Di masa Orde Baru, fakta sejarah "yang tak terbantahkan" bernama G30S, menurut sejarawan Taufik Abdullah, disandingkan dengan PKI sebagai "tuduhan". Sehingga "G30S/PKI dijadikan "suatu keutuhan yang tidak terpisahkan".
Namun dalam perjalanan waktu dan dinamika kesejarahan, menurut Taufik Abdullah, betapapun mungkin tingginya otentisitas yang diberikan oleh jawaban tunggal ini, "jawab pasti yang telah diberikan itu mulai kehilangan monopoli."
"Kebenaran lain mulai memasuki dunia wacana," tulisnya dalam buku Malam Bencana 1965 Dalam Belitan Nasional, Bagian I Rekonstruksi dalam Perdebatan (2012).
Lantas, Taufik melanjutkan, "berbagai corak pertanyaan pun diajukan dan beragam kemungkinan jawab pun dilansir ke wilayah publik..."
Sejumlah peneliti dan pengamat asing, menurutnya, ada yang memperkuat rekonstruksi itu dengan menunjukkan aspek lain yang terabaikan.
"Dan menunjukkan pula jalinan persekongkolan yang kompleks di dalam tubuh PKI dan AD (angkatan darat) serta unsur kemiliteran lain."
"Ada juga di antara mereka yang menyangsikan PKI sebagai 'dalang'," ujar Taufik (halaman 19).
Di dalam buku itu, Taufik kemudian mengungkapkan sejumlah versi lainnya tentang siapa di balik G30S, seperti dugaan keterlibatan Sukarno; konflik internal AD; anggapan keterlibatan Suharto; konstelasi politik internasional yang sangat diwarnai Perang Dingin; hingga dugaan keterlibatan RRT.
Hermawan Sulistyo, dalam buku Palu Arit di Ladang Tebu (2001), menyebutkan setidaknya ada lima versi tentang teori, interpretasi, dan spekulasi mengenai aktor-aktor dalam peristiwa G30S.
Pertama, PKI sebagai dalang, disebut Hermawan, sebagai versi "sejarah resmi".
Versi ini, yang dipercaya dan diajarkan oleh tentara sebagai sejarah resmi Indonesia.
Menurut Hermawan, versi ini banyak didasarkan pada bukti-bukti menguatkan yang berlimpah dalam persidangan Mahmillub serta berbagai dokumen terkait.
Kedua, masalah internal Angkatan Darat. Salah satu fakta yang dianggap mendukung versi ini, menurut Hermawan, mereka yang diculik dan para penculiknya adalah personel AD.
Ketiga, Sukarno dianggap bertanggung jawab. Menurut Hermawan, berdasarkan laporan interogasi yang mendalam terhadap Kolonol Bambang Widjonarko, ajudan Sukarno, Anthony Dake mengajukan tesis bahwa Sukarno sendiri yang menyusun skenario G30S.
"Meskipun versi ini tidak digubris para akademisi, tesis ini dipercaya oleh banyak kalangan, termasuk militer," tulis Hermawan.
Keempat, Suharto di balik G30S. Hermawan mengatakan, versi ini meyakini Suharto yang sesungguhnya berada di balik rencana kudeta.
Salah satu alasannya, menurutnya, "Suharto adalah jenderal paling penting yang tidak tercantum dalam daftar nama yang harus diculik."
Kelima, jaringan intelijen dan CIA. Versi ini menyatakan, jaringan intelijen AD sendirilah yang memprakarsai G30S, baik atas usaha sendiri maupun atas bantuan agen-agen intelijen asing, khususnya Amerika Serikat (AS) dan China.
Khusus dugaan keterlibatan AS dalam pembunuhan massal 1965, Greg Poulgrain, sejarawan University of Sunshine Coast, Brisbane, Australia, mengungkapkan beberapa penelitian dan dokumen resmi yang menguatkan dugaan itu.
Penulis buku JFK vs. Allen Dulles: Battleground Indonesia (2020) danBayang-bayang Intervensi Perang Siasat John F Kennedy dan Allen Dulles atas Soekarno (2017) itu menuturkan dalam wawancara dengan wartawan BBC News Indonesia, Jerome Wirawan:
"Partisipasi langsung Marshall Green [Duta Besar AS saat itu] dalam pembunuhan massal pada 1965-1966 diungkap peneliti AS, bahwa ada dua orang—satu pria dan satu perempuan—terlihat di Klaten pada awal 1966.
