> >

RA Kartini Belajar Islam dari Guru Pendiri NU dan Muhammadiyah, Minta Al Quran Diterjemahkan

Agama | 21 April 2023, 20:14 WIB
RA Kartini dan Mbah Sholeh Darat. Kartini salah satu orang yang meminta Al Qur'an diterjemahkan dalam Bahasa Jawa pada masanya. (Sumber: Tribunnews)

YOGYAKARTA, KOMPAS.TV - Raden Ajeng Kartini merupakan salah satu murid perempuan atau santriwati dari ulama Kiai Haji (KH) Muhammad Sholeh bin Umar yang akrab dipanggil Mbah Sholeh Darat.

Hari ini, Jumat (21/4/2023), momen Idulfitri bagi sebagian umat Islam di Indonesia dirayakan tepat pada peringatan Hari Kartini.

Potongan sejarah dari sisi spiritual pahlawan perempuan yang lahir di Jepara pada 21 April 1879 tersebut belum banyak terungkap. 

Salah satu guru agama Islam Kartini, Mbah Sholeh Darat, merupakan guru dari para ulama pendiri organisasi Islam besar di Indonesia, Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

Mbah Sholeh Darat mendirikan Pesantren Darat di Semarang yang sejumlah santrinya menjadi ulama berpengaruh di Indonesia, di antaranya, KH Hasyim Asy'ari pendiri NU dan KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah.

Pertemuan Kartini dengan Mbah Sholeh Darat terjadi beberapa kali dalam pengajian di beberapa tempat, di antaranya, di Jepara, Demak, maupun Kudus, Jawa Tengah.

Baca Juga: KH Saleh Darat, Guru Agama R.A Kartini dan Penerjemah Al-Quran Pertama ke Bahasa Jawa

Melansir dari laman Kementerian Agama (Kemenag) yang ditulis dosen UIN Walisongo Semarang, Rizka Chamami, Mbah Sholeh selalu memberikan pretilan (tulisan tangan dengan satu dua lembar kertas) kepada Kartini. Dari situlah Kartini mulai belajar huruf Arab Pegon.

Sebagai perempuan yang memiliki semangat belajar tinggi, Kartini pun mempelajari Al Qur'an dengan kritis.

Melalui suratnya kepada salah satu sahabatnya, Kartini mengaku merasa hampa saat awal belajar Al Qur'an karena tidak mengerti makna di dalamnya. 

Ia bahkan mengatakan, apabila belajar Al Qur'an hanya membaca dan mengeja huruf Arab, maka orang Islam tidak bisa menyerap mutiara hikmah yang diterangkan di dalamnya.

Saat meminta gurunya untuk menerjemahkan Al Qur'an, Kartini justru dimarahi. Sebab, Al Qur'an tak boleh diterjemahkan sembarang orang.

Orang yang boleh menafsirkan Al Qur'an harus punya ilmu bantu tafsir yang lengkap dari gramatika Arab, nahwu, shorof, ilmu badi, maani, bayan, muhasnatil kalam, nasikh mansukh, asbabul wurud, asbabun nuzul, dan lain sebagainya.

Kartini pun gelisah karena merasa belum sempurna Islamnya jika belum tahu isi Al Qur’an.

Kegelisahan itu ia tuangkan dalam surattnya kepada Stella EH Zeehandelaar tertanggal 6 November 1899.

Al-Qur’an terlalu suci untuk diterjemahkan dalam bahasa apapun juga. Di sini orang juga tidak tahu Bahasa Arab. Di sini, orang diajari membaca Al-Qur’an, tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Saya menganggap itu pekerjaan gila; mengajari orang membaca tanpa mengajarkan makna yang dibacanya,” tulis Kartini yang saat itu berusia 20 tahun.

