Dua anak di Indonesia baru-baru ini meninggal diduga karena "hepatitis akut misterius", satu pekan setelah tiga kasus pertama anak meninggal dilaporkan ke Kementerian Kesehatan.
Kementerian Kesehatan telah menerbitkan surat edaran bagi rumah sakit dan dinas kesehatan dan rumah sakit di daerah untuk meningkatkan kewaspadaan dan pengawasan, menyusul kian bertambahnya kasus suspek hepatitis akut di berbagai daerah di Indonesia.
Namun, para pakar epidemiologi mempertanyakan rencana aksi pemerintah Indonesia untuk memitigasi risiko penyakit misterius, yang kendati belum tentu menjadi pandemi baru, namun dikhawatirkan memicu krisis kesehatan baru jika tidak ditanggapi dengan serius.
"Bayangkan, ada 30 juta anak Indonesia yang belum eligible (memenuhi syarat) untuk mendapatkan vaksinasi. Misalnya 10% saja dari itu terjadi kerusakan hepar yang semi-permanen saja, itu akan mengurangi kualitas SDM manusia Indonesia ke depan," ujar pakar epidemiolog dari Universitas Griffith di Australia, Dicky Budiman kepada wartawan BBC News Indonesia, Ayomi Amindoni, Selasa (10/08).
Baca juga:
"Adanya kematian itu adalah indikator telat kita mendeteksi, telat kita merespons dalam melakukan treatment perawatan. Artinya, itu harus dicegah dengan menguatkan surveillance dan deteksi dininya," lanjut Dicky.
Sementara itu, Mantan Direktur Penyakit Menular Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Asia Tenggara, Tjandra Yoga Aditama, mengatakan pemerintah perlu melakukan "penyelidikan epidemiologis mendalam untuk mendeteksi pola penularan".
Hingga kini, 15 kasus hepatitis akut terjadi di Indonesia di lima provinsi, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Barat dan Bangka Belitung. Mereka berusia antara 0-16 tahun.
Sebanyak lima anak dinyatakan meninggal, diduga karena terjangkit penyakit misterius itu, sementara sisanya dalam perawatan.
Seorang bayi berusia dua bulan di Solok, Sumatera Barat, meninggal dunia diduga karena "hepatitis misterius", setelah sebelumnya sempat dirawat di Puskesmas selama beberapa hari.
Kondisi yang semakin parah, membuatnya harus dilarikan ke Rumah Sakit Hermina, Padang.
Bayi itu meninggal pada 2 Mei 2022 silam.
Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia Sumatera Barat, Finny Fitry Yani menjelaskan bahwa kondisi bayi itu memburuk dengan sangat cepat.
"Dia demam beberapa hari, tiga hari kalau tidak salah, kemudian muntah dan diare. Lalu hari keempat [sakit] kuning, dan langsung berat, kejang dan tekanan darahnya menurun. Jadi sampai di [Rumah Sakit] Hermina itu [kondisinya] sudah berat dan itu cepat sekali perjalanannya," ungkap Finny, Selasa (10/05).
Kepala Dinas Kesehatan Sumatera Barat, Lila Yanwar membenarkan bahwa gejala yang dialami oleh bayi tersebut, serupa dengan gejala yang dialami anak-anak yang terjangkit hepatitis, "tapi cenderung lebih berat dan bersifat akut".
"Akut itu sifatnya mendadak, berat, dan biasanya menyerang anak umur 0-16 tahun."
Namun, kata Lila, penyakit itu dikategorikan sebagai hepatitis of unknown (tidak diketahui) karena setelah dilakukan pemeriksaan, ternyata tidak cocok dengan hepatitis A, B, C dan E yang sudah ada selama ini.
"Jadi mungkin digarisbawahi bahwa kasus tersebut kita tidak sampaikan sebagai kasus positif tapi gejalanya mirip, jadi diduga," kata Lila.
Lila menambahkan diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk mendapatkan diagnosa pasti.
Pemeriksaan untuk diagnosa pasti, kata Lila, hanya dapat dilakukan di laboratorium milik FKUI (Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia) dan Rumah Sakit Sulianti Saroso yang keduanya berlokasi di Jakarta.
Baca juga:
Selain di Solok, bocah berusia tujuh tahun di Tulungagung, Jawa Timur juga meninggal dunia dengan gejala identik hepatitis misterius yang belum diketahui penyebabnya tersebut.
Kepala Dinas Kesehatan Tulungagung, Kasil Rohkmat menyatakan konfirmasi positif ini sesuai dengan kriteria Kementerian Kesehatan dan Organisasi Kesehatan Dunia.
Kriteria itu antara lain gejala penyakit kuning, berusia di bawah 10 tahun dan tidak ada penyebab lain. Gejala yang muncul adalah demam, diare, urine berwarna lebih pekat dan feses berwarna pucat.
Kematian dua anak di Sumatera Barat dan Jawa Timur ini menambah daftar anak-anak yang meninggal dunia diduga karena penyakit misterius itu.
