Sebagian barang dan jasa yang ditetapkan tak dikenai PPN ini, tetap menjadi objek pajak daerah, dan retribusi daerah.
Lebih rinci tentang PPN nantinya akan dijelaskan melalui peraturan pemerintah. Namun, hingga Rabu (30/03) atau dua hari pemberlakuan PPN 11%, aturan ini belum dipublikasi pemerintah.
Bagaimana pun, sebagian harga barang ini telah mengikuti mekanisme pasar, termasuk kedelai yang berpengaruh terhadap produk turunannya seperti tahu dan tempe.
Bidang Kajian Akuntansi dan Perpajakan Asosiasi Emiten Indonesia, Ajib Hamdani mengatakan meskipun kenaikan PPN sebesar 1%, tetap akan berpengaruh terhadap daya beli masyarakat.
"Karena sudah pasti kenaikan PPN ini dikenakan atas masyarakat, bukan oleh pengusahanya," kata Ajib.
Ia memperkirakan kenaikan PPN ini dapat menyumbang pada angka inflasi, dan menekan target pertumbuhan ekonomi. "Jadi kalau pun pemerintah membuat target ekonomi tinggi, di atas 5% misalnya. Tapi kalau inflasinya tinggi, itu sama juga bohong," katanya.
Sementara, pengamat ekonomi Yanuar Rizky mengilustrasikan harga sepotong ayam goreng seharga Rp10.000, bisa naik hingga Rp11.600 jika kenaikkan PPN 1% diterapkan. Sebab, bahan-bahan produksinya juga ikut naik karena beban PPN.
"Sekarang kita realita saja, minyak gorengnya saja sudah naik," katanya.
"Masyarakat sudah berada dalam situasi teriak. Ini risikonya tinggi. Naikin inflasi lewat naikin harga PPN. Harga pangan naik. Harga energi naik. Pajak naik. Kalau masyarakatnya nggak kuat, kan jadi risiko sosial politik," tambah Rizky.
Ia juga menyayangkan pemerintah masih belum bisa mengerem belanja negara "terutama kan pengen punya IKN."
Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu mengatakan tak ada penundaan kenaikan PPN. Kata dia, inflasi "masih berada dalam target pemerintah 2-4% untuk tahun 2022."
"Itu sudah termasuk dari dampak semua harga yang kita pantau, per saat ini. Dan, juga termasuk kenaikan PPN dari 10% menjadi 11%.
"Nah, kita pastikan kebijakan-kebijakan yang sudah kita rencanakan dengan baik ini, kita pastikan dampak terhadap masyarakatnya tetap terjaga," kata Febrio.
Sari Hidayani, adalah buruh di sebuah pabrik alas kaki di Tangerang, Banten, yang selama masa pagebluk gajinya tidak pernah naik.
Belakangan ini, ia harus mengerem pengeluaran, karena harga kebutuhan pokok naik ditambah lagi akan ada kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN).
"Yang paling sering dipangkas, ya kebutuhan seperti makan," katanya kepada BBC News Indonesia, Rabu (30/03).
Sementara itu, kantong Upi Tri Asniwati tetap terguncang, karena harga barang kebutuhan sehari-hari yang terus merangkak naik.
Buruh pabrik tas di Jawa Barat, sekaligus orang tua tunggal tiga anak yang punya penghasilan sekitar tiga juta rupiah per bulan ini, mengatakan sudah cukup dalam kesulitan sejauh ini.
"Untuk saya pribadi, sangatlah pusing untuk mengatur keuangan seperti apa. Dari produktivitas juga, lemburan lagi tidak banyak," kata Upi.
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.