Suatu malam pada 2017, Bobi --bukan nama sebenarnya-- tengah dalam perjalanan pulang dari kampusnya di Yogyakarta.
Dia berboncengan menggunakan sepeda motor dengan temannya. Waktu menunjukkan pukul sebelas malam, namun jalanan masih cukup ramai.
Bobi berhenti di sebuah lampu merah. Masih 40 detik tersisa sampai lampu merah berganti menjadi hijau. Tiba-tiba, delapan motor yang ditumpangi 16 orang mendekatinya.
"Aku sudah feeling, ini kayaknya rombongan enggak beres. Waktu itu aku diserang, sempat melawan karena yang turun cuma tiga orang, yang lainnya nunggu di atas motor," kenang Bobi ketika diwawancara BBC News Indonesia.
"Karena sudah kalah jumlah aku jatuh ke trotoar, aku dipukulin, disabet pakai pisau belati dan kena bagian kepala belakang," lanjut Bobi.
Sedangkan temannya mengalami luka yang lebih parah. Wajahnya tersabet pisau cutter yang hampir mengenai bola matanya.
Saat itu tidak ada orang sekitar yang berani membantu Bobi dan temannya. Setelah berdarah-darah, mereka ditinggal begitu saja oleh para pelaku. Tidak ada barang berharga yang dirampas.
Baca juga:
Bobi dan temannya kemudian menyelamatkan diri ke salah satu minimarket. Setelah itu, mereka bergegas ke kantor polisi terdekat untuk membuat laporan.
Belum lama di kantor polisi, mereka lalu mendengar ada laporan masuk melalui handy talky milik polisi bahwa kejadian yang baru saja menimpa mereka juga terjadi di lokasi lain yang tidak jauh dari tempat mereka diserang.
"Waktu itu petugas di lapangan yang melapor menyebut salah satu jenis motor, saya langsung bilang ke polisi, 'Pak, itu pelaku yang juga nyerang kami'."
Malam itu juga, 16 penyerang Bobi ditangkap. Di kantor polisi, Bobi melihat langsung bahwa pelaku terdiri dari pelajar SMP, SMA, serta berusia 30 tahun.
"Aku sempat tanya [kenapa mereka menyerang]. Jawabannya ngeselin sih, karena iseng. Iseng kok begini," ujar dia.
Bobi meyakini kelompok yang menyerangnya pada malam itu adalah "klitih", istilah yang kini kerap digunakan masyarakat Yogyakarta atas kejahatan jalanan dengan motif mencari musuh dan melumpuhkan lawan.
Bobi sendiri sebetulnya tidak asing dengan klitih. Ketika masih duduk di bangku SMA, beberapa teman satu angkatannya di sekolah banyak yang bergabung dengan kelompok klitih.
Namun pada saat itu, aksi saling serang hanya teradi antar-pelajar dari sekolah yang bermusuhan. Permusuhan ini telah terjadi sejak lama dan berlangsung turun temurun.
Oleh sebab itu, penyerangan malam itu membuat Bobi bertanya-tanya: mengapa dia menjadi korban penyerangan?
"Yang bikin kaget semakin ke sini pola penyerangannya semakin acak ke korban dan mereka berani bawa senjata tajam. Zaman aku SMA paling mentok pukul-pukulan helm atau pakai kayu, tapi sekarang pakai senjata tajam," kata Bobi.
Pada Minggu (03/04), Yogyakarta kembali digemparkan oleh tewasnya seorang pelajar kelas 2 SMA yang menjadi korban klitih bernama Daffa Adzin Albasith, yang merupakan putra dari anggota DPRD Kebumen, Makdhan Anis.
Daffa meninggal karena luka di kepala setelah terkena kibasan gir. Itu terjadi ketika korban dan teman-temannya mengejar pelaku yang memancing mereka dengan sengaja menarik gas di dekat motor mereka.
Peristiwa itu kembali memantik keresahan warga di Yogyakarta akan aksi klitih yang terus berulang. Pada akhir 2021, keresahan akan hal ini juga telah menggema di media sosial dengan tagar #JogjaDaruratKlitih.
Pada 2021, Polda DIY mencatat terjadi 58 kasus kejahatan jalanan. Jumlahnya meningkat enam kasus apabila dibandingkan dengan tahun 2020.
Pakar sosiologi kriminal dari Universitas Gadjah Mada, Suprapto, mengatakan klitih sebetulnya berarti sebagai kegiatan mengisi waktu luang dengan makna yang positif.