Epidemiolog Dicky Budiman mengatakan, jika anak-anak yang meninggal ini terkonfirmasi sebagai kasus hepatitis misterius, itu menunjukkan bahwa kasus hepatitis akut misterius di Indonesia sebenarnya itu lebih besar.
"Ini artinya ada angka yang bisa berkali-kali lipat lebih besar di komunitas yang tidak terdeteksi," kata Dicky.
Menurutnya, angka kematian tidak bisa diabaikan karena meskipun kematian akibat penyakit hepatitis akut ini satu persen dari total jumlah kasus di level global, ada 10 persen dari kelompok ini yang memerlukan transplantasi hati.
"Yang kalau tidak segera dideteksi dan segera mendapat layanan yang memadai, kematian itu bisa lebih tinggi, bukan hanya satu persen. Kalau tidak tertangani, itu fatal," tegasnya.
Adapun, pada Senin (09/05), Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan setidaknya 15 anak Indonesia terjangkit hepatitis akut misterius, satu pekan setelah tiga kasus pertama terjadi di Indonesia pada 27 April lalu.
Hingga kini, WHO mencatat sekitar 230 kasus hepatitis akut misterius di 20 negara di dunia. Kasus terbanyak terjadi di Inggris dengan 115 kasus.
Setidaknya 16 anak, atau 10% dari total kasus global, harus menjalani transplantasi hati.
Merespons kasus hepatitis akut misterius yang terjadi di seluruh dunia, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan telah "mengeluarkan surat edaran agar semua rumah sakit dan dinas kesehatan melakukan surveillance (pengawasan)" ketika kasus pertama diumumkan pada akhir April lalu.
Namun bagi pakar epidemiologi dari Universitas Griffith di Australia, Dicky Budiman, pengawasan saja tidak cukup.
"Belum [cukup]. Karena begini, walaupun pendeteksian itu ada, tapi karena hepatitis ini epidemi, bahkan silent (diam-diam) lagi. Jadi ketika surveillance ditingkatkan, menemukan kasus hepatitis itu akan banyak sekali.
"Tapi yang jadi permasalahan berikutnya adalah bagaimana memilah dan memilih mana yang memang termasuk by definition hepatitis akut yang belum jelas etiologinya ini," jelas Dicky.
Baca juga:
Sayangnya, menurut Dicky, tidak semua daerah di Indonesia memiliki kemampuan untuk melakukan hal itu.
Selain itu, tak semua daerah memiliki kemampuan melakukan tes untuk lima jenis strain hepatitis.
Di tengah keterbatasan itu, "pemerintah harus melakukan satu langkah terobosan", tegas Dicky.
"Artinya memperkuat sistem layanan kesehatan, setidaknya di level provinsi ada satgas (satuan tugas) di dinas kesehatan yang bisa membantu daerah-daerah untuk bisa mendeteksi ini dengan segala keterbatasan itu."
Ia pula menegaskan bahwa pemerintah Indonesia tidak bisa menganggap remeh penyakit misterius ini, sebab jika tidak direspons dengan serius maka akan memicu tidak hanya krisis kesehatan yang lebih besar, tapi juga krisis sumber daya manusia (SDM).
"Bayangkan, ada 30 juta anak Indonesia yang belum eligible (memenuhi syarat) untuk mendapatkan vaksinasi. Misalnya 10% saja dari itu terjadi kerusakan hepar (hati) yang semi-permanen saja, itu akan mengurangi kualitas SDM manusia Indonesia ke depan," cetus Dicky.
Mantan Direktur Penyakit Menular Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Asia Tenggara, Tjandra Yoga Aditama, mengatakan pemerintah perlu melakukan "penyelidikan epidemiologis mendalam untuk mendeteksi pola penularan".
Adapun Juru Bicara Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan saat ini pihaknya telah melakukan lima penyelidikan epidemiologis, namun hingga kini belum menemukan pola penyebaran penyakit tersebut.
Ia menambahkan, status kasus-kasus yang terjadi di Indonesia sampai saat ini masih suspek dan belum bisa dikategorikan secara pasti sebagai hepatitis akut, namun baru dikategorikan sebagai pending classification.
Sebab, pemeriksaan laboratorium harus dilakukan, terutama pemeriksaan adenovirus dan pemeriksaan hepatitis E yang membutuhkan waktu antara 10-14 hari ke depan.
Selain surat kewaspadaan yang dikirimkan pada dinas kesehatan, Siti Nadia Tarmizi menegaskan bahwa semua kasus yang terkait dengan adanya sindrom kuning itu belum dikategorikan sebagai diagnosa pasti.
Karena ada pemeriksaan yang harus dilakukan dengan genom sequencing untuk mengetahui secara pasti bahwa penyakit itu bukan hepatitis A dan E.
Selain itu, pemerintah juga melakukan penguatan fasilitas kesehatan dengan adanya rujukan rumah sakit untuk penangangan hepatitis akut yang berat, seperti Rumah Sakit Sulianti Saroso di Jakarta, termasuk pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosa pasti terkait penyebab hepatitis berat ini.
