Sejumlah korban gempa di Pasaman mengaku selama ini "tidak mengetahui" adanya ancaman bencana yang mengintai meski tinggal di kawasan rawan gempa bumi.
Salah satu korban gempa di Nagari Malampah -wilayah paling terdampak gempa—bernama Afrianto, 47, mengatakan selama ini tidak pernah mendapat sosialisasi terkait potensi gempa yang bersumber dari aktivitas sesar besar Sumatera.
"Enggak pernah tahu, ancaman getaran itu belum tahu, maklum di kampung kadang orang enggak ada yang kasih tahu," kata Afrianto kepada BBC News Indonesia, Minggu (27/02).
Mayoritas bangunan di Jorong Air Apung tempat dia tinggal, kata Afrianto, juga dibangun tidak tahan gempa.
Rumah Afrianto sendiri rusak berat akibat gempa tersebut, sehingga dia kini harus tinggal di pengungsian.
Baca juga:
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 11 orang meninggal dunia, empat hilang, dan 13.000 warga mengungsi akibat gempa yang mengguncang Pasaman pada Jumat (25/02).
Selain itu, lebih dari 1.400 rumah warga rusak akibat guncangan gempa. Jumlah itu belum termasuk fasilitas umum seperti rumah sakit, sekolah, dan tempat ibadah yang turut rusak.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pasaman, Alim Bazar, mengatakan wilayah yang terdampak memang masuk ke dalam kategori rawan bencana gempa.
Tetapi, dia mengatakan pemberitahuan terkait risiko bencana dia lakukan setelah bencana gempa itu terjadi.
Pakar Kegempaan dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Irwan Meilano, mengatakan sistem mitigasi gempa darat seperti yang mengancam di sepanjang sesar Sumatera kerap terlupakan apabila dibandingkan dengan mitigasi gempa laut dan tsunami yang lebih terencana dan sistematis.
Padahal, Sumatera Barat berpotensi diguncang gempa berkekuatan hingga 7,6 dari aktivitas sesar besar Sumatera. Potensi ancaman itu, kata Irwan, sebetulnya juga telah diketahui sejak lama oleh pemerintah daerah dan BPBD.
"Harapannya ini menjadi alarm penting bagi mereka, bahwa yang terjadi kemarin itu bisa jadi bukan magnitude sesungguhnya," kata Irwan.
Salah satu warga, Afrianto, mengatakan baru kali ini merasakan guncangan gempa yang begitu kuat hingga merusak rumahnya, selama tinggal di Jorong Air Apung, Malampah, sejak sembilan tahun lalu.
Selama ini, gempa yang mengguncang berkekuatan kecil dan tidak pernah menyebabkan kerusakan di kampungnya.
Afrianto pun mengaku tidak tahu dan tidak pernah diberi tahu sebesar apa potensi gempa yang mengancam di sekitar kampungnya.
Ketika gempa pertama yang berkekuatan 5,2 melanda pada Jumat pagi, dia bersama warga sontak berlari ke luar dalam keadaan panik. Selang beberapa menit kemudian gempa kedua berkekuatan 6,1 pun mengguncang.
"Rumah saya masih berdiri, tapi enggak layak huni lagi. Sudah tumbang semua, semennya sudah retak, sebagian sudah turun. Dapur malah sudah turun semua," kata Afrianto.
Pada saat itu, Afrianto mengatakan warga pun berhamburan panik. Sebagian warga, termasuk Afrianto, pergi ke sekolah menjemput anak-anak mereka.
Bangunan sekolah itu pun, kata dia, ikut hancur. Untungnya, anak-anak sekolah sedang berada di lapangan mengikuti ceramah pagi ketika gempa mengguncang.
Setelah itu, Afrianto mengetahui bahwa beberapa orang di Nagari Malampah meninggal dunia akibat tertimpa bangunan.
Menurut dia, banyak rumah warga di kampung itu dibangun dengan tembok bata, bukan lagi dengan material kayu dan bambu seperti Rumah Gadang (rumah adat khas Minangkabau).
Rumah-rumah itu pun dibangun tidak tahan gempa, sehingga banyak rumah rusak bahkan roboh usai diguncang.
"[Rumah] yang tahan gempa enggak ada. Kalau orang kampung mau ikut [spesifikasi tahan gempa], maklum kadang uangnya enggak sampai untuk beli besi," kata Afrianto.
Hal serupa juga disampaikan oleh Joni Herman, 42, yang merupakan warga Ladang Panjang, Tigo Nagari, Kabupaten Pasaman.
"Kebanyakan di sini enggak pakai [spesifikasi tahan gempa]. Besi aja kurang, batu saja disilangkan [supaya tahan gempa], tapi kemarin yang sudah dibikin seperti itu roboh juga," kata Joni.
Selain gempa, warga dihantui ancaman longsor dan banjir bandang pasca-gempa seperti yang terjadi pada Jumat malam lalu.
Pergerakan longsor tersebut sempat diasumsikan sebagai likuifaksi -pergerakan tanah akibat gempa bumi—tetapi BNPB membantahnya dan menegaskan bahwa yang terjadi adalah banjir bandang, atau yang oleh masyarakat setempat dikenal dengan istilah galodo.
Afrianto mulanya mendengar bunyi gemuruh dari arah kaki Gunung Talamau yang ternyata adalah banjir bandang itu.
"Bunyi gemuruh itu enggak henti, semacam bunyi mesin macam pesawat mendarat. Tahu-tahunya air. Kami lari ke atas bukit yang paling tinggi," kenang Afrianto.
Seorang warga lainnya bernama Sapri, 75, kehilangan anaknya banjir bandang pasca-longsor akibat guncangan gempa. Anak Sapri hilang setelah banjir bandang melanda, ketika sedang menanam jagung di ladang.
Hingga Minggu siang, Sapri masih belum mengetahui keberadaan anaknya yang bernama Safar.
Baik Sapri, Joni, maupun Afrianto tidak mengetahui bahwa longsor dan banjir bandang juga mengintai mereka pasca-gempa.
Risiko longsor ini pernah dituliskan oleh pakar dari Ikatan Ahli Geologi Sumatera Barat, Ade Edward melalui tulisannya yang dipublikasikan di situs resmi Pemerintah Provinsi Sumatera Barat pada 2013 lalu.
Dalam tulisan itu, Ade menuturkan hampir seluruh pemukiman di sekitar Bukit Barisan berada di jalur patahan Sumatera yang cenderung membentuk lembah-lembah dan daratan.
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.