Kompas TV bbc bbc indonesia

Kerangkeng Manusia di Langkat, Komnas HAM: Kekerasan Berpola dan Pekerja Kebun Sawit Tak Dibayar (1)

Kompas.tv - 8 Februari 2022, 18:41 WIB
kerangkeng-manusia-di-langkat-komnas-ham-kekerasan-berpola-dan-pekerja-kebun-sawit-tak-dibayar-1
Tim gabungan dari Polda Sumut mendatangi kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat non-aktif Terbit Rencana Perangin-angin. (Sumber: Dok. Polda Sumut via KOMPAS.com)
Penulis : Vyara Lestari

Komnas HAM mengatakan kekerasan yang terjadi di kerangkeng milik Bupati nonaktif Langkat Terbit Rencana Parangin-angin dilakukan dengan berpola, dan para penghuni itu bekerja di kebun sawit tanpa dibayar.

"Kekerasan yang berpola itu, kami tahu waktunya, kami tahu apa alat yang digunakan, kami tahu siapa yang melakukan, kami tahu pengawasan untuk itu… (Keterlibatan Terbit dalam kekerasan) sedang kami dalami," kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam usai meminta keterangan Terbit selama dua jam di KPK, Jakarta, Senin (07/12).

Anam juga menegaskan, Terbit telah mengakui bahwa para penghuni kerangkeng bekerja di pabrik sawit miliknya tanpa dibayar.

"Bekerja di pabrik sawit (milik Terbit), Kami sudah cek pabriknya. Iya (tanpa bayaran)," tambah Anam.

Selanjutnya, kata Anam, Komnas HAM akan memanggil ahli hukum untuk melihat apakah yang dilakukan Terbit masuk dalam kategori tindak pidana perdagangan orang (TPPO), perbudakan modern, atau kejahatan lainnya.

Baca juga:

Komnas HAM mengatakan berdasarkan informasi terakhir yang diterima, terdapat sekitar 52 orang penghuni di kerangkeng yang telah ada sejak 2010, sekitar 12 tahun itu.

Anam menambahkan, dalam kondisi "penjara" kerangkeng itu ditemukan adanya "tindak kekerasan, bentuk kekerasan, pola kekerasan, sampai alat kekerasannya.. termasuk juga hilangnya nyawa. Sekarang sekitar tiga (meninggal), dan sedang didalami karena potensial bertambah."

Komnas juga menambahkan bahwa Kepolisian Sumatera Utara akan segera menaikan kasus kekerasan itu ke tahap penyidikan, dengan menetapkan tersangka.

Istilah-istilah kekerasan di penjara "kerangkeng"

Sebelumnya, Komnas HAM menemukan lebih dari satu orang tewas karena tindak kekerasan saat berada di dalam kerangkeng Bupati nonaktif Langkat Terbit Rencana Parangin-angin.

"Dan bagaimana kondisi jenazah, kami dapat keterangan dari lebih dari dua saksi. Jadi firm [terkonfirmasi], kekerasan terjadi di sana, korbannya banyak," kata Anggota Komnas HAM, Choirul Anam dalam keterangan melalui rekaman video kepada media, Minggu (30/01).

Selain itu, Komnas HAM juga mengatakan menemukan istilah-istilah kekerasan yang digunakan dalam kerangkeng tersebut.

"Misalnya seperti MOS, Gas, atau 2,5 Kancing, ada istilah-istilah seperti itu dalam konteks kekerasan," tambah Anam.

Dalam proses penyelidikan, Komnas HAM mengatakan kerangkeng di rumah Terbit disebut masyarakat sebagai tempat rehabilitasi pengguna narkotika. Namun, rehabilitasi tersebut tak punya izin, alias ilegal.

Choirul Anam juga mengatakan temuan tentang dugaan adanya korban jiwa akibat kekerasan selama proses 'rehabilitasi' ini cocok dengan penyelidikan kepolisian Sumatera Utara.

Ia berharap kepolisian, "Menaikkan ini menjadi satu proses hukum. Karena memang dekat sekali dengan peristiwa pidana."

Pekan ini, Komnas HAM juga berencana menggali keterangan dari ahli terkait kecurigaan kerangkeng manusia di rumah Terbit sebagai wadah "perbudakan modern".

Pihaknya juga berencana memeriksa Terbit Parangin-angin terkait kerangkeng manusia di rumahnya.

Sebelumnya, sejumlah pakar pidana menyatakan Bupati nonaktif Langkat, Terbit Rencana Perangin-Angin, dapat dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dalam kasus dugaan perbudakan terkait penemuan kerangkeng manusia di rumahnya.

