Manfaat JHT tetap dapat dinikmati peserta yang kena PHK, asalkan masa iurannya sudah mencapai 10 tahun. Adapun manfaat yang diberikan mencakup 30% dari JHT untuk kepemilikan rumah atau 10% untuk keperluan lain dalam bentuk tunai. Sisa manfaatnya diambil pada usia 56 tahun.
"Skema ini memberikan perlindungan agar hari tua nanti pekerja masih mempunyai dana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kalau diambil semuanya kan, maka tujuan dari perlindungan JHT itu tidak tercapai, karena sebenarnya ini untuk hari tua pekerja atau buruh," ujar Indah dalam pernyataan berupa rekaman video.
Herry awalnya sempat berangan-angan bisa menarik semua dana JHT-nya untuk modal beternak di kampung halaman kalau dirinya terkena skema pensiun dini. Namun peraturan baru Menaker itu membuat dia kini hanya berharap bisa bekerja sampai pensiun.
"Enam tahun itu jarak yang lama menurut saya, kan butuh modal besar [untuk beternak]," ujar Herry.
Kekhawatiran juga dilontarkan Dewi (45), seorang pekerja kantor suatu perusahaan swasta di Jakarta Pusat.
"JHT ini manfaatnya kalau ada untuk keadaan mendesak. Jadi kalau kita kehilangan pekerjaan, itu sebenarnya kita bisa pakai. Tidak harus menunggu usia 56 tahun kita baru cairkan. Karena ini kan tabungan masa depan juga sebenarnya.
Tidak semua orang kalau kehilangan pekerjaan itu punya tabungan yang cukup. Apalagi kita tahu dengan situasi pandemi begini kan kita tidak tahu ya apakah pekerjaan kita akan masih stabil atau tidak," ujarnya.
Indah Anggoro Putri, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Kemenaker, juga menyatakan bahwa pemerintah menyiapkan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan kepada pekerja yang mengalami PHK berupa manfaat uang tunai, akses informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja.
"Manfaat JKP ini dapat diperoleh oleh mereka yang terkena PHK selama enam bulan dan peserta juga mendapatkan peluang selama usia produktifnya untuk mendapat kesempatan klaim manfaat JKP sebanyak tiga kali," ujarnya.
Namun, baik Herry maupun Dewi sebagai pekerja mengaku masih belum mengetahui apapun mengenai JKP ini.
"JKP itu pelaksanaannya seperti apa dulu. Kita tidak pernah dapat sosialisasi ada JKP seperti ini, atau seperti itu. Nanti kalau kita kehilangan pekerjaan mengurusnya seperti apa," ujar Dewi.
Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Airlangga, Hadi Subhan, mengritik program JKP ini. Menurutnya JKP yang diberikan pemerintah tentu sangat terbatas sekali.
"Jadi kalau ada buruh di-PHK itu hanya ditanggung (dicover) enam bulan ke depan. Yang ditanggung pun tidak penuh upah yang biasa diterima. Bisa kurang dari separuh, malah ketentuannya maksimal 40 persen. Jadi betapa minimnya JKP tersebut."
Menurutnya JKP, yang diregulasikan satu tahun yang lalu setelah UU Cipta Kerja diberlakukan, lebih dilihat semacam pengaman sosial ketika waktu itu pemerintah mengeluarkan kebijakan mengurangi jumlah pesangon. "Tapi sekarang dikaitkan dengan JHT. Itu sangat tidak tepat," ujar Hadi.
Sementara itu Emelia Yanti Siahaan selaku Sekjen Gabungan Serikat Buruh Indonesia, memahami suara-suara penolakan dari kalangan pekerja dan juga masyarakat.
Dalam pantauan BBC Indonesia dalam dua hari terakhir sudah lebih dari 300.000 warganet yang mendukung petisi online "bersama-sama untuk tolak dan #BatalkanPermenakerNomor 2/2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua."
"Ini akumulasi dari situasi yang terjadi belakangan ini. Pandemi telah memerosotkan penghidupan kawan-kawan buruh. Lalu dalam dua tahun terakhir juga, untuk kenaikan upah mereka juga merasakan betul bagaimana dampak dari UU Cipta Kerja terhadap nilai kenaikan upah buruh," ujar Emelia.
Bagi dia, sangat wajar kalangan buruh berharap tabungan atau Jaminan Hari Tua yang sudah mereka bayarkan semasa bekerja selama belasan atau puluhan tahun dapat diakses dan dicairkan sewaktu-waktu, baik ketika kena PHK maupun ketika dihadapkan pada kebutuhan mendesak. Sebab, bagaimanapun itu adalah uang mereka.
"Lalu saat muncul Permenaker No.2 Tahun 2002 yang mengubah masa waktu pengambilan JHT, muncul respons dari kawan-kawan buruh: 'mengapa kami dibatasi untuk mengambil uang kami sendiri?'.
"Ini menunjukkan bahwa Permenaker ini atau pemerintah dalam membuat peraturan turunan dari UU Sistem Jaminan Sosial Nasional ini tidak memahami situasi yang dihadapi oleh kawan-kawan buruh," tutupnya.
Artikel ini merupakan hasil liputan BBC Indonesia yang ditayangkan juga di Kompas.TV
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.