Di Sumatera Barat, Rumah Sakit Djamil di Padang ditetapkan sebagai rumah sakit rujukan hepatitis akut menyusul ditemukannya kasus suspek hepatitis akut yang meninggal dunia beberapa hari sebelumnya.
Kepala Bidang Pelayanan Medik RSUP M Djamil Padang, Bestari Jaka Budiman mengatakan pihaknya sudah menyiapkan ruangan ICU (Intensive Car Unit), NICU (Neonatal Intensive Care Unit) dan ruang perawatan.
"Ada delapan ruangan isolasi yang disiapkan untuk pasien dugaan hepatitis misterius ini," jelas Bestari.
Bestari menambahkan, pihaknya juga membentuk tim khusus penanganan dari dokter spesialis anak dan dibantu oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Sumbar.
Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Profesor Tjandra Yoga Aditama menganggap "terlalu dini" untuk menganggap hepatitis akut misterius ini sebagai pandemi baru.
Tjandra menjelaskan, secara global, kasus pertama hepatitis akut ini terjadi pada 5 April lalu. Namun diperkirakan, kasus yang sebenarnya telah terjadi sebelumnya.
Kendati WHO mengkategorikan penyakit baru ini sebagai outbreak atau wabah, namun menurut Tjandra bukan berarti penyakit itu akan berkembang menjadi pandemi.
"Apalagi kalau kita lihat dari tahun 2020 sampai sekarang, mungkin sudah ada 200 penyakit yang sudah outbreak tapi yang jadi pandemi hanya Covid-19, yang lain tidak," tegas Tjandra.
Merujuk pada pandemi Covid-19, Tjandra menjelaskan bahwa kasus Covid-19 diinformasikan pertama kali pada 31 Desember 2019.
Pada 5 Januari, WHO melaporkan kepada publik tentang penyakit baru tersebut dan kasusnya terus meningkat setelah itu.
Covid-19 baru diumumkan sebagai pandemi pada 11 Maret 2020, atau tiga bulan setelah kasus pertama dilaporkan.
"Jadi masih panjang perjalanan untuk melihat kasus ini dan saya kira terlalu dini kalau kita mengatakan bahwa ini akan menjadi pandemi," cetus Tjandra.
Sementara itu, epidemiolog Dicky Budiman mengungkapkan bahwa penyakit hepatitis akut ini memiliki potensi untuk menjadi epidemi atau wabah yang terjadi pada suatu kawasan, tapi menurutnya, "tidak mungkin" menjadi pandemi baru.
Baca juga:
Salah satu karakter dari pandemi, kata Dicky, selain dikategorikan sebagai emerging disease (penyakit baru), penyakit itu adalah penyakit yang belum dimiliki imunitasnya oleh manusia secara global.
Sehingga, penyakit itu tidak pandang bulu menyerang semua populasi, dan usia.
"Berbeda dengan hepatitis ini, kita melihat ini lebih rawan timbul pada anak. Kita memiliki hipotesa bahwa ada faktor yang membuat orang dewasa tidak terpapar. Itu berarti potensi ke arah pandemi itu mengecil."
Dicky memperkirakan penyakit hepatitis berat yang belum diketahui penyebabnya ini berkaitan dengan imunitas anak terhadap virus Covid-19, kendati ini harus dibuktikan secara ilmiah.
"Karena yang terpapar ini adalah umumnya anak di bawah lima tahun yang belum divaksin," cetus Dicky.
Lebih lanjut, Dicky mengungkapkan bahwa gejala penyakit hepatitis misterius itu hampir sama dengan gejala penyakit hepatitis yang sudah ada. Upaya pencegahannya pun tak jauh b d , yakni kebersihan dan kesehatan perorangan (personal hygiene).
"Personal hygiene itu bukan hanya cuci tangan saja, tapi juga ketika BAB karena hepatitis ini fecal oral," ungkap Dicky.
Fecal oral adalah penularan melalui mulut dari benda, makanan, atau makanan yang terkontaminasi kotoran orang yang terinfeksi virus hepatitis.
Salah satu yang paling kunci, kata Dicky, adalah meningkatkan protokol kesehatan.
Tak hanya dalam respons Covid, protokol kesehatan yang ketat juga penting untuk banyak penyakit, seperti hepatitis dan influenza.
"Itu yang bisa dan harus dilakukan di tiap-tiap rumah tangga, karena bicara personal hygiene ini juga bicara family hygiene dan community hygiene," kata Dicky.
Apalagi, dalam waktu dekat anak-anak sudah harus kembali ke sekolah. Jadi, selain melakukan protokol kesehatan yang ketat, kebersihan dan kesehatan perorangan juga harus dijaga.
"Ini bukti bahwa kita harus berubah perilakunya, lebih sehat dan lebih disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan.
"Kerawanan anak-anak itu ditentukan oleh perilaku orang-orang dewasa di sekitarnya," cetus Dicky.
Laporan tambahan oleh Albert Chaniago, wartawan lepas di Padang, Sumatera Barat.
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.