"Peran mereka adalah memberikan anjuran kepada militer Indonesia yang melakukan pembunuhan massal terhadap PKI.
"Dua orang AS ini tampaknya diterbangkan setiap hari menggunakan sebuah helikopter dari kapal Angkatan Laut AS di lepas pantai," kata Poulgrain.
Menurutnya, peneliti AS, Kathy Kadane, juga mengungkap bahwa CIA memasok ribuan nama ke Departemen Luar Negeri AS, yang kemudian diteruskan ke Marshall Green.
Sokongan CIA terhadap Angkatan Darat Indonesia, menurut Poulgrain, dilakukan guna menyasar tujuan yang lebih besar: perpecahan kekuatan komunis di dunia.
"[Direktur CIA] Allen Dulles, Henry Kissinger [yang terlibat dalam Rockefeller Brothers Panel Report], semua tahu dampak pembasmian PKI terhadap Perang Dingin karena terjadi perseteruan saling menyalahkan antara Moskow dan Beijing. Sebelumnya keduanya saling berebut kendali atau pengaruh terhadap PKI, yang merupakan kekuatan komunis terbesar ketiga di dunia.
"Mereka [Allen Dulles dan Henry Kissinger] tidak lagi tertarik pada upaya pembunuhan Sukarno, mereka tertarik menghabisi pendukung utama Sukarno dan PKI. Dengan memusnahkan itu, Moskow dan Beijing berseteru.
"Jadi, titik balik Perang Dingin bukanlah kunjungan Presiden Nixon atau negosiasi Kissinger, melainkan Indonesia pada 30 September 1965," papar Poulgrain.
Itulah mengapa, tulis John Roosa dalam buku Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, Kedutaan Besar AS bergirang hati ketika pasukan pembunuh menyebar di seluruh negeri memburu massa anggota PKI.
Dia mengatakan, Dubes Green mengamati pada awal November bahwa bahkan "tokoh teri PKI dalam PKI pun "secara sistematis ditangkap dan dipenjarakan atau dibunuh".
Terlepas apakah AS berperan langsung atau tidak langsung dalam pembunuhan massal 1965, tragedi itu nyaris tidak pernah disebut dalam sejarah resmi Indonesia.
Padahal, menurut Robert Cribb, dalam bukunya Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966 (2000), "merupakan salah-satu pembantaian terbesar pada abad ke-20."
"Tetapi agak mengherankan, karena ternyata hal ini sangat jarang dibicarakan dalam sejarah Indonesia," tulisnya.
Diperkirakan antara 78.000 hingga 500.000 orang telah dibantai pada 1965-1966. Bahkan, beberapa sarjana memperkirakan jumlah korban mencapai satu juta orang, tulis Hermawan Sulistyo.
"Ironisnya, sedikit sekali penelitian yang secara khusus membahas peristiwa terseebut," kata Hermawan dalam buku Palu Arit di Ladang Tebu (2000).
Setelah Reformasi 1998, sudah ada upaya menyelidiki penahanan dan pembunuhan massal 1965, seperti dilakukan Komnas HAM, tetapi belum ada tindakan nyata pemerintah untuk menyelesaikannya.
Baca juga:
Upaya rintisan pemerintah melalui langkah nonyudisial untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat itu juga seringkali mendapat penolakan secara politis.
Dan di tengah kebuntuan itulah, korban 1965 dan keluarganya di berbagai wilayah Indonesia, termasuk di Aceh, agaknya akan tetap mengalami trauma berkepanjangan.
Tulisan ini merupakan bagian dari liputan khusus Pembantaian massal 1965 di Aceh — Kisah Algojo, korban terlupakan dan upaya penyembuhandi situs BBC News Indonesia.
Anda juga bisa menyimak kisah ini di Siaran Radio Dunia Pagi Ini BBC Indonesia dan siniar kami di Spotify.
Produksi visual oleh Anindita Pradana. Grafis oleh tim jurnalis visual East Asia BBC News.
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.