"Dengan potensi magnitude dan kedalaman dangkal, gempa di sekitar zona patahan Sumatera juga berpotensi menimbulkan bencana ikutan yakni tanah longsor, terutama pada daerah perbukitan bertopografi terjal," tulis Ade.
Ade juga menjabarkan bahwa sekitar 3,4 juta penduduk di 12 kabupaten dan kota di Sumatera Barat berada pada zona dengan bahaya ancaman gempa bumi yang tinggi.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), mengatakan gempa pada Jumat lalu merupakan jenis gempa kerak dangkal akibat aktivitas sesar besar Sumatera, tepatnya pada segmen Angkola bagian selatan.
Sesar Sumatera terbentuk akibat lempeng India-Australia menabrak bagian barat pulau Sumatera, sehingga menghasilkan tekanan. Sesar ini membelah Pulau Sumatera dengan bentangan dari Lampung hingga Banda Aceh dan menjadikan wilayah sekitarnya rawan gempa bumi serta longsor.
Di Sumatera Barat, terdapat empat segmen yang merupakan bagian dari sistem sesar Sumatera. Salah satunya adalah segmen Angkola.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati memaparkan riwayat gempa di Sumatera Barat telah terjadi sejak 1835 dan ada potensi gempa dengan kekuatan yang lebih besar melanda wilayah ini.
"Kami mencatat segmen Angkola ini mampu membangkitkan energi dan membersihkan gempa hingga kekuatan 7,6," kata Dwikorita.
Sementara itu, peneliti geoteknologi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Mudrik Daryono mengatakan sumber pasti dari gempa yang mengguncang wilayah Pasaman tersebut, meski memang ada kemungkinan itu berasal dari sesar aktif Angkola.
Menurut dia, perlu ditelusuri lebih lanjut asal muasal sesar aktif tersebut untuk diketahui dampaknya terhadap pergerakan sesar-sesar aktif di patahan Sumatera.
"Kami di BRIN sedang mempersiapkan tim untuk survei ke sana untuk memastikan sumber gempa itu di mana, jadi kita bisa mempelajari lebih rinci lagi apa konsekuensi dari lepasnya energi gempa yang terjadi itu," kata dia.
Meski demikian, Mudrik sepakat bahwa potensi gempa yang terjadi di sepanjang patahan Sumatera bisa berkekuatan hingga M 7. Oleh sebab itu, pemerintah daerah dan masyarakat di sekitarnya harus memahami potensi risiko tersebut.
Jatuhnya korban jiwa dan hancurnya rumah-rumah warga, kata dia, menunjukkan bahwa sistem mitigasi atas risiko itu belum berjalan baik dan perlu dievaluasi.
"Itu jelas sepanjang sesar Sumatera semuanya harus siap siaga dengan goncangan gempa bumi, itu jelas iya. Tidak mungkin tidak siap, itu enggak boleh," ujar Mudrik.
Pakar kegempaan dari ITB, Irwan Meilano mengatakan minimnya pemahaman masyarakat akan risiko gempa dan longsor yang mengintai di wilayah tempat tinggal mereka telah membuktikan bahwa sistem mitigasi gempa darat, seperti di area patahan Sumatera, kerap terlupakan.
Padahal, gempa darat akibat aktivitas sesar Sumatera memiliki karakteristik dangkal, kurang dari 20 kilometer, sehingga dapat menyebabkan kerusakan hebat dan bencana ikutan berupa longsor.
Kajian dan penelitian terkait ancaman potensi gempa itu, kata Irwan, sebetulnya telah diketahui dan dipahami oleh pemerintah daerah dan BPBD.
"Tapi [informasi itu] tidak dijadikan bahan pengambil kebijakan. Misalnya tidak masuk kurikulum pendidikan di Dinas Pendidikan, tidak jadi masukan bagi Bappeda untuk mengarusutamakan pengurangan risiko bencana ke pembangunan mereka," papar Irwan.
Baca juga:
Selain itu, mitigasi akan potensi gempa darat belum seterencana sistem yang dibangun terhadap ancaman gempa megathrust dan tsunami.
Sebab menurut Irwan, mitigasi gempa megathrust dan tsunami adalah isu global yang sistem peringatan dininya bisa diadaptasi dari apa yang diterapkan di negara-negara lain.
Sedangkan ancaman gempa dari sesar aktif seperti di Sumatera dia sebut sebagai "persoalan khas Indonesia yang harus dibangun dengan kemampuan dan pengetahuan sendiri".
Penanganannya pun berbeda dengan sistem mitigasi tsunami yang melibatkan peringatan dini. Sedangkan pada gempa darat, tidak ada peringatan dini yang bisa diberikan.
Cara untuk mengurangi risikonya adalah dengan bangunan tahan gempa, serta memetakan jalur sesar aktif agar tidak dibangun.
Tetapi nyatanya sampai saat ini, dia mengatakan masih banyak bangunan strategis dan fasilitas publik dibangun di Sumatera dibangun di atas sesar aktif karena masyarakat tidak tahu.
"Pemimpin daerah harus bersedia masuk ke level komunitas dengan membawa hasil penelitian para pakar, di mana sih lokasi sesar, daerah mana yang boleh dibangun, mana yang tidak boleh dibangun."
"Misalnya disepakati ini bidang sesarnya 15 sampai 25 meter, jadikan itu wilayah hijau yang tidak boleh dibangun, tapi harus kerja sama dengan masyarakat adat. Di luar itu, misalnya 100 meter, boleh dibangun tapi dengan bangunan tertentu," jelas dia.
Irwan meminta agar guncangan gempa yang terjadi di Pasaman dapat menjadi alarm untuk memperbaiki sistem mitigasi.
"Ini mitigasi yang tidak kita berikan perhatian serius. Mungkin nenek moyang kita sudah lebih advance mengadopsi pengetahuan ini dengan beradaptasi dengan jenis-jenis bangunan yang kita bangun, tapi kita lupa akan pengetahuan dan kearifan itu," kata dia.
Pelaksana tugas Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari mengatakan mitigasi potensi gempa darat seperti di Sumatera Barat, bisa dilakukan dengan "memperkuat rumah masing-masing".
"Ketika bicara mitigasi gempa, kita bicara satu hal, mari perkuat struktur bangunan kita minimal dari rumah kita sendiri. Lalu apakah masyarakat bisa perkuat rumah masing-masing? Bisa. Biayanya mahal tidak? Enggak. Ada metode praktis yang mungkin biayanya tidak sampai 5 juta tapi bisa perkuat rumah kita sendiri," kata Muhari.
Apabila merujuk pada pedoman Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, bangunan tahan gempa memiliki sejumlah syarat seperti beratap ringan, kemudian rangka atapnya dijangkarkan pada dinding dengan besi berdiameter minimal 12 milimeter.
Selain itu, dasar pondasi berada di tanah yang kering, padat, dan merata, serta pondasinya lebih dalam dari 45 sentimeter di bawah permukaan tanah.
Terkait masyarakat yang belum memahami risiko bencana di wilayahnya seperti yang terjadi di Pasaman, Muhari "mengakselerasinya dengan program tangguh bencana". Di Indonesia, kata dia, telah ada lebih dari 11.000 desa tangguh bencana.
"Kalau [desa-desa] ini belum masuk situ, dan masih banyak lagi desa yang mungkin belum punya program tangguh bencana berdasarkan risiko masing-masing, ya ini harus diakselerasi," ujar Muhari.
Artikel ini merupakan hasil liputan BBC Indonesia yang ditayangkan juga di Kompas.TV
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.