Suprapto -yang pernah meneliti mengenai klitih pada 2004-2009—mengatakan istilah "klitih" kemudian diadopsi oleh pelajar di Yogyakarta sebagai kegiatan mencari musuh.
Pertikaian antar-SMA di Yogyakarta, menurut dia, telah terjadi sejak lama dan terus langgeng dari generasi ke generasi. Pertikaian itu memunculkan solidaritas almamater dan diwujudkan dalam bentuk pertikaian, dulunya berupa tawuran antar-pelajar.
Pada 2004-2005, Pemerintah Kota Yogyakarta kemudian menerbitkan aturan bahwa pelajar yang terlibat tawuran akan dikeluarkan dari sekolah. Banyak pelajar sadar dan enggan diajak tawuran.
"Karena sulit mengajak teman-temannya untuk tawuran, pelajar yang kecewa, yang tidak bisa berprestasi, ingin unjuk diri, maka pelampiasannya dengan menunjukkan kekuatan fisik," tutur Suprapto kepada BBC News Indonesia.
Kekuatan fisik itu kemudian mereka tunjukkan dengan keluyuran menggunakan sepeda motor dengan tujuan mencari musuh.
"Tetapi kan mereka enggak mungkin mau pamitan mencari musuh, maka mereka menggunakan terminologi klitih. Tapi karena tujuannya mencari musuh ujungnya menjadi kejahatan yang dilakukan di jalanan," jelas dia.
Sejak saat itu lah, kata "klitih" mengalami pergeseran makna menjadi negatif.
Marsel -bukan nama sebenarnya— mengatakan bahwa klitih sudah menjadi "tradisi" turun temurun di SMA di Yogyakarta. Marsel sendiri pernah menjadi bagian dari kelompok klitih di sekolahnya pada era 2007 hingga 2008.
Ketika baru duduk di bangku kelas 1 SMA, kakak kelas yang tergabung dengan kelompok klitih telah memetakan adik-adik kelasnya untuk direkrut.
"Begitu dikumpulin semua jadi satu, sudah ada list-nya SMA musuh yang mana. Kalau enggak mau masuk geng, kalau suatu saat terkena klitih ya enggak bakalan dibantu," kata Marsel kepada BBC News Indonesia.
Marsel sendiri tidak memahami bagaimana SMA tertentu dikategorikan sebagai "musuh", sedangkan yang lainnya sebagai "kawan". Yang jelas, doktrin mengenai siapa musuh dan siapa lawan terus dicekoki oleh para senior, bahkan alumni dari sekolahnya.
"Ya dipanas-panasin terus, namanya anak muda hasratnya masih menggebu-gebu, ya sudah akhirnya terbentuk mindset bawah itu musuh kita," ujar Marsel.
Pada masa itu, Marsel dan teman-temannya biasanya beraksi pada sore hari dengan menargetkan siswa dari sekolah musuh.
"Lalu ditanya, 'kamu dari SMA mana?' kalau ternyata SMA musuh ya diserang," kata dia.
Namun Marsel menambahkan, mereka memiliki aturan tersendiri untuk tidak menyerang pelajar perempuan atau pelajar yang sedang berpacaran. Mereka tidak akan menyerang orang lain secara acak.
Marsel juga pernah ditangkap polisi. Namun pada saat itu klitih hanya dipandang sebagai bentuk kenakalan remaja, sehingga dia hanya diminta wajib lapor selama seminggu.
Kini Marsel mengaku menyesal atas apa yang dia lakukan semasa SMA. "Penyesalan itu pasti ada, ngapain gitu melakukan itu," kata dia.
Kepada para pelajar yang kini masih aktif menjadi klitih, Marsel berpesan "mending enggak usah, karena enggak ada gunanya. 'Kesenangannya' cuma sementara".
Bahkan bagi dia yang merupakan mantan klitih pun, kondisi di Yogyakarta saat ini sudah "sangat meresahkan".
"Karena ini sudah bukan pertikaian antar-pelajar lagi, sudah acak korbannya. Bepergian jadi resah juga, jadi terbatas terutama kalau malam hari," kata dia.
Sosiolog kriminal UGM, Suprapto, mengatakan struktur organisasi klitih telah berkembang.
Dari yang semula terdiri dari pelajar murni yang masih duduk di bangku SMA, kemudian melibatkan para alumni yang ikut mendoktrin dengan dalih "menjaga solidaritas almamater".
