JAKARTA, KOMPASTV. Percakapan antara pekerja, dengan masyarakat umum seperti di bawah ini, bisa jadi akan semakin sering Anda dengar:
Si A: Udah hampir 7 bulan nih, gaji gue dipotong. Katanya perusahaan lagi sulit keuangan.
Si B: Kudu ngerti sih Bro, emang susah. Syukur-syukur gajian enggat telat ya.
Si C: Eh, lu bedua harusnya Alhamdulillah. Meski potong gaji, seenggaknya masih punya kerjaan, status karyawan, ada pemasukan. Zaman sekarang mah boro-boro kepikiran gaya, bertahan hidup aja “udah cakep bener”.
Mak jleb? Kenaikan upah minimum pekerja tepatnya buruh, tahun depan, kemungkinan tidak akan setinggi tahun ini. Alasannya, komponen dalam rumus penghitungan kenaikan upah minimum tahun ini, terkontraksi oleh pandemi.
Begini penjelasannya,
Pertama, Indonesia sudah terseret resesi, dunia usaha tak beroperasi mulus. Pandemi, memukul semua relung-relung pemasukan. Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan menghitung, sampai akhir tahun, pertumbuhan ekonomi bisa terkontraksi ke skema buruk, yaitu antara minus 1,6 persen sampai negatif 0,6 persen.
Kedua, indeks harga konsumen (IHK) enggan berlari kencang, membuat inflasi cenderung rendah atau bahkan terjadi deflasi di sejumlah harga. Lemahnya daya beli jadi menjadi pemicunya.
Selama ini, hitungan upah minim pekerja, memakai rumus pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Berangkat dari hitungan inilah, Wakil Ketua Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) Adi Mahfudz mengatakan hitungan upah masih belum akan berubah dan mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) 78 Tahun 2015,".
Rumus hitungan upah, tidak akan pilih kasih pada sektor tertentu. Sebab selama ini formulasi yang diterapkan juga berlaku secara nasional, yang kemudian disesuaikan dengan tiap provinsi.
Artinya, wilayah yang merupakan kawasan industri dengan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) yang tinggi, juga bakal terkena dampak penurunan upah.
"Kalau sesuai kebutuhan hidup layak (KHL) konsekuensinya daerah seperti DKI Jakarta dan Karawang akan turun nilainya," lanjut Adi, kami kutip dari Kompas.com.
Depenas Ajukan Tiga Usulan Buruh
Depenas telah mengusulkan tiga hal kepada Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengenai upah minimum 2021, yang kerap disuarakan oleh para serikat pekerja/serikat buruh (SP/SB).
Ketiga usulan tersebut antara lain upah minimum 2021 bagi yang terdampak covid, upah minimum 2021 bagi yang tidak terdampak penyesuaian secara Bipartit, dan meminta Menaker segera menerbitkan Surat Edaran (SE) atau Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker).
Baca Juga: Buruh Soroti Soal Ketentuan Upah Minimum Kabupaten atau Kota
Walaupun sudah dijelaskan tentang variabel perumusan kenaikan upah, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia ( KSPI) tetap menuntut agar upah minimum naik pada 2021. Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan, kontraksi ekonomi tidak bisa jadi alasan kuat upah buruh tidak naik.
Memahami Kesulitan Bersama
Inilah hal yang paling berat: memahami kesulitan bersama. Amukan corona melimbungkan dunia usaha, mulai dari skala kecil, sampai padat karya dan padat modal. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menghitung, setidaknya 8 juta orang kehilangan pekerjaan akibat pandemi.
Masih menurut kalkulasi BPKM, dibutuhkan 17 juta lapangan kerja baru untuk menyerap korban PHK sekaligus tambahan angkatan kerja baru.
“Ada 2,5 juta angkatan kerja baru dan jutaan lainnya pegawai yang dirumahkan dan belum mendapat kejelasan kapan dapat bekerja kembali. Dengan demilkian, dibutuhkan lapangan kerja baru yang lebih banyak,” jelas Bahlil.
Masalahnya, pengusaha mana, atau siapa investornya, yang berani bertaruh investasi membuka lapangan kerja, jika pandemi belum selesai?. Ditambah lagi, dengan tekanan kenaikan upah dari buruh. Pengusaha, saat ini memilih “wait and see” ketimbang bunting di ujung.
Selain data BKPM, angka Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Mei lalu menunjukkan, dalam lima tahun terakhir, jumlah pengangguran di Indonesia sejatinya cenderung menurun. Tetapi pada Februari 2020, angka pengangguran kembali meningkat 60 ribu orang. Dari 6,82 juta orang pada 2019 menjadi 6,88 juta orang di 2020.
Jumlah angkatan kerja tahun ini juga bertambah menjadi 137,91 juta orang, sebanyak 131,03 juta orang di antaranya bekerja, sisanya menganggur.
Angka-angka di atas berteriak, yang sedang susah, bukan hanya satu kelompok saja (dalam hal ini sudah memiliki pekerjaan). Tetapi ada kotak-kotak lain yang juga berisi manusia, perutnya perlu diisi dan membutuhkan pekerjaan. Jika satu kotak berteriak kencang butuh kenaikan gaji, di kotak lain, perut mereka lebih kencang bersuara: uang yang ada bukan untuk kenaikan standar hidup, melainkan sekadar menyambung nyawa.
(Dyah Megasari)
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.