Sama halnya seperti kamu mengajar saya membaca buku bahasa Inggris yang harus hapal seluruhnya, tanpa kamu terangkan maknanya kepada saya. Kalau saya mau mengenal dan memahami agama saya, maka saya harus pergi ke negeri Arab untuk mempelajari bahasanya di sana. Walaupun tidak saleh, kan boleh juga jadi orang baik hati. Bukankah demikian Stella?” lanjut perempuan yang wafat pada usia 25 tahun itu.

Baca Juga: KH Sholeh Darat, Ulama Tanah Jawa dan Guru RA Kartini

Mbah Sholeh Darat lah yang membuka wawasan Islam Kartini dengan menerjemahkan Al Qur'an yang ditulis dalam huruf Arab Pegon.

Mbah Sholeh Darat menulis Tafsir Faidlur Rahman fi Tarjamati Tafsir Kalam Malikid-Dayyan jilid satu selama sebelas bulan, mulai dari 20 Rajab 1309 H atau 19 Februari 1892 hingga 19 Jumadal Ula 1310 H atau 9 Desember 1892.

Jilid pertama ini berjumlah 503 halaman dengan bahasan surat al Fatihah dan surat al Baqarah.

Melansir dari laman NU, seorang suami dari buyut Mbah Sholeh Darat bernama Agus Tiyanto (sering menyebut namanya Abu Malikus Salih Dzahir) menjelaskan bahwa sumber data Kartini pernah menjadi santri Mbah Sholeh Darat ini awalnya ditemukan oleh dosen sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM) Moesa Machfudz  berdasarkan catatan pribadi murid Kyai Sholeh Darat yaitu KH Ma'shum Demak. 

Tulisan Moesa tentang kisah Kartini nyantri dengan Mbah Sholeh Darat itu dimuat dalam Majalah Gema Yogyakarta Nomor 3 Tahun 1978.

Ahli tafsir UIN Walisongo, Imam Taufiq, menerangkan bahwa percepatan penerbitan jilid pertama Tafsir Faidlur Rahman fi Tarjamati Tafsir Kalam Malikid-Dayyan tulisan Mbah Sholeh Darat karena desakan Kartini.

"Percepatan penerbitan karena tingginya permintaan kebutuhan tafsir Al Qur'an dengan bahasa lokal. Dan desakan Kartini atas penerbitan tafsir lokal kepada KH Sholeh Darat dalam pengajian pamannya, Bupati Demak Ario Hadiningrat," kata Imam saat menyampaikan Kajian Tafsir Faidlurrahman di Masjid Agung Kauman Semarang, 17 April 2016.

Di dalam pembukaan tafsirnya, Mbah Sholeh Darat menulis bahwa alasan percepatan penerbitan itu karena umat Islam sudah sangat membutuhkan. Sedangkan sebagian besar orang Jawa tidak bisa berbahasa Arab.

Mbah Sholeh Darat menegaskan bahwa permintaan untuk menerbitkan bagian dari seluruh tafsir ini permintaan sebagian teman-temannya.

Beliau pun sadar, tradisi ulama terdahulu tidak akan memublikasikan karya sebelum selesai seluruhnya. 

Baca Juga: Kumpulan Kata-kata Inspiratif RA Kartini Untuk Perempuan Indonesia

Tak ada keraguan lagi tentang pertemuan Kartini dengan Mbah Sholeh Darat dalam konteks masa hidup dan karya-karyanya.

Ini seakan menjadi bukti nyata “dialog” antara dua tokoh dalam goresan tintanya masing-masing. 

Kartini melukiskan dalam surat-suratnya terkait keresahan sulitnya memahami Al Qur'an, sementara itu Mbah Sholeh Darat menulis dalam muqaddimah atau pembukaan kitab tafsirnya dengan menuliskan kata “Ratu”. 

Kata “Ratu” itu bisa diartikan dua hal. Pertama, Tuhan atau Allah. Kedua, “Ratu” itu adalah pemerintah dan keluarga (termasuk Kartini).

 

Penulis : Nadia Intan Fajarlie Editor : Fadhilah

Sumber : Kompas TV/Kemenag/NU online


TERBARU