Peristiwa sadis yang dialami keluarga Budi bukanlah contoh satu-satunya di Aceh Tengah.
Sebuah penelitian independen mengungkapkan ada sebuah kasus kekerasan 1965 yang korbannya adalah anak-anak.
"Dan, yang lebih mengerikan, yang mati dibunuh, bukan hanya orang tua, ada anak-anak yang dibantai," ungkap Mustawalad, warga Takengon, yang meneliti kekerasan 1965 di Aceh Tengah.
Informasi ini didapatkan Mustawalad dengan mewawancarai beberapa orang yang menyebut dirinya sebagai pelaku dan sejumlah saksi mata.
Dia kemudian menyebut sebuah kampung di Kecamatan Kebayakan, Kabupaten Aceh Tengah.
"Kenapa mereka dibantai? Apakah bapaknya salat? Salat! Kenapa dibantai? Ya, karena PKI!" Mustawalad mengulang percakapannya dengan seseorang yang mengaku sebagai pelaku.
Pembantaian terhadap anak-anak yang orang tuanya dicap komunis itu sempat membuat Mustawalad dihantui mimpi buruk.
"Apa hubungan anak kecil yang masih sekolah dasar dengan [pilihan] politik orang tua mereka?" katanya saat ditemui BBC News Indonesia di Takengon, Oktober lalu.
Baca juga:
"Kebodohan apa yang telah mereka lakukan? Saya tidak habis pikir," tambah Mustawalad, yang pernah aktif di organisasi Kontras di Jakarta dan Banda Aceh.
Kejadian kekerasan ini kemudian memotivasi dirinya untuk meneliti berbagai peristiwa kekerasan 1965 di tanah kelahirannya.
Sejak 2006, Mustawalad melakukan penelitian secara independen. Dia mewawancarai korban dan keluarganya, para pelaku, saksi mata serta mendatangi lokasi pembantaian di Aceh Tengah.
Bersama Mustawalad, kami kemudian mendatangi salah-satu lokasi pembantaian, yaitu di Bur Lintang. Jaraknya sekitar 21km dari Takengon.
Ini adalah kawasan pegunungan yang memiliki tebing curam dan dalam.
"Ini salah-satu lokasi di mana sebagian besar korban dibantai," ungkapnya. Di Aceh Tengah ada sekitar 13 lokasi pembantaian.
Baca juga:
"Dari riset awal, kami menemukan sekitar 2.500 korban. Bandingkan saja dengan jumlah penduduk Aceh Tengah yang hanya 25.000 pada saat itu," katanya.
Mustawalad juga pernah menulis bahwa banyak warga yang ditangkap dan dibantai karena hanya mendapat informasi yang tidak jelas.
"Informasi ini lebih banyak berdasarkan fitnah," tulisnya di Majalah Pantau, awal Februari 2008.
"Biasanya pelapor mempunyai dendam pribadi terhadap korban... Tak ada verifikasi, yang dituduh dapat langsung di-PKI-kan dan selanjutnya dibantai," lanjutnya.
Mustawalad pernah mewawancarai Ibrahim Kadir, penyair asal Gayo, Aceh Tengah, yang sempat ditahan dan terancam dieksekusi.
Belakangan terungkap Kadir ditangkap "karena informasi yang salah". Kadir bukanlah anggota PKI, tetapi PNI.
Dalam risetnya, dia juga menemukan bahwa pembantaian orang-orang yang dituduh PKI di Gayo juga dilatari dendam politik masa lalu.
Ada sejumlah eks-pasukan DII/TII membalas dendam dengan ikut membantai orang-orang yang dicap PKI.
"Rasakan ini pembalasan kami, gara-gara kamu [korban PKI] menjadi milisi, susah sekali kami," ungkap Mustawalad, menirukan suara pelaku pembantaian.
Selama pemberontakan DI/TII di Aceh, PKI mendukung sikap Jakarta yang mengirim pasukan untuk menumpas pemberontakan.
Baca juga:
Salah-satu lokasi penelitian Mustawalad adalah Kampung Mude, Desa Nosar, di pinggir Danau Air Laut Tawar, Takengon.
Pada 1965, sedikitnya 60 orang warga dari desa ini dibunuh karena dituduh komunis.
Siang itu, pada pekan ketiga Oktober 2021, ketika langit berwarna alumunium, saya dan videografer BBC News Indonesia, Anindita Pradana, mengunjungi desa nan tenang itu.
