Di sisi lain, Haris Azhar mengaku sedang mempertimbangkan untuk melaporkan balik Menteri Luhut Pandjaitan soal dugaan kejahatan ekonomi dan investasi di Papua.
"Kami sedang menyusun pelaporan dan bukti spesifiknya. Sementara itu kami fokus pada pemeriksaan hari ini," ungkap Julius Ibrani.
Kapolri Listyo Sigit berulang kali mengingatkan jajarannya untuk mengedepankan restorative justice atau langkah damai dalam menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan pelanggaran UU ITE.
Mekanisme itu digulirkan setelah gencarnya kritik atas penggunaan pasal karet dalam UU ITE lantaran dianggap membungkam kritik dan menghalangi kebebasan berpendapat.
Pengacara Haris dan Fatia, Julius Ibrani, mengatakan pendekatan jalan damai untuk kasus ini tidak berjalan baik.
Karena polisi berat sebelah dalam menerapkannya.
"Pada pemanggilan pertama, Luhut ke AS dan itu tidak dipermasalahkan oleh penyidik. Tapi saat klien kami dipanggil kedua kalinya, klien kami tidak bisa hadir karena penugasan ke Papua. Namun dianggap mangkir dan langsung 'digas' status kasus ini ke penyidikan."
"Ini kan enggak benar prosesnya."
Kendati demikian, Julius berkata upaya jalan damai masih bisa memiliki peluang dan kliennya siap untuk meminta maaf, asalkan pihak Luhut memaparkan data tandingan yang menyanggah hasil riset tersebut.
"Jangankan minta maaf, kami cabut dan revisi (hasil riset) itu, kami siap. Tapi kan kami enggak tahu yang mana yang salah? Kalau tidak tahu, apa yang mau kami cabut dan minta maafkan?"
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Endra Zulpan, menekankan penyidik bekerja sesuai fakta hukum dalam penetapan tersangka terhadap aktivis Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti.
Bahkan, klaimnya, penyidik tidak tergesa-gesa dalam menetapkan status tersangka.
"Kami tidak pernah melihat faktor lain terutama apa yang mereka sampaikan, politis dan sebagainya," kata Endra Zulpan, Senin (21/3).
"Kalau dilihat penerapan tersangka tidak tergesa-gesa. Waktu penetapan tersangka ini hampir lima bulan. Jadi cukup lama penyidik mempelajari kasus ini."
Zulpan juga menambahkan penyidik mengedepankan upaya restorative justice dengan mengagendakan mediasi antara Luhut dan Haris-Fatia. Hanya saja, mediasi gagal lantaran kedua belah pihak tidak kunjung bertemu.
Pakar hukum pidana dari Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, menilai UU ITE sudah menjadi alat balas dendam terutama kepada lawan politik.
Ia merujuk pada sejumlah kasus penersangkaan kepada orang-orang yang berseberangan dengan pemerintah seperti Jumhur Hidayat dan Ahmad Dhani.
"UU ITE ini 'diperalat' untuk mengkriminalisasi lawan-lawan. Ini adalah suatu alat untuk bisa melakukan pembalasan terhadap pihak yang lain," imbuh Agustinus Pohan.
Untuk kasus Haris-Fatia, dia menilai tidak layak diteruskan. Sebab apa yang disampaikan keduanya merupakan kritik terhadap pejabat publik.
"Kalau kritik maka tidak boleh dikriminalisasi. Tapi hal semacam ini selalu tergantung angle mana kita mau gunakan. Satu sisi kritik, sisi lain mencemarkan nama baik."
Menurut Agustinus, pendekatan hukum pidana tidak lagi tepat untuk menggugat seseorang atas sangkaan pencemaran nama baik. Pasalnya, delik itu bersifat personal.
Sehingga, katanya, akan lebih tepat jika penggugat maupun penyidik menggunakan hukum perdata.
"Karena (pencemaran nama baik) ini sesuatu yang personal, bukan sesuatu yang sifatnya publik. Kalau semua dipidana, maka mudah sekali orang masuk penjara."
"Kalau perdata kan, paling putusannya ganti rugi. Sebab yang penting kan pernyataan atau putusan dari pengadilan. Itu cara yang lebih enak."
Artikel ini merupakan hasil liputan BBC Indonesia yang ditayangkan juga di Kompas.TV
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.