Berdasarkan simulasi FAO, jumlah orang kurang gizi secara global akan meningkat antara 7,6 dan 13,1 juta orang pada 2022/2023 sebagai dampak dari konflik ini.
Namun, Indonesia tak luput dari efek krisis Ukraina-Rusia. Indonesia merupakan negara importir hampir 100% gandum.
Ukraina menempati posisi negara ketiga negara eksportir biji gandum dan meslin bagi Indonesia. Dalam sepuluh tahun terakhir, nilai impor dari Ukraina ini terus meningkat.
Sementara sejak invasi Rusia berlangsung, produksi gandum dunia menurun hingga -8%.
"Impor gandum kita 2021 kemarin 11,7 juta ton, luar biasa besar. Dan saat ini sudah 27% pangan kita ini dipasok oleh gandum," kata guru besar IPB, Profesor Dwi Andreas Santosa.
Dalam jangka pendek dan menengah, harga produk turunan gandum seperti roti, mi, tepung terigu, dan kue-kue diperkirakan akan melonjak, karena harga saat ini "masih menggunakan kontrak lama".
"Tetapi gandum kemungkinan besar periode 2020-2023 ini akan menurun produksinya, karena produsen gandum Ukraina dan Rusia mengalami gangguan," tambah Profesor Andreas.
Bukan hanya itu, Indonesia juga masih mengalami ketergantungan impor pangan lainnya seperti kedelai, jagung, dan gula.
Harga-harga ini juga diperkirakan akan terdongkrak seiring kenaikan harga gandum dunia.
Oleh karena itu, Andreas mendorong pemerintah meningkatkan produksi beras sebagai langkah antisipasi krisis Ukraina-Rusia akan terjadi selama bertahun-tahun ke depan.
"Kecuali dalam dua tiga tahun ke depan terjadi bencana kekeringan di beberapa wilayah pangan produsen utama. Kalau itu terjadi, ya habis sudah," tambahnya.
Selain itu, Indonesia juga masih impor pupuk dan jagung dari Rusia.
Langkah Presiden membawa persoalan krisis pangan kepada Putin dan Zelensky mendapat apresiasi dari sejumlah pengamat hubungan internasional, meskipun ada pula yang meragukan akan diterima Presiden Putin.
"Jadi itu argumentasi yang cukup cerdas yang mungkin bisa menambah kuat, alasan kita untuk melobi kedua belah pihak untuk berhenti berperang," kata guru besar hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Profesor Evi Fitriani.
Selain itu, ia juga melihat pertemuan dengan Putin merupakan momentum Jokowi untuk meningkatkan posisi tawar menggencarkan misi perdamaian. Salah satunya saat mengajak Putin untuk pertemuan G20 yang akan diselenggarakan November mendatang di Bali.
"Aneh, kalau putin datang, perang masih berlangsung. Kita semua berusaha bagaimana perang berhenti," tambah Profesor Evi.
Pengamat hubungan internasional dari Universtas Padjajaran, Teuku Rezasyah, juga menilai gagasan tentang krisis pangan yang dibawa Jokowi kepada Putin sebagai melibatkan Rusia "bagian dari solusi."
"Jadi kalau selama ini dunia mengatakan Rusia is the part of the problem, maka dengan masuk ide pangan ini, kita menjadikan Rusia sebagai part of the solution," kata Rezasyah.
Mengenai gagasan koridor pangan, menurut Rezasyah, sebaiknya hal itu keluar dari Putin.
"Rusia tidak boleh kita todong dengan suatu ide yang dia nggak setuju. Ini marah sekali Rusia. Karena Pak Jokowi datang ke Rusia ini kan berhadapan dengan seorang Putin yang sedang sangat percaya diri," tambah Rezasyah yang menyarankan agar pertemuan ini dilakukan dengan "hati-hati".
Suzie Sudarman, pengamat hubungan internasional dari UI, mengakui saat ini Presiden Putin sedang berada "di atas angin", dan sanksi Barat tidak berpengaruh terhadap negara itu karena pasar minyaknya masih besar.
Ia sangsi Presiden Putin akan mendengarkan usulan dari Presiden Jokowi.
"China kan membeli minyak banyak sekali. India juga. Jadi sementara ada cashflow, ya amanlah. Mudah-mudahan bisa berakhir karena mujizat. Ini hanya mujizat yang bisa melakukan penyetopan [perang] ini,"
Usulan tentang koridor pangan bukan hal baru.
Awal bulan ini Turki juga menjajaki gagasan koridor pangan kepada Rusia dan Ukraina.
Pihak Turki mengatakan masih intensif melakukan dialog dengan Rusia dan Ukraina.
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.