5 Bekas Penjara yang Kini Jadi Obyek Wisata di Indonesia
Jelajah indonesia | 8 September 2021, 23:51 WIBYOGYAKARTA, KOMPAS.TV – Kehidupan di dalam penjara sering diidentikkan dengan hal yang negatif, seperti tempat para penjahat, tempat di mana orang harus hidup dengan kekerasan dan keterbatasan, tempat penyiksaan dan sebagainya.
Bukan hanya kehidupan di dalamnya, sebagian orang masih memercayai hal mistis di bangunan bekas penjara, khususnya penjara zaman kolonial.
Terlepas dari penilaian tentang kehidupan di penjara maupun keangkeran yang diyakini sebagian orang, beberapa bekas penjara di Indonesia justru menjadi lokasi wisata yang cukup banyak dikunjungi.
Sebagian dari bekas penjara tersebut merupakan bangunan lawas yang berdiri sejak zaman kolonial Belanda.
Berikut lima bangunan lawas bekas penjara yang saat ini menjadi lokasi wisata:
1) Benteng Pendem Ambarawa
Benteng Pendem Ambarawa terletak di Kelurahan Lodoyong, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Benteng ini juga dikenal dengan nama Benteng Fort Willem I.
Pada zaman kolonial Belanda, benteng ini berfungsi sebagai penjara. Saat ini sebagian bangunan benteng yang memiliki dua lantai tersebut masih digunakan untuk Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II Ambarawa, yakni di sisi selatan.
Sementara, bangunan sisi utara terbuka untuk umum, tetapi pengunjung hanya boleh berada di lantai dasar. Sebab lantai dua bangunan digunakan sebagai mess atau tempat tinggal pegawai lapas.
Baca Juga: 5 Kebakaran Lapas Terhebat di Berbagai Negara
2) Lawang Sewu Semarang
Lawang Sewu merupakan salah satu destinasi wisata di Kota Semarang. Bangunan ini dibangun oleh Belanda sebagai kantor perusahaan kereta api.
Lawang Sewu memiliki tiga tingkat bangunan yang arsitekturnya masih bergaya Belanda, mulai dari menara-menara yang menyerupai kastil, kaca mozaik, hingga jendela berukuran besar.
Saat Belanda pergi dan Jepang berkuasa, bangunan tersebut dijadikan sebagai benteng pertahanan, dan ruang bawah tanah Lawang Sewu berubah fungsi menjadi penjara.
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Kompas.com