Pada paruh kedua abad ke-19, saat Kerajaan Inggris semakin kuat, perjalanan antara Inggris ke India menjadi semakin umum - dan jumlah pengasuh yang datang ke Inggris juga semakin meningkat.
Baca juga:
"Setiap tahun, hingga 200 ayah tinggal di Rumah Ayah. Beberapa menginap selama beberapa hari, sementara beberapa lainnya tinggal sampai beberapa bulan," ujar Visram.
Para ayah ini tidak harus membayar sepeserpun untuk biaya akomodasi. Rumah ini, ujar Vikram, menerima donasi dari gereja-gereja lokal.
Ada pula yang sudah punya tiket pulang namun tidak bisa kembali ke negaranya karena kekurangan dana atau pendamping - dalam kasus ini, pengelola Rumah Ayah menjual tiket tersebut kepada keluarga lain yang membutuhkan pelayan untuk menemani perjalanan ke India. Ini juga cara lain untuk mencari dana.
Namun Rumah Ayah juga bukan sekadar hostel atau tempat persinggahan.
Dr Stadler berkata, salah satu tujuan utama mereka adalah untuk mengajak para ayah memeluk agama Kristen.
"Tapi kami tidak tahu seberapa banyak dari para pengasuh ini yang kemudian masuk Kristen, karena tidak ada catatannya. Pun tidak ada catatan bahwa para ayah ini dipaksa untuk memeluk agama Kristen di Inggris," tambahnya.
Pada 1900, rumah ini diambil alih oleh London City Mission, sebuah kelompok Kristen. Mereka memindahkan rumah singgah ini ke alamat lain, masih di Hackney.
Seiring runtuhnya Kerajaan Inggris di pertengahan abad ke-20, kebutuhan keluarga-keluarga Inggris akan ayah dan amah berkurang drastis. Rumah Ayah kemudian diubah menjadi rumah pribadi.
Mamoojee pertama kali mendengar tentang Rumah Ayah pada 2018 saat menonton sebuah film dokumenter BBC berjudul A Passage to Britain. Film itu sekilas menyebutkan rumah singgah di Hackney itu - yang kebetulan dekat dari tempat tinggalnya.
"Sebagai perempuan dari Asia Selatan yang tinggal di London, saya merasa terhubung dengan para ayah dan kisah mereka yang tak diketahui orang," ujar dia, menambahkan bahwa ketika itu, ia memutuskan untuk mengunjungi bangunan tersebut.
"Fakta bahwa tidak ada sesuatu pun di sana yang menggambarkan bahwa rumah ini adalah tempat yang sangat penting bagi banyak perempuan Asia dari seluruh dunia, membuat saya sangat marah dan merasa bahwa saya harus melakukan sesuatu."
Maka dia pun membuat Proyek Rumah Ayah, yang mendokumentasikan sejarah para pengasuh ini. Dia juga yang mendaftarkan permohonan plakat biru untuk rumah tersebut.
Pada Maret 2020 - sembari masih menunggu kabar dari English Heritage tentang status aplikasinya - Mamoojee mengadakan sebuah acara di Museum Hackney yang mengeksplorasi peranan para ayah selama masa kerajaan Inggris.
Terinspirasi oleh antusiasmenya, para staf museum kemudian mulai melakukan riset untuk topik tersebut.
Niti Acharya, manajer museum tersebut, berkata dia mencoba mengidentifikasi orang-orang yang pernah tinggal di rumah tersebut dengan melihat "banyak sumber, termasuk daftar penumpang dan orang-orang yang tiba dan meninggalkan Inggris dari 1878 hingga 1960, data sensus, dan sumber-sumber arsip lainnya."
"Semua sumber berbeda ini membantu menyatukan bagian-bagian kecil cerita, yang pada akhirnya memberikan gambaran lebih besar," kata dia.
Tetap saja, tugas ini sangat sulit karena hanya ada sedikit sekali informasi yang tersedia tentang para pengasuh ini.
"Material arsip yang tersedia kebanyakan tentang keluarga-keluarga yang memiliki ayah dan amah, ketimbang para perempuan itu sendiri. Sering kali identitas mereka sama sekali dihapus, karena nama mereka telah berganti menjadi nama Kristen bagi yang pindah agama, atau ditulis dengan nama keluarga majikannya seperti 'Ayah Bird'," terangnya.
Plakat biru ini, diharapkan oleh Mamoojee dan yang lain, dapat membantu membuat para perempuan yang dilupakan ini lebih diakui.
"Para perempuan ini sungguh layak mendapatkan penghormatan ini," tukas Mamoojee.
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.