Meski nasib pemohon kala itu tidak terlalu baik, Ramos tetap maju dengan gugatannya. Dia tidak ingin ada orang-orang yang bernasib sama seperti dirinya.
Konselor pernikahan beda agama, yang juga merupakan Direktur Program Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Ahmad Nurcholish, mengatakan tidak semua Dinas Dukcapil mau mencatatkan pernikahan beda agama. Ahmad mengungkap hanya Salatiga dan Yogyakarta saja yang selalu mengakui pernikahan beda agama.
Tak jarang Nurcholish harus berdiskusi dengan para staf di Disdukcapil tertentu agar bisa mencatatkan pernikahan beda agama yang dia bantu. Namun, hasil advokasi itu bisa jadi tidak akan berlangsung lama ketika terjadi pergantian para pejabat setempat.
"Pada akhirnya kita ini ada rasa lelah juga karena hampir setiap hari harus melakukan itu," kata Nurcholish.
Ketika mengalami kebuntuan, Nurcholish mengatakan biasanya pasangan diminta untuk "menyamakan agama".
"Malah sebagian Dukcapil itu, dari mulai kelurahan biasanya menyarankannya begini, 'Begini saja, kalian itu disamakan saja dulu agama di KTP, nanti setelah menikah bisa diubah lagi,'" ujar Nurcholish menceritakan pengalamannya.
"Justru itu yang disebut mempermainkan agama sebetulnya, kan."
Padahal Nurcholish menilai pasangan beda agama sudah mempunyai kesadaran untuk menghormati keyakinan masing-masing, tetapi para aparatur sipil negara, menurut Nurcholish, tidak bisa memahami cara seperti itu.
Dirjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif mengakui ada ketidakseragaman tafsir di berbagai daerah. Selama ini, kata Zudan, Dukcapil mencatatkan pernikahan beda agama melalui penetapan pengadilan. Hal itu dilakukan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1400k/pdt/1986.
Namun, untuk mendapatkan kepastian di tengah polemik nikah beda agama yang sering kali muncul, Kementerian Dalam Negeri kembali meminta kepastian kepada Mahkamah Agung mengenai nikah beda agama.
"Minggu lalu kami kirim suratnya. Belum ada balasan. Tapi kami sudah satu suara, mengikuti Undang-undang Adminduk pasal 35, pencatatan yang berbeda agama harus ada penetapan pengadilan," kata Zudan pada Rabu (30/3).
Undang-undang yang dimaksud adalah Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administasi Kependudukan. Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi: a. perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan; dan b. perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di Indonesia atas permintaan Warga Negara Asing yang bersangkutan.
Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menilai Undang-undang Perkawinan memang sudah waktunya direvisi karena masih terus menimbulkan kontroversi.
"Cukup banyak kerepotan-kerepotan karena agama punya tafsir yang berbeda. Jadi saya kira ketimbang akhirnya menimbulkan perbedaan pendapat yang terlalu tajam, lebih baik pasal itu memang tidak ada," kata Bivitri.
Dia menjelaskan di kebanyakan negara di dunia ini, kecuali negara Islam, tidak ada yang mengaitkan pencatatan perkawinan secara negara dengan perkawinan secara agama.
"Menikah itu kan sebenarnya Hak Asasi Manusia, itu ada di konstitusi juga. Tugas negara itu cuma mencatat supaya menfasilitasi perkawinan itu. Itulah sebenarnya konsep hukum perdata dari perkawinan, untuk memiliki harta bersama, pajak, keabsahan anak, hak waris, dan seterusnya," ujar Bivitri.
Dilihat dari kacamata hukum, Undang-undang Perkawinan tidak secara eksplisit melarang dan membolehkan pernikahan beda agama.
Aturan yang lebih jelas mengenai pernikahan beda agama terdapat pada putusan Mahkamah Agung, seperti yang disebutkan sebelumnya, yang harus menggunakan putusan pengadilan sebelum dicatatkan di Disdukcapil.
"Karena prinsipnya, catatan sipil hanya mencatat, tapi yang mengesahkan adalah pengadilan atau otoritas agama, sesuai pasal 2 (Undang-undang Perkawinan)," kata Bivitri.
Artikel ini merupakan hasil liputan BBC Indonesia yang ditayangkan juga di Kompas.TV
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.