Pada Kamis (27/1) lalu, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Abrahaman Wirotomo mengatakan pihaknya sudah menerima laporan warga yang kesulitan mencari rumah sakit. Kata dia, tingkat keterisian rumah sakit di Jakarta saat ini didominasi oleh pasien yang bergejala ringan atau tanpa gejala.
Bambang Wibowo mengonfirmasi hal tersebut.
"Karena tidak cukup banyak fasilitas karantina. Sebenarnya sebagian dari mereka itu bisa karantina di rumah, tapi fasilitas rumahnya tidak memenuhi syarat. Kemudian tidak semua pemerintah daerah bisa menyediakan fasilitas karantina," kata Bambang pada Minggu (30/1).
Epidemiolog Masdalina Pane mengatakan penyebaran Omicron, bahkan sampai ke Luar Jawa, menggambarkan kegagalan pemerintah dalam melakukan containment atau penahanan dalam mengendalikan pandemi.
Strategi penahanan (containment) terdiri dari testing, tracing sampai selesai isolasi/karantina mandiri, dan treatment bagi pasien isolasi yang membutuhkan perawatan di rumah sakit.
"Waktu di awal-awal itu Omicron masih bisa kita tahan di Jakarta saja, terus dia meluas ke Jawa Barat, itu pun masih yang aglomerasi, berbatasan dengan Jakarta. Artinya dia masih terlokalisir. Tapi saat ini beberapa wilayah yang menjadi pintu masuk dan itu memang kasusnya naik. Artinya intervensinya enggak efektif untuk bisa menahan supaya dia enggak menyebar," kata Masdalina.
Hal itu, kata dia, membuat penyebaran terjadi secara "natural" karena "tidak ada containment khusus".
Dia mengatakan penurunan kasus sejak puncak serangan Delta pada Juli lalu sampai Desember terjadi karena pelaksanaan strategi penahanan yang ketat di lapangan. Hal itu yang dibutuhkan saat ini karena kasus positif Covid-19 diprediksi akan "terus meningkat", oleh sebab itu "containment harus dinaikkan".
"Peningkatan kasus ini berjalan terus-terusan dan memang tidak ada containment di lapangan. Susah sekali kita berharap pandemi ini atau Omicron ini akan selesai sesuai target pemerintah," kata Masdalina.
Menurut Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi itu kerja pemerintah kali ini akan lebih sulit karena masyarakat mulai kehilangan kepercayaannya akibat "narasi pemerintah terus menyalahkan masyarakat".
Seperti pada musim mudik, Masdalina mengatakan pemerintah menyalahkan masyarakat karena tetap bandel pergi mudik. Pemerintah juga sempat menyalahkan perilaku masyarakat yang tidak taat protokol kesehatan, padahal pengawasan dari pemerintah sendiri pun kendor.
"Pemerintah mengumumkan pembatasan, masyarakat melakukan apa tidak? Tidak. Mengapa? Tidak ada yang mengawasi itu. Jadi permasalahannya muter-muter di situ saja."
Belum lagi soal penyampaian risiko varian Omicron. Masdalina menilai informasi yang diberikan pemerintah terlalu menganggap Omicron sebagai kasus yang ringan, sehingga ketika pasien Omicron meninggal padahal sudah divaksinasi, masyarakat mulai mempertanyakannya.
"Dampaknya ke mana? Ke kami di pengendalian. Sudah banyak orang yang tidak mau dites. Katanya takut dipositif-positifkan. Itu sudah lama, tapi sekarang lebih banyak angkanya. Kemudian juga tidak mau dikarantina," kata Masdalina.
Padahal kerja sama antara pemerintah dan masyarakat saat pandemi sangat penting. Hal itu juga yang diharapkan Kepala Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (PERSI), Bambang Wibowo.
Dia meminta masyarakat dan pemerintah melakukan pencegahan di hulu agar fasilitas kesehatan tidak kolaps seperti tahun lalu. Walaupun kali ini, kata Bambang, rumah sakit sudah lebih siap menghadapi gelombang Omicron.
"Tapi kalau rumah sakit dibiarkan, tanpa di hulu dilakukan upaya yang serius oleh semua pihak, tidak hanya pemerintah, tapi juga masyarakat, kita enggak akan mampu memberikan layanan yang cukup baik ketika jumlah kasus melampaui kemampuan rumah sakit," kata Bambang.
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.