Kementan memperkirakan, hingga Mei 2022 akan ada surplus beras hasil panen raya sebanyak 12,25 juta. Surplus didapat dari produksi beras yang diproyeksi mencapai 24,90 juta ton pada Maret-April, sedangkan kebutuhan beras hanya 12,33 juta ton.
Dalam kondisi seperti itu, Syahrul menilai penyerapan gabah petani harus diutamakan. Hingga saat ini, memang belum ada pernyataan resmi dari pemerintah terkait kapan pelaksanaan impor beras dilakukan.
Menteri Perdagangan M Lutfi menyatakan, yang jelas beras impor tidak akan dipasarkan saat panen raya. Menurut Luthfi, impor beras justru sebagai upaya agar harga gabah petani tidak dikendalikan spekulan.
"Ini adalah strategi pemerintah untuk memastikan, kita tidak bisa dipojokkan atau diatur oleh pedagang. Terutama para spekulan-spekulan yang berniat tidak baik dalam hal ini," ujarnya dalam siaran pers tertulis (18/03/2021).
Baca Juga: Ini Alasan Pemerintah Ngotot Impor Beras 1 Juta Ton
Anjloknya harga gabah akibat ulah spekulan, adalah hal yang sangat dikhawatirkan para petani. Para petani yang seharusnya mendapatkan banyak keuntungan saat panen, justru harus gigit jari jika harga gabah turun.
Dari hasil survei Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), pada akhir 2020 lalu harga gabah di tingkat usaha (sentra produksi) sebesar Rp 4.800/kg dan terus menurun hingga Februari 2021. AB2TI memproyeksi, harga gabah di bulan Maret akan anjlok ke level Rp 3.600/kg.
Padahal, harga keekonomian gabah di tingkat petani adalah Rp 5.000/kg, barulah petani mendapat untung.
Baca Juga: Pemerintah Mau Impor Beras 1 Juta Ton, Bulog: Sisa Impor 2018 Masih Ada di Gudang
"Harusnya pemerintah sadar, sekedar pernyataan dari pemerintah saja kalau akan impor beras, itu pasti akan mempengaruhi harga. Apalagi kalau sudah ada keputusan (jumlah beras yang akan diimpor), " kata Ketua Umum AB2TI Dwi Andreas Santosa kepada Kompas.TV (17/03/2021).
Dwi Andreas yang juga merupakan Guru besar IPB ini, menyarankan agar pemerintah menunda impor beras sampai periode Juli-Agustus 2021. Yaitu saat musim panen gadu atau panen kedua setelah panen raya. Saat itu, beras yang dihasilkan sudah tidak terlalu banyak.
"Pemerintah harus legowo melihat kalau keputusan ini salah. Timing tidak tepat, salah menghitung padahal jelas produksi naik. Kalau terus dipertahankan mati-matian ya jelas di serang banyak orang lah, " pungkasnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.