Seakan, kata Audi, diskriminasi yang dihadapi transgender untuk mendapatkan hak atas pendidikan, pekerjaan, dan kesehatan yang layak sepanjang masa hidupnya masih belum cukup.
Baca juga:
Pendapat berbeda datang dari Lenny Sugiharto, yang merupakan pendiri Yayasan Srikandi Sejati. Sebagai seorang Muslim, Lenny berpandangan sudah sepatutnya penyelenggaraan jenazah "kembali pada kodrat".
"Kalau seperti saya memang belum operasi, ya dibalikin lagi secara laki-laki. Yang penting di dunia ini kita nyaman, keberadaan kita diakui ya sudah, tapi untuk urusan kematian itu tidak bisa diganggu gugat lagi," kata Lenny.
Ketua MUI Pusat, Cholil Nafis mengatakan bahwa wasiat yang ditinggalkan oleh transgender terhadap ahli warisnya tidak wajib dilaksanakan karena "melanggar syariat".
Menurut Cholil, Islam tidak mengenal perubahan jenis kelamin kecuali atas dasar kelainan medis. Oleh sebab itu, penyelenggaraan jenazah transgender harus dilakukan "sesuai kodratnya".
"Ikuti jenis kelamin awal, toh nanti yang mati enggak protes. Kalau diikuti wasiatnya, nanti jadi dosa. Wasiat itu boleh dilakukan kalau tidak melanggar syariat," kata Cholil melalui rekaman video yang dia bagikan kepada BBC News Indonesia.
Cholil juga menuturkan bahwa ulama berkewajiban mengingatkan dalam hal ini agar "tidak melanggar hukum Allah".
"Kalau konteks transgender itu dibenarkan atas nama fitrah, enggak bisa. Fitrah itu Allah yang berikan kepada kita," tutur Cholil.
Rektor Institut Studi Islam Fahmina, Marzuki Wahid, mengatakan keputusan pengadilan terkait identitas gender seseorang bisa menjadi acuan untuk menentukan hukum Islam yang berlaku pada mereka.
Hal ini tidak hanya menyangkut pengurusan jenazah, tetapi juga pada hal lain seperti pelaksanaan ibadah haji.
Hukum Fiqih Islam sejauh ini memang melihat identitas gender berdasar dua jenis kelamin, yakni laki-laki dan perempuan. Tetapi perlu ada pertimbangan kasuistis dalam melihat hal ini, sebab realitasnya ada orang-orang yang mengalami gender dysphoria yang tidak mereka hendaki.
Gender dysphoria adalah kondisi di mana seseorang merasa identitas gendernya tidak sesuai dengan jenis kelamin yang mereka miliki.
Dalam kasus seperti itu, maka ketetapan pengadilan dapat menjadi acuan yang sahih atas identitas gender mereka.
"Kita kan nggak bisa menghukumi diri kita sendiri, jadi pengadilan yang menentukan, karena pengadilan menetapkan kan tidak asal. Ada pertimbangan medis, psikologis, sosial juga," kata Marzuki.
"Apabila sudah ditetapkan oleh pengadilan, maka itu tidak hanya berlaku saat dia meninggal saja, tetapi juga pada berbagai aspek hidupnya saat dia melaksanakan haji misalnya," lanjut dia.
Baca juga:
Namun sejauh ini belum pernah ada perbincangan yang serius pada tataran Fiqih terkait hal ini, sehingga wajar apabila terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama sendiri.
"Memang ada dua pandangan. Menurut saya silakan saja, sesuai keyakinan masing-masing. Bahwa nanti diterima atau tidak kan, Allah Maha Tahu," ujar Marzuki.
Tetapi, Marzuki menekankan bahwa hal itu tidak berlaku pada identitas gender yang hanya bersandar pada "pengakuan".
Realitanya menjadi lebih kompleks mengingat tidak semua orang yang mengalami gender dysphoria mampu mengafirmasi identitas gendernya, menjalani operasi kelamin, hingga mengajukan permohonan kepada pengadilan.
Salah satu tokoh agama dari Nahdlatul Ulama, Taufik Damas, mengatakan otoritas ulama dalam hal ini hanya sebatas dalam ranah ilmu, tetapi keputusan seorang transgender adalah urusan pribadinya dengan Tuhan.
"Secara normatif memang lahir laki-laki, meninggal diperlakukan seperti perempuan. Tapi tidak perlu ada komentar berlebihan, tidak perlu ada caci maki, dan pelecehan," tutur Taufik.
Anda mungkin ingin juga menyaksikan:
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.