Jumlah kematian akibat Covid-19 di Indonesia mencapai 100 orang dalam sehari pada Jumat (11/02). Angka ini merupakan peningkatan 25 kali lipat dari 6 Januari lalu, ketika jumlah kematian sebanyak empat orang.
Peningkatan puluhan kali lipat tersebut menjadi sorotan, apalagi kasus baru dalam sehari pada 11 Februari mencapai lebih dari 40.000.
Baca juga:
Lapor Covid-19 menyebut dengan kasus terus naik dan tren kematian juga "terus meningkat", inilah fase bahaya terselubung yang menghanyutkan kewaspadaan kita."
"Ditambah asumsi bahwa situasi sudah aman. Sebaliknya, kondisi ini akan mulai terlihat keparahannya ketika penularan kasus baru sudah semakin tidak terkendali dan kapasitas rumah sakit semakin menipis sebagaimana gelombang varian Delta memberikan hantaman keras bagi keselamatan masyarakat," tambah Lapor Covid-19.
Presiden Joko Widodo, dalam keterangan pers pada 3 Februari lalu, meminta rakyat Indonesia tetap tenang.
"Varian Omicron ini memang tingkat penularannya tinggi, namun tingkat fatalitasnya lebih rendah dibandingkan dengan varian Delta," kata Presiden Jokowi, Kamis (03/02).
Akan tetapi, jika tingkat fatalitas varian Omicron lebih rendah ketimbang varian Delta, mengapa angka kematian di Indonesia meningkat?
Profesor Tjandra Yoga Aditama, selaku mantan Direktur WHO Asia Tenggara dan mantan Dirjen P2P & Kepala Balitbangkes Kementerian Kesehatan, menyatakan ada beberapa negara yang angka kematian total pada saat dilanda varian Omicron lebih tinggi daripada ketika negara itu menghadapi varian Delta.
Dia lantas merujuk artikel World Economic Forum bertajuk "If Omicron is less severe, why are COVID-19 deaths rising?".
Artikel itu mencontohkan bahwa pada 28 Januari 2022 Australia mengalami jumlah kematian sehari paling banyak selama pandemi Covid-19, yaitu hampir 100 orang. Angka ini jauh lebih tinggi ketimbang sewaktu Australia dihantam varian Delta.
Data lain menunjukkan bahwa di Korea Selatan angka kematian tertinggi harian terjadi pada 22 Desember 2021, yaitu 109 orang. Sebelumnya angka kematian tertinggi di Korea Selatan sebelum gelombang sekarang ini adalah pada 28 Desember 2020, yaitu 40 orang wafat.
"Lebih tingginya angka kematian ini bukan karena Omicron lebih mematikan, tetapi karena jumlah kasus akibat Omicron di negara-negara itu naik amat tinggi sehingga walaupun proporsi kematian lebih kecil daripada Delta tapi angka mutlaknya tetap besar," papar Profesor Tjandra Yoga Aditama dalam pesan yang diterima BBC News Indonesia, pada Sabtu (12/02).
Profesor Tjandra, yang kini menjabat direktur pascasarjana Universitas YARSI dan Guru Besar FKUI, merekomendasikan pembatasan sosial, menerapkan pembelajaran jarak jauh bagi pelajar, memperluas cakupan vaksinasi, memberlakukan 3T (tes, telusur, dan treatment), serta mempersiapkan rumah sakit.
Soal pembatasan sosial, pemerintah telah menaikkan level Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di daerah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) menjadi level 3, Senin (7/2). Kebijakan yang sama juga berlaku untuk Bandung Raya, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan Bali.
Khusus mengenai mempersiapkan rumah sakit, dia menekankan lima aspek, yakni ketersediaan tempat tidur dan ruang rawat, obat dan alat, sistem kerja yang aman, sistem rujukan yang cermat, serta ketersediaan dan sistem kerja yang baik bagi tenaga kesehatan.
Presiden Joko Widodo, dalam keterangan pers pada 3 Februari lalu, mengatakan lonjakan kasus Covid sudah diperkirakan dan diantisipasi pemerintah dari "segi rumah sakit, obat-obatan dan oksigen, fasilitas isolasi maupun tenaga Kesehatan".
Menurutnya, "kondisi rumah sakit hingga saat ini juga masih terkendali".
Akan tetapi, sebagaimana dilaporkan Koran Tempo, ratusan tenaga kesehatan tertular Covid sehingga banyak puskesmas tutup.
BBC News Indonesia juga melaporkan rumah sakit utama di Jakarta hampir penuh dengan pasien Covid-19.
Untuk mengatasinya, pemerintah mengklaim telah memperkuat layanan fasilitas kesehatan, baik untuk rujukan (rumah sakit) maupun primer (puskesmas, klinik, dan telemedisin).