Menurut pakar hukum sekaligus mantan anggota Ombudsman, Ninik Rahayu, apa yang dilakukan Terbit telah memenuhi unsur eksploitasi karena diduga mempekerjakan pecandu narkoba dengan jam kerja yang tidak layak, tanpa diupah, hingga ditempatkan dalam kerangkeng yang tidak manusiawi.

Selain itu, penempatan mereka di kerangkeng yang 'tidak layak' dan membatasi ruang geraknya dianggap sebagai "bentuk penyiksaan".

Tetapi, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Ahmad Ramadhan menyampaikan bahwa puluhan orang yang dia sebut sebagai "warga binaan" tersebut berada di dalam kerangkeng atas persetujuan keluarga untuk "direhabilitasi" akibat kecanduan narkoba dan melakukan kenakalan remaja.

"Para penghuni tersebut diserahkan oleh keluarganya kepada pengelola untuk dibina. Mereka diserahkan dengan membuat surat pernyataan," kata Ramadhan melalui konferensi pers di Jakarta, Selasa (25/01).

Meski demikian, Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati berpendapat bahwa persetujuan keluarga korban tidak serta merta menghilangkan penuntutan atas praktik perdagangan orang yang terjadi.

Maidina mengatakan Bupati Langkat bisa terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara terkait kasus ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang TPPO.

Itu pun belum termasuk ancaman pidana akibat penyalahgunaan kewenangan yang dia lakukan sebagai pejabat daerah dengan 'menahan' orang-orang tersebut di tempat rehabilitasi ilegal yang tidak sesuai standar.

"Di Undang-Undang TPPO sekali pun, persetujuan korban sama sekali tidak menyatakan bahwa TPPO-nya tidak terjadi. Kalau pun persetujuannya ada selama lingkungannya eksploitatif, prosesnya menghilangkan komunikasi dia ke pihak lain, itu adalah salah satu bentuk TPPO yang harus diusut," ujar Maidina kepada BBC News Indonesia.

Ketua Perhimpunan Indonesia untuk Buruh Migran Berdaulat, Migrant Care, Anis Hidayah menganggap klaim 'tempat rehabilitasi narkoba' itu sebagai kedok atas 'perbudakan yang sewenang-wenang'.

Sebelumnya, Migrant Care melaporkan kasus ini ke Komnas HAM dan menyebut temuan ini sebagai "dugaan perbudakan modern".

Migrant Care mengatakan informasi yang didapat berdasarkan "wawancara orang-orang di dalam" menunjukkan orang-orang di kerangkeng ini bekerja di perkebunan kepala sawit milik bupati.

Deputi V Kepala Staf Kepresidenan, Jaleswari Pramodhawardani memastikan bupati Langkat akan dihukum seberat-beratnya atas dugaan perbudakan tersebut.

Dipekerjakan dengan dalih 'pembekalan keahlian'

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri, Brigjen Ahmad Ramadhan menuturkan berdasarkan pemeriksaan terakhir masih ada 30 orang yang dikerangkeng. Semua kini telah dipulangkan kepada keluarganya.

Berdasarkan penyelidikan sementara, polisi menemukan lahan seluas satu hektare dan gedung berukuran 36 meter persegi yang dibagi menjadi dua ruangan berjeruji besi yang dibangun sejak 2012.

Namun, Ahmad mengatakan tempat ini tidak berizin dan tidak terdaftar sebagai tempat rehabilitasi.

Ramadhan juga membenarkan bahwa mereka dipekerjakan di pabrik sawit milik Bupati Langkat, namun tidak dibayar dengan dalih memberi keahlian untuk para 'warga binaan' sebagai bekal bagi mereka selepas keluar dari tempat tersebut.

"Mereka tidak diberi upah seperti pekerja karena mereka merupakan warga binaan, namun diberikan ekstra puding dan makanan," kata Ramadhan.

Tetapi sampai saat ini, polisi belum menyebut indikasi adanya perbudakan modern dari operasional kerangkeng rehabilitasi tersebut.

"Ini (dugaan perbudakan) dalam proses, kita melihat dengan kesadaran sendiri orang tua mengantar dan menyerahkan, kemudian dengan pernyataan. Tetapi apa itu, nanti kita lihat dan dalami apa prosesnya. Kita belum bisa cepat-cepat memberi kesimpulan," ujarnya.

Secara terpisah, Kepala Bidang Humas Polda Sumatra Utara Komisaris Besar Hadi Wahyudi mengakui bahwa kerangkeng tersebut tidak layak dan tidak memenuhi standar tempat rehabilitasi yang semestinya.

 

*Kontributor Medan, Dedi Hermawan, berkontribusi dalam tulisan ini.






Sumber : BBC




BERITA LAINNYA



FOLLOW US




Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.


VIDEO TERPOPULER

Close Ads x