Kelompok yang menamai diri sebagai Koalisi Persaudaraan & Advokasi Umat (KPAU) mengeluarkan "mosi tidak percaya" terhadap proses persidangan penembakan enam anggota FPI.
Pernyataan ini dikeluarkan setelah hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan dua terdakwa yang merupakan anggota polisi "tidak dapat dijatuhi pidana karena alasan pembenaran dan pemaaf."
Sementara itu, Kejaksaan Agung belum menentukan sikap untuk melakukan upaya hukum lanjutan.
Kasus ini sempat menjadi perhatian Presiden Joko Widodo, serta penyelidikan Komnas HAM.
Berikut hal-hal yang diketahui terkait dengan insiden penembakan enam anggota FPI.
Baca juga:
Apa putusan hakim?
Kasus ini telah berjalan dari peristiwa hingga putusan pengadilan, lebih dari satu tahun.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dipimpin Muhammad Arif Nuryanta memvonis bebas dua terdakwa, Briptu Fikri Ramadhan dan IPDA M Yusmin Ohorella.
Dalam putusan Hakim Arif Nuryanta, terdakwa Rifki Ramadhan terbukti melakukan tindak pidana dakwaan primer.
Namun, Hakim Arif menyatakan perbuatan tersebut "dalam rangka membela terpaksa dan pembelaan terpaksa melampaui batas."
Hakim Arif juga mengatakan "bahwa kepada terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana karena adanya alasan pembenaran dan pemaaf." Dan "melepaskan terdakwa oleh karena itu dari segala tuntutan hukum."
PN Jakarta Selatan juga memutuskan "memulihkan hak-hak terdakwa dalam kemampuan kedudukan, harkat, serta martabatnya." Dan membebankan biaya perkara ini kepada negara.
"Terima kasih, kami menerima putusan ini," kata terdakwa Fikri Ramadhan saat ditanyai tanggapannya oleh hakim. Sementara jaksa penuntut umum mengatakan, "Atas putusan tersebut kami nyatakan pikir-pikir"
Vonis yang sama juga dijatuhkan kepada M Yusmin Ohorella.
Bagaimana reaksi tim advokat?
Kelompok yang menamai diri sebagai Koalisi Persaudaraan & Advokasi Umat (KPAU) menyatakan "mosi tidak percaya" terhadap keseluruhan persidangan penembakan enam anggota FPI.
"Putusan yang melepaskan terdakwa dengan dalih alasan pembenar dan pemaaf karena pembelaan terpaksa, adalah putusan sesat dan menyesatkan, tidak sesuai dengan realitas perkara dan mencederai rasa keadilan masyarakat," kata Ketua Umum KPAU, Ahmad Khozinudin dalam keterangan tertulis, Sabtu (19/03).
Menurut KPAU, perbuatan kedua terdakwa tidak memenuhi unsur pembelaan yang bersifat terpaksa.
"Berdasarkan fakta hukum di persidangan yang terangkum dalam tuntutan jaksa IPDA M Yusmin Ohorella, terbukti telah melakukan penguntitan (surveilans), sementara Briptu Fikri Ramadhan terbukti tidak memperhatikan asas, nesesitas, dan proporsionalitas dalam menggunakan senjata api saat mengawal korban," tambah Ahmad Khozinudin.
Peristiwa penembakan terjadi 7 Desember 2020 dini hari di jalan tol KM 50 Jakarta-Cikampek.
Menurut KPAU, saat itu anggota FPI di dalam mobil yang merasa terancam karena telah "dikuntit, dipepet hingga terjadi penangkapan".
"Di mana petugas yang melakukan penangkapan tidak menggunakan seragam resmi sehingga dapat dipahami 6 laskar FPI merasa mendapat gangguan yang mengancam jiwa dan keselamatan dari orang atau sekumpulan orang yang hendak melakukan kejahatan," ujar Ahmad Khozinudin.