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Brian Sri Prahastuti, mengatakan faskes-faskes rujukan saat ini sudah menambah kapasitas tempat tidur dan ICU dengan membuat tenda RS darurat dan mengonversi ruang rawat biasa menjadi ruang isolasi COVID-19 dan ICU. Selain itu, juga ada penambahan stok obat dan alat kesehatan.
"Jumlah nakes, baik dokter maupun perawat, terus ditambah dengan pengaturan sif sedemikian rupa. Dengan demikian, jika ada nakes yang kelelahan atau terpapar, bisa segera teratasi," tutur Brian sebagaimana dilaporkan kantor berita Antara.
Untuk faskes primer, kata Brian, lebih difokuskan pada penanganan dan pantauan pasien tanpa gejala dan bergejala ringan.
"Dengan begitu RS hanya menangani kasus sedang, berat, dan kritis. Ini strateginya," katanya.
Dalam kesempatan itu, Brian juga mengungkapkan bahwa pemerintah mengaktifkan kembali pembiayaan kasus COVID-19 untuk insentif nakes, penyediaan obat, dan perawatan pasien Covid-19, termasuk merekrut dokter untuk ditempatkan di RS darurat, RSUD, dan puskesmas.
Berdasarkan pemantauan BBC News Indonesia, rumah sakit utama di Jakarta sudah penuh dengan pasien Covid-19 dengan gejala sedang, berat hingga kritis.
Bed occupancy rate (BOR) atau tingkat keterisian tempat tidur di RSUP Persahabatan mencapai 85%.
"Tapi itu bukan angka mutlak, karena sewaktu-waktu kami bisa tambah tempat tidur, tambah ruangan sehingga nggak akan mungkin full juga, karena akan terus ditambah," kata Dokter Spesialis Paru RSUP Persahabatan, Erlina Burhan kepada BBC News Indonesia, Jumat (04/02).
Saat ini tempat tidur di RSUP Persahabatan untuk rawat pasien Covid mencapai 65 unit. Pasien yang mendapat perawatan hanya yang bergejala sedang, berat hingga kritis.
Sementara yang bergejala ringan, setelah menjalani diagnosa dan diberi vitamin lalu "dipulangkan" untuk menjalani isolasi mandiri.
"Kalau Delta dulu 300 [unit tempat tidur], kalau kasusnya naik terus, kita akan buka terus, tambah terus tempat tidur.
"Tapi kalau yang dirawatnya banyak sekali, melebihi [kasus varian] Delta yang kemarin, ya kita pasti bakalan kolaps dan kewalahan," tambah dokter Erlina.
Selain itu, Erlina juga mengatakan untuk mencegah tenaga kesehatan tumbang, pihaknya telah mempersiapkan sistem sif jaga bergiliran di ruang rawat isolasi. "Sehingga tidak tiap hari [masuk]. Jadi dalam sebulan, 10 hari di ruang isolasi," katanya.
Kendati demikian, sejumlah RSUD di Jakarta tak tampak tumpukan orang di depan Instalasi Gawat Darurat.
Sementara itu, pada Jumat (04/02), pelataran RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) dipadati hilir mudik mobil dan motor yang keluar masuk portal parkir.
Kursi-kursi tunggu yang tersedia di dalam dan luar gedung sudah setengahnya terisi orang-orang dengan wajah letih.
Sebagian lainnya, menunggu di luar gedung; ada yang menggunakan kursi roda, sebagian tubuh dibalut perban sembari menenteng berkas-berkas dalam map transparan.
Sementara, kesibukan lainnya terjadi di ruang tes PCR. Kursi berjarak terisi penuh antrean mereka yang ingin mengetahui apakah tubuhnya terinfeksi virus Covid atau tidak.
Sekitar 30 meter dari lokasi tes PCR terdapat Gedung RSCM Kiara, tempat khusus pasien Covid mendapat perawatan.
Dari pantauan BBC News Indonesia, dalam satu jam terdapat dua mobil ambulans tiba di depan pintu gedung membawa pasien.
Adapun di bagian luar gedung IGD RSCM, saat itu tampak lengang. Tiga mobil ambulans terpakir tak jauh dari situ.
Seorang tenaga kesehatan lengkap dengan APD bersama dengan brankar atau ranjang dorong bersiaga di luar gedung.
Namun, seorang tenaga kesehatan yang berjaga di RSCM mengatakan kepada BBC News Indonesia bahwa kondisi di dalam IGD "chaos banget" karena pasien-pasien Covid mulai berdatangan.
"Kondisinya berat sih. Terutama anak dan orang tua," kata dokter yang enggan disebut namanya.
BBC News Indonesia menghubungi pihak RSCM untuk mengkonfirmasi hal ini, tapi belum mendapat respons.
Bagaimanapun, situasi Covid hari ini masih belum pada puncaknya, seperti yang diprediksi Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin.
