Baca juga:
Ketua SWI, Tongam L. Tobing, mengatakan pihaknya bisa memblokir puluhan sampai ratusan situs ilegal setiap bulannya.
Pemblokiran dilakukan berdasarkan hasil pengawasan SWI dengan sistem yang dimilikinya, teknik crawling data, informasi dari Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), serta informasi dari masyarakat.
Namun, dia mengakui cara itu bukanlah solusi jangka panjang.
"Kita blokir hari ini, nanti sore dia ganti nama. Besok bikin baru lagi," kata Tongam kepada BBC News Indonesia.
Belum lagi kehadiran broker-broker luar negeri yang melakukan penawaran di Indonesia. Hal itu, kata Tongam, menjadi salah satu alasan mengapa situs investasi maupun trading ilegal sulit diberantas.
Tongam mengatakan "salah satu pemberi efek jera kepada pelaku" adalah dengan memproses secara hukum, tapi untuk sampai ke tahap itu harus ada laporan dari masyarakat ke pihak kepolisian untuk menindaklanjutinya.
"Kami sangat mengharapkan peran serta masyarakat apabila ada penawaran investasi yang tidak masuk akal dan tidak ada izin, kami minta masyarakat lapor ke kami di email [email protected] supaya kami lakukan tindakan segera, terutama pemblokiran dan pengumuman ke masyarakat," ujar Tongam.
SWI mengakui salah satu faktor yang melanggengkan praktik penipuan adalah minimnya pengetahuan masyarakat terkait skema investasi maupun trading yang akan mereka lakukan.
Iming-iming mendapatkan kekayaan secara cepat, kata Tongam, perlu diwaspadai oleh masyarakat karena pada kenyataannya berujung pada penipuan.
Pakar ekonomi dan manajemen, Rhenald Kasali, mengatakan saat ini cara kerja "penipu sangat cerdik".
Seperti yang dibahas dalam beberapa video di YouTube, para afiliator yang mengaku sebagai trader selalu menunjukkan kekayaan mereka yang diklaim sebagai keberhasilan dari trading yang mereka lakukan. Padahal menurut salah satu mantan afiliator, hal itu bisa direkayasa.
"Ciri-cirinya biasanya mereka menawan dan kemudian menunjukkan mereka memiliki ini dan itu, yang menjadi impian dari masyarakat, dan kemudian mereka menujukkan tidak punya empati dalam kehidupannya, misalnya di tengah pandemi mereka berfoya-foya," ujar Rhenald kepada BBC News Indonesia.
Gayung bersambut, masyarakat yang tengah menghadapi kesulitan ekonomi, secara psikologis cenderung akan tertarik. Oleh sebab itu, kata Rhenald, masyarakat harus hati-hati.
"Mereka datang seakan-akan sebagai juru selamat dan ternyata mereka adalah penipu."
Oleh sebab itu, Rhenald meminta masyarakat memperhatikan siapa yang memperkenalkan dan menyebarkan produk investasi tersebut. Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia itu meminta masyarakat memeriksa apakah orang tersebut dapat dipercaya atau tidak.
"Kalau yang menyebarkan bicaranya terlalu manis, terlalu mudah kesannya, itu hampir dapat dipastikan banyak kebohongannya."
Sayangnya, kata Rhenald, orang-orang yang dianggap melakukan kebohongan itu justru muncul di media dengan 'kisah suksesnya', berteman dengan para selebriti, dan muncul dalam dialog dan diskusi di televisi.
Dia menilai "televisi juga punya peranan yang salah di Indonesia karena menghadirkan mereka tanpa melakukan pengecekan."
Iming-iming ingin cepat kaya, ditambah dengan perilaku masyarakat yang "malas belajar dan suka ikut-ikutan" membuat penipuan semacam ini terus terjadi.
"FOMO (fear of missing out atau takut ketinggalan). Dengar temannya ikut, dia juga ikut masuk," ujar Rhenald.
Oleh sebab itu, Tongam dan Rhenald mengimbau masyarakat untuk memahami terlebih dahulu investasi apa yang mau dilakukan dan memperhatikan legalitasnya.
Izin setiap situs, kata Tongam, bisa dicari di situs kementerian terkait. Misalnya untuk perdagangan komoditas bisa ke Kementerian Perdagangan, jasa keuangan ke Kementerian Keuangan, dan koperasi ke Kementerian Koperasi dan UKM.
"Jangan sampai tak lihat legalitasnya. Cek legalitasnya," kata Tongam.
Selain soal legalitas, masyarakat juga harus bisa menilai apakah investasi tersebut masuk akal atau tidak.
Penawaran keuntungan fixed dan profit sharing dalam perdagangan seperti robotrading, kata dia, harus diwaspadai "karena perdagangan bisa naik turun, tidak ada keuntungan yang fixed".
Oleh sebab itu, sebelum menginvestasikan uangnya, Rhenald meminta masyarakat menginvestasikan waktu untuk belajar, terutama soal "membaca risiko" dalam berinvestasi.
"Dari berbagai kejadian sejak 20 tahun yang lalu, itu menunjukkan masyarakat kita tidak mampu membaca risiko," kata Rhenald. Di situlah peran otoritas dalam bidang keuangan dinilai diperlukan untuk mengedukasi masyarakat agar mereka bisa waspada.
Tongam mengatakan pihaknya telah melakukan edukasi investasi kepada masyarakat agar terhindar dari investasi ilegal, selain melakukan penindakan terhadap pelanggaran. SWI, kata Tongam, kerap melakukan edukasi melalui webinar, media, sampai jasa transportasi.
"Prinsip investasi itu learn before you earn," kata Rhenald.
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.