Rusia menyerang Ukraina:
Akan tetapi invasi Rusia ke Ukraina dipotret oleh publik Indonesia sebagai Rusia melawan Amerika Serikat atau NATO.
"Ukraina-nya jadi tidak penting."
Kondisi seperti itu, jelas Radityo, membuat masyarakat Indonesia seolah-olah berpihak pada Rusia. Padahal menurutnya, tidak peduli siapapun yang berseberangan dengan Amerika Serikat, maka akan didukung.
"Jadi dukungan (ke Rusia) lebih ke situ. Perasaan bahwa AS dan Barat sudah semena-mena terutama kepada negara Islam. Sehingga jika ada yang berani melawan AS dan Barat, mereka (publik Indonesia) mendukung."
Faktor kedua karena sosok Presiden Vladimir Putin yang dinilai tegas.
Rakyat Indonesia, menurut Radityo, mudah terkesima dengan penampilan pemimpin yang tegas dan kuat karena mengingatkan citra itu pada mantan Presiden Sukarno.
"Apalagi romantisme dengan masa lalu Sukarno yang tegas anti-Barat sangat dominan. Image Putin terlihat seperti itu di mata masyarakat Indonesia. Apalagi dia mantan intelijen. Sementara Zelensky, komedian."
Hal lain, didorong oleh sentimen agama.
Meskipun di masa lalu Uni Soviet pernah menyerang Afghanistan, Suriah, dan Chechnya, tapi kini Rusia -melalui diplomasi publik- mampu mengubah pandangan dari musuh menjadi sahabat kaum Muslim.
Di Rusia, katanya, Islam menjadi agama terbesar kedua setelah Kristen Ortodoks. Bangunan masjid didirikan di banyak tempat.
"Hal itu dilihat oleh kelompok Islam di Indonesia."
"Makanya banyak video atau artikel dalam bahasa Indonesia yang penontonnya jutaan dan menganggap Rusia adalah rekan bagi kelompok Islam."
Terakhir adalah diplomasi publik Rusia yang banyak memberikan beasiswa kepada ratusan mahasiswa untuk belajar ke negara itu.
Yang menarik, katanya, narasi yang dikembangkan dari para lulusan penerima beasiswa itu atas invasi Rusia ke Ukraina, sama persis dengan pemerintah Rusia.
"Bahwa apa yang dilakukan Rusia, hanya operasi militer. Itu sudah menunjukkan keberpihakan posisi."
Parahnya, analisa yang pro-Rusia tersebut ditelan mentah-mentah oleh masyarakat Indonesia. Apalagi pengetahuan publik Indonesia tentang apa yang melatari konflik Ukraina dengan Rusia, sangat minim.
Untuk diketahui ketegangan di kawasan itu turut dipicu oleh sikap Rusia yang mengakui kemerdekaan dua wilayah di Ukraina yakni Luhansk dan Donetsk.
"Jadi mudah sekali di balik narasinya dan sangat mudah menganggap ini hanya konflik geopolitik besar antara Rusia dengan Amerika Serikat."
"Kalau narasi di level elit dan akademisi seperti itu, ya terbayang dong di bawah yang enggak paham seperti apa. Termakan oleh narasi yang dominan itu."
Kepopuleran Kedutaan Besar Rusia daripada Ukraina pun, menurut dia, turut menyokong bekerpihakan warga Indonesia.
Radityo merujuk pada pengikut akun Kedutaan Besar Rusia di Indonesia @RusEmbJakarta dan interaksi percakapannya lebih besar ketimbang Kedutaan Besar Ukraina @UKRinINA.
"Sehingga begitu ada perang, mudah sekali simpati publik diberikan kepada yang mereka kenal atau lebih tahu."
Bagi Radityo sikap publik Indonesia yang tidak seragam membela korban invasi -seperti yang terjadi pada Palestina- berdampak pada hilangnya legitimasi moral sebagai bangsa.
"Kita enggak bisa lagi banyak komentar, karena kita ragu-ragu ketika dihadapkan pada situasi begini dan masyarakat kita mudah sekali diubah posisinya karena keberadaan AS."
Lebih dari itu, posisi masyarakat Indonesia di mata dunia terkesan hipokrit. Sebab publik akan cenderung peduli jika korban penindasan adalah kelompok Islam.
"Kalau bukan (kelompok Islam), kesannya tidak mendukung. Ini agak mengkhawatirkan."
Artikel ini merupakan hasil liputan BBC Indonesia yang ditayangkan juga di Kompas.TV
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.