Dalam beberapa kesempatan ia mengestimasi puncak kasus Covid gelombang ketiga akan terjadi pada akhir Februari.
"Kita masih belum tahu berapa puncaknya di Indonesia, yang perkiraan kami akan terjadi di akhir Februari," kata Menkes Budi Gunadi beberapa waktu lalu.
Ia juga mengestimasi jumlah kasus harian periode Omicron bisa lebih tinggi hingga enam kali lipat dari varian Delta.
"Bisa tiga kali sampai enam kali dibandingkan puncak Delta. Di mana puncaknya Delta di Indonesia 57.000 kasus per hari," tambah Menkes Budi yang juga mengatakan prediksi ini diambil dari kasus-kasus di beberapa negara lain.
Ia juga mengimbau masyarakat, "Kami minta tolong tetap waspada. Tolong tetap hati-hati. Kalau tidak perlu sekali berkerumun atau mobilitas, yuk kita kurangi."
Bagaimanapun, dalam situasi terkini pemerintah mengambil kebijakan mempertahankan sekolah tatap muka, termasuk mengurangi jumlah hari karantina bagi pelaku perjalanan luar negeri dari tujuh hari menjadi lima hari.
Sejauh ini tak banyak tenaga kesehatan yang bisa bicara secara terbuka mengenai kondisi dan status Covid. Namun, seorang nakes yang berjaga di IGD fasilitas kesehatan milik pemerintah di Jakarta Timur bercerita tentang kecemasannya menghadapi gelombang ketiga Omicron.
Ia meminta BBC News Indonesia untuk menyamarkan nama dan lokasi tempat kerjanya.
Baca juga:
Sari - bukan nama sebenarnya - mengatakan saat ini puskesmas tempat ia bekerja sudah bisa merujuk 15 pasien dalam satu hari.
"Jadi beberapa kali saat saya jaga, anak sekolah SD, SMP banyak yang positif karena acara di sekolah. Terus guru wali kelasnya positif. Iya, anak kecil banyak yang kena," katanya.
Pasien-pasien ini dirujuk untuk melakukan isolasi di RS darurat Wisma Atlet, dengan waktu tunggu antrean hingga enam jam.
Dari puskesmas tersebut, sejauh ini, belum ada yang dirujuk ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan intensif, "karena gejalanya ringan, kayak batuk pilek ngilu-ngilu."
Bagaimanapun, Sari mengatakan lonjakan kasus belakangan ini "cepat banget".
"Karena di puskesmas pun nakesnya sudah banyak yang positif."
"Iya, ini sih menurut saya sudah banyak banget, dan saya sendiri jadinya takut banget. Jadi kalau pulang ke rumah itu benar-benar harus mandi dulu. Semprot-semprot, mandi lagi," kata Sari.
Lonjakan kasus Covid belakangan ini juga mengingatkan Sari pada masa-masa kelam saat gelombang kedua menghantam fasilitas kesehatan.
Saat itu, pada Juli 2021, Lapor Covid mencatat sebanyak 500 tenaga kesehatan meninggal dalam satu bulan.
Sari saat itu masih bekerja di salah satu RSUD di Jakarta Timur, sebelum pindah ke puskesmas.
"Waktu itu IGD kita nggak bisa merawat pasien Covid. Sehingga beberapa pasien yang jelek [kritis] pun itu kami harus merujuk. Bahkan satu malam, saya bisa merujuk sembilan pasien sekaligus," kata Sari.
Kondisi saat itu disebut Sari "benar-benar parah". Banyak rekan kerjanya yang terinfeksi Covid, namun tetap dipaksa untuk bekerja.
"Bahkan kami hampir semua nakes di IGD sudah isolasi mandiri. Gara-gara positif."
Nakes yang sebelumnya mendapat jatah melakukan isolasi mandiri selama 14 hari dipangkas menjadi 10 hari. "Bahkan kami dengan PCR yang masih positif itu pun kami harus masuk kerja," katanya.
"Hampir semua pengalamannya bikin saya takut. Sebenarnya nakes-nakes di luar sana itu mungkin pasien lihat fine-fine saja, tapi kami tuh di ruang jaga suka nangis. Pertama, teman kami banyak yang gugur.
"Ketika kamu harus merujuk teman sejawat sendiri baik ke rumah sakit maupun ke Wisma Atlet. Itu yang membuat kami makin stres. Jadi sebenarnya, psikis kami terganggu," cerita Sari.
Sari menyoroti perkembangan lonjakan kasus di tengah protokol masyarakat yang abai, termasuk kebijakan-kebijakan pemerintah yang masih mempertahankan sekolah tatap muka, makan di tempat restoran, mal dan bioskop yang masih dibuka.
"Jadi sejujurnya trauma banget sama yang delta kemarin," kata Sari.
Artikel ini merupakan hasil liputan BBC Indonesia yang ditayangkan juga di Kompas.TV
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.