Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Lukito mengatakan dua perusahaan farmasi akan diproses pidana terkait indikasi kandungan zat berbahaya etilen glikol dan dietilen glikol dalam produknya.
Meski begitu, Penny tak menyebutkan nama dua industri farmasi tersebut “karena prosesnya masih berlangsung”.
Penny berjanji akan mengumumkan nama keduanya kepada masyarakat, terlebih “ada indikasi kandungan EG dan EDG di produknya tidak hanya dalam konsentrasi sebagai kontaminan tetapi sangat-sangat tinggi”.
“Itu tentu saja sangat toksik dan diduga bisa mengakibatkan [gagal] ginjal akut,” kata Penny dalam konferensi pers di Istana Negara, Senin (24/10), bersama Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
Sebelumnya, Penny mengatakan selain lembaganya, industri farmasi juga “memegang tanggung jawab penuh untuk selalu menjamin keamanan, mutu, dan khasiat produk obat sebelum dan sesudah beredar”.
Ahli menyebut situasi ini menggambarkan “betapa lemahnya ketahanan kesehatan” di Indonesia.
Sehari sebelumnya pada Minggu (23/10/2022) sore, Penny mengatakan lembaganya sudah melakukan pengawasan terhadap produk obat yang beredar di masyarakat, termasuk obat sirup yang diduga menjadi penyebab gangguan ginjal akut pada anak.
Namun, dia mengakui, selama ini pengawasan terhadap kadar pencemar pada produk tidak menjadi ketentuan dalam standar pembuatan obat.
Kejadian meninggalnya setidaknya 133 anak yang diyakini akibat gangguan ginjal akut, kata Penny, akan membawa perubahan.
“Ini akan digunakan untuk memperkuat atau mengubah sistem pre dan post market yang ada. Ke depan kami akan memperbaiki dan lebih memperkuat pengawasan baik di pre-market maupun di post-market dengan ketentuan-ketentuan industri farmasi melakukan sendiri, menganalisa, memastikan quality control-nya lebih ditingkatkan.
"Dan kami akan mengawasi juga, pengawasan di post-market dari produk tersebut, tentunya dengan berbasiskan risiko,” ujar Penny.
B aca juga:
Pakar ketahanan kesehatan global, Dicky Budiman, mengatakan, dalam hal ini, penting untuk mengindentifikasi siapa-siapa saja pihak terkait dan siapa saja yang memegang peran utama karena pada dasarnya “tidak mungkin ada yang bekerja sendiri”.
Ketika ada masalah seperti saat ini, “pihak yang kecolongan” bisa diketahui.
“Adanya tunjuk-tunjuk adalah bukti begitu lemahnya ketahanan kesehatan kita karena pemetaan stakeholders-nya tidak terbangun dari awal. Sistem yang sudah dibangun tidak mendudukkan siapa, bertanggung jawab apa, melakukan apa. Ini kembali mengulang cerita pilu kita di pandemi dan terjadi ketidakjelasan di level nasional,” kata Dicky kepada BBC News Indonesia.
Pemerintah dari berbagai sektor mulai mengambil langkah terhadap kasus gangguan ginjal akut.
Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy, juga telah meminta Kapolri Jendral Listyo Sigit untuk mengusut dugaan pidana dalam produksi obat sirup terkait kasus gangguan ginjal akut pada anak-anak.
"Pengusutan ini penting untuk memastikan ada tidaknya tindak pidana di balik kasus tersebut. Permintaan disampaikan mengingat kejadian gangguan ginjal kronis ini sudah mengancam upaya pembangunan SDM, khususnya perlindungan terhadap anak," ujar Menko PMK, dikutip dari situs resmi Kemenko PMK, Minggu (23/10).
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo dalam pesan singkatnya mengatakan, “Polri akan segera membentuk tim dan berkoordinasi dengan Kemenkes dan BPOM untuk bersama mendalami kejadian tersebut”.
BBC News Indonesia sudah menghubungi Plt Dirjen Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil, Ignatius Warsito, terkait langkah selanjutnya yang dilakukan Kementerian Perindustrian (Kemenperin)—yang mengawasi industri— tapi dia tidak bersedia dikutip.
Kami juga sudah menghubungi Ketua Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi F. Tirto Kusnadi, tapi tidak mendapat jawaban.
Sebelumnya, hasil penelitian Kemenkes mengungkap ada jejak tiga zat kimia berbahaya di tubuh pasien balita yang terkena gangguan ginjal akut. Zat itu antara lain ethylebe glycol (EG), diethylen glycol (DEG), dan ethylene glycol butyl ether (EGBE).
Zat kimia itu diduga menjadi pemicu puluhan kasus gangguan ginjal akut di Gambia, Afrika Tengah, yang diduga berasal dari obat sirup buatan India.
Oleh sebab itu, Kemenkes menyetop sementara penjualan dan penggunaan obat sirup demi “menyelamatkan anak”.
Kepala BPOM Penny Lukito mengatakan dengan perbaikan dan penguatan pengawasan yang dilakukan lembaganya akan memberikan keyakinan bahwa “industri, di dalam pre-market-nya, akan taat terhadap aturan yang ada”.
“Misalnya apabila ada perubahan bahan baku, atau kandungannya seperti apa apabila membeli dari sumber lain, mereka harus meyakinkan juga, tidak hanya berdasarkan pada certified of analysis yang dibuat oleh penjualnya, tapi mereka harus melakukan pengujian sendiri dari produk tersebut, meyakinkan, dan baru mendaftarkan atau melaporkan kepada Badan POM,” kata Penny.
Dia melanjutkan, “itu adalah ketentuan yang ada di dalam industri farmasi dan pengawasan obat secara internasional”.
Hasil “uji mandiri” itu, lanjut Penny, nantinya akan diverifikasi lagi oleh BPOM, bukan berarti “diserahkan begitu saja”.
B aca juga:
Selain pengawasan saat pendaftaran dan pengajuan dokumen sebelum produk masuk ke pasar, Penny mengatakan BPOM juga akan melakukan analisa dan pengujian berbasiskan risiko dengan pengujian acak.
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.