Selain itu, "keberanian" para pelajar dalam beraksi juga dimanfaatkan oleh pihak-pihak lain. Salah satunya, menurut Suprapto, oleh organiasi yang "menjual jasa keamanan".
Ketika ditanya siapa kelompok yang dimaksud, Suprapto menuturkan bisa berupa geng kriminal atau para alumni itu sendiri.
Para pelajar juga dimanfaatkan sebagai "tameng" dalam melakukan aksi karena usianya yang masih di bawah umur membuat mereka hanya akan mendapat hukuman ringan apabila tertangkap. Oleh Suprapto, hal ini disebut sebagai "nyilih tangan".
"Bahkan mereka diberi doktrin, dibekali senjata dari yang dulunya batu sekarang mengenal celurit. Itu tidak mungkin dilakukan pelajar atau remaja kalau tidak difasilitasi pihak lain," kata Suprapto.
Dalam kasus yang menimpa Daffa dan Bobi, Suprapto meyakini pelakunya sama-sama kelompok klitih apabila dilihat dari motifnya yang sekadar untuk melukai korban.
Tetapi Suprapto juga meyakini bahwa pelaku klitih tidak memilih korbannya secara acak.
Dalam kasus Daffa, dia yakin bahwa korban telah diidentifikasi sebagai kelompok musuh dan ditargetkan oleh geng klitih yang terdiri dari pelajar murni. Sedangkan dalam kasus Bobi, bisa jadi pelaku "salah sasaran".
Kasus klitih yang terus berulang membuat Bobi resah dan merasa tidak aman bepergian di kota tempat tinggalnya sendiri.
Sebagai orang yang pernah menjadi korban, Bobi menilai para pelaku tidak mendapat hukuman yang setimpal. 16 pelaku yang menyerang Bobi hanya dikenakan wajib lapor. Salah satu alasannya karena Bobi tidak memperkarakan kasus itu lebih lanjut setelah mempertimbangkan kesibukan kuliahnya.
"Tapi aku yakin kalau aku kasuskan pun ujung-ujungnya cuma wajib lapor," kata dia.
Tetapi kali ini Bobi betul-betul berharap aparat keamanan memiliki cara yang lebih efektif untuk memberantas aksi kejahatan jalanan itu sampai ke akar-akarnya.
"Takutnya kalau terus dibiarkan, masyarakat anggap polisi enggak punya power, akhirnya mereka menciptakan hukum rimbanya sendiri," kata Bobi.
Kepala Bidang Humas Polda DIY, AKBP Yulianto, menolak permintaan BBC News Indonesia untuk diwawancara terkait ini. Sedangkan Direktur Reserse Kriminal Umum Polda DIY Komisaris Besar Ade Ary Syam belum merespons hingga artikel ini ditulis.
Baca juga:
Sementara itu, keresahan masyarakat juga tampak melalui media sosial, di mana topik klitih masih menjadi perbincangan hangat hingga Jumat (08/04). Muncul pula informasi-informasi seputar penangkapan "klitih" oleh warga yang belum seluruhnya terkonfirmasi.
Sosiolog Suprapto mengingatkan masyarakat untuk tidak main hakim sendiri dalam situasi ini, sebab hal itu hanya akan menimbulkan konflik horizontal.
"Andaikata masyarakat sempat menangkap pun lebih baik segera laporkan dan biar aparat berwenang yang menangani," kata dia.
Hanya saja, penegakan hukum yang tidak menimbulkan efek jera ditenggarai sebagai salah satu penyebab terus berulangnya kasus kejahatan jalanan ini. Usia pelaku yang masih anak-anak membuat mereka kerap mendapat hukuman ringan.
"Polisi pun dalam posisi dilema, tapi ada yang menghambat untuk bertindak tegas karena mereka anak-anak, akhirnya diversi [penyelesaian perkara anak di luar pidana]. Tapi ya susah kalau sudah sampai membunuh, masa diversi?" ujar dia.
Tetapi Suprapto menegaskan penanganan kejahatan jalanan tidak bisa hanya bermuara pada penindakan aparat di lapangan. Menurut dia, pihak sekolah dan orang tua harus turut terlibat dalam pencegahan yang terintegrasi.
"Kalau keluarga ikut menjaga, polisi berpatroli dan guru di sekolah juga melakukan pemetaan, saya kira ini bisa mencegah," kata Suprapto.
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.