Di salah satu sudut kampung itu berdiri sebuah masjid kuno. Di sanalah, kami bertemu Syahbandar, 52 tahun, salah seorang yang 'dituakan'.
Syahbandar mengatakan, tuduhan 'desa PKI' itu sangat melukai warga, karena seolah-olah mereka dianggap antiTuhan.
"Itu tidak benar," katanya berulang-ulang. Dia kemudian mengungkapkan beberapa orang warga Desa Nosar yang dibunuh itu adalah "orang-orang pintar".
"Ada isu (mereka yang ditangkap) adalah anti-Tuhan. Itu harus kami bantah, karena mereka yang tertumpas dan kena tangkap adalah tokoh-tokoh (intelektual dan agama)," ujarnya.
Akan halnya ada sekitar 60 orang warga desa itu dibunuh, menurutnya, karena mereka tidak lari. Termasuk seorang imam di kampung itu
"Mereka tidak lari, karena mereka pikir mereka tidak bersalah dan ini adalah negara hukum," kata Syahbandar.
Dia juga menggarisbawahi bahwa kebanyakan warga Nosar yang dibunuh pada 1965 "tidak tinggal di desa, tapi di kota."
Demi membersihkan desa itu dari stigma PKI, Syahbandar bahkan menemui seseorang ulama berinisial TB yang disebutnya ikut terlibat pembantaian atas orang-orang yang dicap komunis di Aceh Tengah.
Baca juga:
"Dia menyesal, menangis dan bilang 'kenapa kita bodoh', sehingga banyak jatuh korban," ungkapnya.
Di akhir wawancara, Syahbandar mengharapkan peristiwa kekerasan 1965 tidak terulang kembali.
Dia lalu mengutip kata-kata bijak Gayo, yaitu 'agih si belem, genap si nge munge'.
"Sudah cukup, jangan terulang lagi," Syahbandar kemudian menerjemahkannya kepada kami.
Untuk menghilangkan residu konflik 1965 di antara warga desa, mereka pun memiliki cara sendiri, yaitu, menggelar upacara adat.
Ingatan kolektif masyarakat di Aceh Tengah terhadap kekerasan 1965, tidak terlepas pula dari keberadaan sebuah masjid di Takengon.
Masjid Raya Quba di Kecamatan Bebesan dilalap api pada 21 Juli 1965, dua bulan sebelum G30S 1965.
Berbagai laporan menyebut pria yang dituduh membakar masjid adalah anggota atau simpatisan PKI. Namanya Islah.
"Islah adalah anak tiri Tengku Abdul Jalil, ulama berpengaruh di Gayo," tulis Mustawalad di Majalah Pantau, 2008. "Tapi Islah dituduh PKI."
Keterangan polisi saat itu menyebut Islah sebagai pelaku pembakaran, walau masyarakat menyangsikannya, ujarnya.
Islah kemudian dieksekusi oleh tentara di dekat Takengon. Mayatnya kemudian dibiarkan di jalanan dalam kondisi memprihatinkan.
"Ususnya terburai dimakan anjing," ungkap Mustawalad mengutip seorang saksi yang berada di lokasi.
Belakangan ketika pecah G30S 1965, peristiwa kebakaran masjid itu menjadi peletup kemarahan warga di Aceh Tengah terhadap siapapun yang dikaitkan dengan PKI.
Di masa Orde Baru, narasi dominan bahwa pelaku pembakaran masjid adalah anggota PKI bernama Islah, terus dipelihara.
Di Takengon, BBC News Indonesia melihat sendiri ada lukisan tentang kebakaran masjid itu yang disebut pelakunya adalah anggota PKI.
Namun kepada sumber BBC Indonesia, salah satu anak tertuduh, mengatakan ayahnya tidak pernah membakar masjid itu.
Beberapa saksi mata juga disebutnya membantah tuduhan itu. Saat masjid terbakar, Islah sedang bersama istrinya.
"Pria itu bahkan berupaya memadamkannya," ungkap sumber BBC News Indonesia.
______________________________________________________________________________________________
Tulisan ini merupakan bagian dari liputan khusus Pembantaian massal 1965 di Aceh — Kisah Algojo, korban terlupakan dan upaya penyembuhan di situs BBC News Indonesia.
Anda juga bisa menyimak kisah ini di Siaran Radio Dunia Pagi Ini BBC Indonesia dan siniar kami di Spotify.
Produksi visual oleh Anindita Pradana. Grafis oleh tim jurnalis visual East Asia BBC News.
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.