Sementara itu, Direktur dan Konselor Women's Crisis Center Pasundan Durebang, Ira Imelda menyatakan hal yang paling penting dilaksanakan saat ini adalah memastikan bahwa pemulihan korban berjalan baik dan ada jaminan perlindungan bahwa kejahatan serupa tidak berulang lagi.
"Kami berharap agar hak korban-korban diperhatikan, seperti restitusi dan pemulihan. Jadi bukan hanya pemidanaan," kata Ira.
Sebelumnya diberitakan, sedikitnya 13 santri perempuan menjadi korban kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan HW, pengampu suatu pondok pesantren di Bandung, Jawa Barat, sejak 2016 hingga 2021.
Para santri yang menjadi korban kekerasan seksual rata-rata berusia 13-16 tahun, dengan beberapa di antaranya telah melahirkan bayi. Bahkan, salah satu korban telah melahirkan dua anak.
Kasus itu pertama kali dilaporkan kepada kepolisian Mei silam, namun baru diketahui publik ketika sidang ketujuh dengan agenda mendengar keterangan saksi di Pengadilan Negeri Bandung, Selasa lalu (07/12).
Herry pemilik dan pengurus Pondok Tahfiz Al-Ikhlas, Yayasan Manarul Huda Antapani dan Madani Boarding School Cibiru dituduh telah melakukan pemerkosaan terhadap anak-anak di bawah umur.
Ia dituding melanggar pasal 81 ayat 1 dan 3 UU Perlindungan Anak dan terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara.
Minimnya sorotan publik terhadap kasus kekerasan seksual di pesantren ini memicu pertanyaan tentang pengawasan di lingkup pondok pesantren yang tertutup.
Padahal, merujuk data Komnas Perempuan pada periode 2015 - 2019, kekerasan seksual di lingkungan pesantren di posisi kedua terbanyak setelah universitas.
Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi, menyebut selama ini "belum ada intervensi" pengawasan di pesantren, termasuk terkait kekerasan seksual.
Hal itu diakui oleh kementerian yang mengurusi pesantren, Kementerian Agama, yang menyebut dalam posisi dilematis menyikapi kekerasan seksual di lingkup pesantren yang tertutup dan enggan diintervensi.
Bangunan Rumah Tahfidz Al Ikhlas, yang terletak di kota Bandung, Jawa Barat, tampak kosong dan sepi, Rabu siang (8/12).
Di depan bangunan mewah bertingkat itu terlihat sejumlah papan nama, antara lain Rumah Tahfidz Al Ikhlas, Forum Komunikasi Pendidikan Al Quran, dan Koperasi Syariah Al Ikhlas.
Salah satu warga, Suyatna, menyebut pemilik rumah itu, HW, "tak bersosialisasi" dengan warga sekitar.
Perempuan yang tinggal berdekatan dengan rumah itu mengatakan sejak awal pandemi Covid 19, tidak terlihat ada kegiatan di rumah bercat kuning itu.
Biasanya, beberapa kali terlihat ada murid rumah tahfidz yang berkegiatan di bangunan tersebut. Suyatna menyebut semua murid berjenis kelamin perempuan atau biasa disebut santriwati.
"Ada (santri) sebelum pandemi, setelah pandemi, bubar aja. (Santrinya) pada nginap, cewek semua," kata ujar Suyatna.
"Enggak dengar di sini (ada kasus kekerasan seksual), tahu-tahu si santri sudah pindah semua," kata Azid, warga yang lain.
Tak banyak warga mengetahui bahwa di lokasi itu pernah menjadi saksi bisu pemerkosaan yang dilakukan HW, pemilik dan pengurus rumah mengaji tersebut terhadap belasan santrinya.
Rumah itu adalah salah satu lokasi - yang lain termasuk beberapa lokasi pesantren, hotel dan apartemen - tempat Herry diduga melakukan kekerasan seksual terhadap sejumlah santri perempuan di bawah umur.
Wartawan di Bandung, Yulia Saputra berkontribusi untuk artikel ini.
Catatan editorial: Artikel ini diperbarui pada 10 Desember untuk menambahkan pernyataan Wagub Jabar bahwa dia tidak pernah berkunjung ke sekolah atau yayasan milik HW.
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.