Dengan cara itu, menurut Penny, jika perusahaan melakukan kecurangan, risikonya besar, dan kecurangan itu bisa diketahui BPOM.
“Dalam hal ini kami akan lebih memperketat lagi untuk melakukan verifikasi juga terhadap data-data yang diberikan oleh industri, mengingat bahwa di Indonesia ini perbedaan kapasitas industri dengan quality control yang baik, tentunya bervariasi. Itu yang jadi pertimbangan kami,” ujar Penny.
Pada Jumat (21/10), Menko PMK Muhadjir Effendy juga sudah melakukan rapat koordinasi dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan BPOM secara visual.
Muhadjir menilai perlu diadakan pelacakan, “mulai dari asal muasal bahan baku, masuknya ke Indonesia hingga proses produksi obat-obat yang mengandung kedua zat berbahaya”.
Muhadjir meminta Kementerian Perindustrian untuk melakukan verifikasi ulang bahan-bahan obat yang diproduksi di Indonesia, yang sebagian besar berasal dan luar negeri.
Sementara itu, Kementerian Perdagangan diminta memeriksa bahan baku dan bahan dasar obat yang diimpor masuk ke Indonesia.
Melalui siaran persnya Kemenperin menyatakan telah melakukan koordinasi dengan industri farmasi yang produknya mengandung cemaran EG dan DEG melewati ambang batas aman.
Pihak industri menyatakan tidak ada penggunaan bahan baku EG maupun DEG pada proses produksi, sehingga terdeteksinya EG dan DEG diduga berasal dari cemaran bahan baku tambahan lain.
“Sebagai tindak lanjutnya, industri terus melakukan evalusi internal, pengujian kandungan cemaran bahan baku pada laboratorium independen, serta berkoordinasi untuk melakukan penarikan produk dari pasar. Hal ini sejalan dengan komitmen industri farmasi untuk memproduksi produk obat yang aman, berkasiat, dan bermutu,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang, Jumat (21/10).
Peneliti ketahanan kesehatan global dari Griffith University Australia, Dicky Budiman, menilai sejak pandemi ketahanan kesehatan di Indonesia “jalan di tempat”. Tidak ada perubahan dalam mengatasi masalah kesehatan masyarakat.
“Gampang nih suatu negara dibikin guncang, goyah, kalau ketahanan kesehatannya lemah, dalam kemampuan mendeteksinya lemah, tahu-tahu sudah merebak besar di masyarakat,” kata Dicky.
Menurut dia, mengingat Indonesia masih ketergantungan dengan impor bahan baku obat, perlu dibangun sistem yang benar-benar mengatur peran semua pihak yang terlibat, yang memiliki “legal formal” atau berkekuatan hukum.
Tidak hanya peran, manajemen risikonya juga perlu disepakati sejak awal, sampai ke kasus-kasus darurat seperti saat bencana maupun pandemi.
“Nanti siapa yang key stakeholders-nya yang ambil keputusan, ‘ketika tahap ini boleh lanjut’. Itu harus ada. Kemudian maju lagi ke tahap produksi, walaupun peran utamanya ada di perusahaan, tapi itu kan dia tidak berdiri sendiri, mungkin saja ada pihak lain yang menunjang lahirnya suatu obat, itu juga harus jelas,” ujar Dicky.
Dengan adanya sistem itu, ketika ada kejadian luar biasa, kemudian dilakukan evaluasi, akan terlihat di mana “kecolongannya”.
Banyak masyarakat yang bertanya: mengapa gangguan ginjal akut baru terjadi sekarang, padahal beberapa obat yang diduga menjadi pemicunya sudah ada sejak lama?
Associate Professor di Departemen Kimia, Universiti Putra Malaysia, Profesor Bimo Ario Tejo, mengatakan “pandemi menjadi sebab tragedi ini”.
Prof Bimo mengatakan selain di Gambia, Haiti, Panama, dan beberapa negara lainnya juga mengalami kasus keracunan obat.
Penyebabnya kemungkinan adalah penggunaan bahan baku obat yang tidak memenuhi standar—atau yang dia sebut “bahan baku sub-standar”— untuk menekan biaya produksi karena bahan baku yang sesuai standar harganya mahal atau langka.
“Untuk kali ini, kelangkaan propilen glikol dan gliserin yang diikuti kenaikan harga di pasar Asia Pasifik, paling ketara terjadi pada kuartal dua tahun 2021 karena lonjakan permintaan dari sektor farmasi akibat gelombang Covid varian delta yang dimulai dari India dan menyebar ke seluruh benua Asia,” kata Prof Bimo kepada BBC News Indonesia.
Lonjakan dari sektor farmasi itu bukan hanya untuk produksi obat, melainkan juga untuk produksi hand sanitizer yang juga meningkat.
Di sisi lain, sejak 2020, juga terjadi kelangkaan bahan baku pembuatan propilen glikol dan gliserin akibat lockdown di seluruh dunia.
Alhasil, kelangkaan bahan baku dan tingginya permintaan memicu kenaikan harga bahan baku.
Ketika pengawasan di negara pemasok bahan baku, seperti India dan China, longgar, imbasnya akan terasa di negara-negara tujuan ekspor mereka, seperti Gambia dan kemungkinan besar Indonesia. Namun, seberapa besar dampaknya, itu ditentukan oleh pengawasan masing-masing negara.
Di Amerika Serikat (AS), yang juga memasok bahan baku dari China dan India, mungkin dampak yang dirasakan minim karena Food and Drugs Administration (FDA) “memiliki mekanisme pengawasan yang paling ketat”.
“Mereka secara teratur menginspeksi pabrik-pabrik di India yang mengekspor bahan baku obat ke Amerika. Hanya pabrik yang telah lolos inspeksi US FDA yang boleh mengekspor ke Amerika. Jadi mereka melakukan monitoring dari hulu ke hilir,” ujar Prof Bimo.
Peraturan keamanan obat yang ketat di AS, dikatakan Prof Bimo, dipicu oleh kematian 107 orang akibat obat yang mengandung dietilen glikol pada 1937, “mirip kasus di Indonesia”.
Dia menegaskan kuncinya memang ada di pengawasan dari hulu sampai ke hilir. “Kalau cuma di Indonesia saja diperketat, tapi sumber bahan baku di China dan India nggak diawasi ya bisa kecolongan juga nanti.”
Kendati ini masalah global, Prof Bimo mengatakan sulit untuk membuat kebijakan secara global dalam hal pengawasan obat karena standar setiap negara berbeda-beda.
GN Singh, direktur BPOM India pada tahun 2014 mengakui: “Kalau kami harus mengikuti standar FDA, saya harus menutup sebagian besar pabrik obat disini”.
“Inilah kenapa BPOM dan pabrik-pabrik obat harus memperketat pengawasan terhadap bahan baku obat yang kita datangkan dari luar. Selalu cek ulang kualitasnya, apalagi yang harganya murah,” kata Prof Bimo.
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.