KPAU menyimpulkan unsur pembelaan terpaksa dan pembelaan darurat seperti yang menjadi pertimbangan hakim, tidak terpenuhi.
"Dalam kasus ini berkonsekuensi pada tidak ada alasan yang dapat menghilangkan unsur melawan hukum perbuatan yang dapat dijadikan dasar untuk memberikan pembenaran dan/atau permaafan kepada terdakwa Briptu Fikri Ramadhan dan IPDA M Yusmin Ohorella," kata Ahmad Khoizinudin.
Sementara itu, Kejaksaan Agung (Kejagung) masih pikir-pikir untuk mengambil langkah hukum selanjutnya menyusul vonis bebas terhadap Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda M Yusmin Ohorella, dua terdakwa kasus yang disebut-sebut unlawful killing anggota FPI.
"Kita hormati putusan pengadilan, sementara sikap jaksa sudah tepat pikir-pikir. Kita pelajari dulu putusan lengkapnya, nanti baru penuntut umum mengambil sikap," ujar Kapuspenkum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana kepada wartawan.
Pihak jaksa sebelumnya menuntut kedua polisi yang menjadi terdakwa kasus penembakan empat anggota FPI agar dapat dipidana selama enam tahun penjara apa yang disebut "terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana merampas nyawa orang secara bersama-sama."
Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda Yusmin Ohorella didakwa karena menembak empat anggota FPI setelah pengejaran yang berakhir baku tembak di Jalan Tol Cikampek Kilometer 50. IPDA Elwira Pribadi juga ikut didakwa dalam kasus ini, tapi ia meninggal dunia.
Peristiwa ini berawal saat Yusmin, Fikri dan IPDA Elwira Pribadi diperintahkan membuntuti mobil milik Rizieq Shihab.
Dua anggota FPI Luthfi Hakim dan Andi Oktiawan tewas pada baku tembak pada saat itu. Sementara empat anggota FPI ditembak di dalam mobil polisi, setelah ditangkap usai insiden baku tembak tersebut.
Komnas HAM menyatakan ada indikasi unlawfull killing atau pembunuhan yang terjadi di luar hukum terhadap empat orang tersebut.
Empat anggota FPI yang tewas setelah baku tembak Muhammad Reza, Ahmad Sofyan alias Ambon, Faiz Ahmad Syukur, dan Muhammad Suci Khadavi.
Mengapa menjadi perhatian Presiden Jokowi?
Pada dasarnya, terdapat beragam versi dalam insiden ini.
Versi polisi menyebutkan enam anggota FPI itu ditembak mati, karena berusaha menyerang petugas kepolisian yang membuntutinya. Namun versi FPI menyebutkan mereka diserang terlebih dahulu.
Insiden ini kemudian menimbulkan kritikan para pegiat HAM yang menyebut tindakan kepolisian sudah melewati batas. Namun sebagian lainnya dapat memahami langkah kepolisian tersebut.
Dalam pernyataannya, Presiden mengatakan, sebagai negara hukum, sudah seharusnya hukum harus ditegakkan dan dipatuhi untuk melindungi masyarakat, bangsa dan negara.
"Jadi, sudah merupakan kewajiban aparat penegak hukum untuk menegakkan hukum secara tegas dan adil," kata Presiden Jokowi.
"Dan ingat, aparat hukum itu dilindungi oleh hukum dalam menjalankan tugasnya," ujar Presiden.
Dalam konteks inilah, aparat hukum "tidak boleh gentar dan mundur sedikitpun" dalam melakukan penegakan, katanya.
Namun demikian, dalam menjalankan tugasnya, Presiden Jokowi mengingatkan agar aparat penegak hukum "wajib mengikuti aturan hukum dalam menjalankan tugasnya".
Aparat hukum juga wajib "melindungi hak asasi manusia dan menggunakan kewenangannya secara wajar dan terukur," tegas Presiden.
Artikel ini merupakan hasil liputan BBC Indonesia yang ditayangkan juga di Kompas.TV
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.