Praktik pemotongan BOP ditemukan di Kabupaten Pekalongan oleh Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah setempat. Pengelola lembaga pendidikan di Desa Linggoasri, Pekalongan, Mustajirin, mengatakan dana BOP yang dia cairkan sebesar Rp10 juta dipotong sebesar Rp3 juta oleh koordinator kecamatan pada 2020 lalu.
Kasus tersebut sudah ditangani pihak Kejaksaan Negeri Kajen.
Namun, kejaksaan menemukan Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (FKDT) Pekalongan hanya memotong sebesar Rp500.000. Kemungkinan potongan uang itu dibagi secara berjenjang mulai dari pengurus FKDT tingkat desa, kecamatan, hingga kabupaten.
Kasus di Pekalongan itu mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp713 juta.
Selain itu, ada juga penggunaan bantuan yang tidak sesuai dengan pemanfaatan, salah satunya untuk melunasi utang-utang pesantren yang sudah ada sebelum pandemi.
Bahkan pencairan dana BOP yang seharusnya diterima langsung oleh pengurus pondok pesantren melalui bank, ternyata dimanfaatkan oleh oknum politisi untuk mencari simpati di kalangan pesantren, seperti yang terjadi di Banten.
Ketua Komisi VIII DPR RI, Yandri Susanto, menghadiri acara penyerahan dana bantuan operasional pondok pesantren, TPQ, dan madrasah, di Pondok Pesantren Al-Qur'an Bai Mahdi Sholeh Ma'mun, Lontar Kota Serang pada September 2020 lalu.
Dalam acara tersebut terpampang spanduk bergambar wajah Yandri Susanto dan juga papan simbolis dengan Namanya, padahal program BOP berasal dari APBN Tahun Anggaran 2020 Kementerian Agama.
Jika temuan indikasi korupsi ICW itu benar, Lies Marcoes menilai inspektorat Kemenag "lalai" melakukan kontrolnya. Oleh sebab itu, dia menyarankan ada pengawasan dan pendampingan yang lebih lagi, pada "celah-celah" yang rentan dimanfaatkan untuk korupsi.
"Kalau temuan ICW masih ada, itu berarti pengawasan terhadap Kemenag itu harus diperlakukan beda juga. Harus ada lebih banyak pengawasan dan pendampingan. Kontrol terhadap mereka harus lebih ekstra agar tidak terjadi penyelewenang-penyelewengan, kalau itu memang terjadi," kata Lies.
Perihal ketimpangan relasi antara eksekutif dan legislatif juga perlu diperhatikan, menurut Lies. Ketika posisi Kemenag lebih lemah, hal itu akan menjadi Kemenag sebagai "sasaran ATM oleh oknum-oknum partai" yang berada di legislatif.
"Kalau Kementerian Agama begitu banyak celah, misalnya manajemennya kurang baik, itu menjadi sasaran bagi oknum legislatif untuk mencecar Kementerian Agama dan Kementerian Agama membutuhkan cara agar dananya cair.
"Mekanisme apa yang bisa memastikan agar dana itu cair? Satu, memperbaiki manajemen atau membayar. Kalau manajemennya di dalamnya buruk, itu bagaimana caranya? Itu menyebabkan ada peluang korupsi," kata Lies menjelaskan.
Oleh sebab itu, Lies mengatakan harus ada "upaya reformasi dan memperkuat manajerial" di Kemenag.
Penyimpangan dan indikasi korupsi yang ditemukan ICW, mengingatkan pada kasus-kasus korupsi besar yang terjadi di Kemenag.
Pada 2006 lalu, Menteri Agama Said Agil Husein Al Munawar terbukti menyalahgunakan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH), Dana Abadi Umat (DAU), dan rekening lain di luar DAU.
Dia divonis 5 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider tiga bulan kurungan. Total kerugian negara pada kasus Said Agil diduga mencapai lebih dari Rp700 miliar.
Pada 2011-2012, seorang pejabat Kemenag, dua anggota DPR, dan pihak swasta terlibat kasus korupsi pengadaan Al-Qur'an. Pada saat itu, kerugian negara mencapai Rp27 miliar.
Berikutnya, kasus korupsi yang menjerat Menteri Agama Suryadharma Ali pada 2014. Dia terbukti menyalahgunakan Biaya Penyelanggaraan Ibadah Haji (BPIH) dan Dana Operasional Menteri. Total kerugian negara pada saat itu sebesar Rp27,3 miliar dan 18 juta riyal.
Pada 2019, pejabat Kemenag dan mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy terlibat kasus dugaan korupsi jual beli jabatan. KPK, yang saat itu melakukan penangkapan, menemukan uang senilai Rp300 juta.
Kasus ini juga sempat menyeret nama Menteri Agama Lukman Hakim pada kala itu.
Adnan mengatakan ada beberapa hal yang menjadikan korupsi terus terjadi di instansi-instansi pemerintah, tak terkecuali Kemenag. Selain masalah birokrasi, tindakan tegas terhadap pelaku-pelaku korupsi juga belum dilakukan, menurut Adnan. Bahkan terkesan adanya "pembiaran".
"Kalau kita coba kaitkan dengan konteks hari ini, ketika banyak ASN yang sudah dipidana korupsi, putusannya sudah inkracht, kemudian tetap dijadikan sebagai ASN, mereka tidak dipecat, berarti ini ada problem dalam pengelolaan ASN kita, dan itu akan melahirkan ekosistem yang subur bagi korupsi kalau pengelolaan sistemnya tidak memadai," kata Adnan.
Oleh sebab itu, dia menilai tidak ada efek jera yang ditimbulkan dari pengungkapan kasus-kasus korupsi yang pernah terjadi sebelumnya karena penegakan hukum saja ternyata memang tidak cukup.
"Menurut saya memang tidak ada niat dari pemerintah untuk serius memperbaiki SDM-nya dan ini yang akan membuat masalah korupsi akan terjadi berulang dan ongkosnya itu bukan hanya pada anggaran negara, tetapi juga pada tujuan-tujuan pembangunan secara keseluruhan," ujar Adnan.
Wartawan Hidayatullah, di Aceh, berkontribusi dalam laporan ini.
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.