskin. Akibatnya, perubahan daftar penerima bansos dapat terjadi setiap bulan.
Tumpak menambahkan, kendala lain penyaluran bansos, antara lain, kendala geografis, kapasitas sumber daya manusia (SDM), serta sarana-prasarana.
Kendala-kendala tersebut sering terjadi di daerah 3T (terdepan, terpencil, dan tertinggal).
Di sisi lain, Tumpak mengatakan, pemerintah tetap berusaha mengawasi penyaluran bansos lewat Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
“Pada tahap pengawasan pelaksanaan distribusi, APIP akan mendampingi para pelaksana bansos bersama dengan BPKP di dalam konteks melakukan verifikasi data. Jangan sampai ada fraud atau penyimpangan,” ujarnya.
Baca Juga: Pastikan Nama Anda Terdata, Begini Cara Cek Penerima Manfaat Bansos dari Kemensos
Sumber : Kompas TV/Antara
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.