Konsorsium Masyarakat Banten untuk Demokrasi: Cagub Cawagub Harus Komitmen Tidak Mobilisasi ASN
Banten | 1 Oktober 2024, 09:29 WIBTANGERANG, KOMPAS.TV - Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam pemilihan umum (pemilu) maupun pemilihan kepala daerah (pilkada) masih dinilai rawan disalahgunakan oleh para kontestan.
Para calon kepala daerah (cakada) di Indonesia, khususnya calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (cawagub) Banten, dalam hal ini Airin Rachmi Diany-Ade Sumardi dan Andra Soni-Dimyati Natakusummah harus berkomitmen untuk tidak memobilisasi ASN demi kemenangannya.
Pernyataan itu disampaikan Konsorsium Masyarakat Banten untuk Demokrasi yang terdiri dari 9 lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau Non-governmental organization (NGO).
"Perlu adanya kekuatan masyarakt sipil untuk bersama mengawasi hal ini (kerawanan netralitas ASN)," ujar Abdul Hamim Jauzie, perwakilan dari LBH Keadilan melalui keterangan tertulis, Senin (30/9/2024).
Baca Juga: Demo Sopir Angkot Depan Kantor Gubernur Maluku soal Moda Transportasi Online Diwarnai Kericuhan
Menurut Hamim yang juga Ketua Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Tangerang Selatan (MHH PDM Tangsel), dalam sejarah ASN pernah menjadi alat politik kekuasaan yang terjadi dalam kurun waktu lama.
Pemerintahan orde baru waktu itu secara terbuka melakukan kooptasi dan mobilisasi politik yang antara lain diterapkan lewat tangan-tangan birokratisasi.
Rezim berkuasa pada saat itu menggunakan organisasi yang mewadahi pegawai departemen dan pemerintahan daerah untuk mendukung salah satu partai (Monoloyalitas).
"Hampir dari seluruh organisasi buatan orde baru ketika itu mulai dari level desa, pemuda, guru sampai organisasi sekolah diarahkan ke dalam satu partai. Intervensi secara langsung didapatkan jika menolak atau mencoba untuk tidak taat," katanya.
Hamim mengungkapkan, dalam catatan ketidaknetralan ASN terlihat jelas pada Pilkada 2023. Pada saat itu, ada mobilisasi ASN.
Namun dugaan adanya pengkondisian, baik itu penyelenggara maupun aparat penegak hukum, membuat kasus menjadi bias dan tidak pernah ada yang benar-benar mendapatkan sanksi.
Pada akhirnya, lanjut Hamim, ASN lebih berorientasi membangun kedekatan politik dengan penguasa daripada membangun kompetensi dan kinerja untuk menjamin kariernya.
Tanpa terkecuali, tekanan dari para pemegang kekuasaan masih ada dalam bentuk tawaran jabatan, demosi dan juga mutasi dari para calon yang maju dalam pilkada.
Melihat beberapa data terkait kasus ketidaknetralan ASN itu, tutur Hamim, maka yang mesti digarisbawahi adalah sikap ketidakberpihakan dimaknai sebagai perilaku adil, obyektif, tidak bias, bebas pengaruh, bebas intervensi, bebas dari konflik kepentingan, dan tidak berpihak kepada siapapun.
Baca Juga: Mengenal Perguruan Tinggi UIPM Thailand, Kampus yang Beri Gelar Doktor Honoris Causa ke Raffi Ahmad
Untuk itulah ASN dituntut agar dapat bersikap netral dalam pelaksanaan pilkada mendatang.
Karena sejarah panjang pada era orde baru itu dimana ASN menjadi alat politik dengan kewajiban mendukung partai politik tertentu.
Hamim menjelaskan, pasca runtuhnya orde baru dan masuk ke era reformasi saat ini, ASN diarahkan konstitusi dan undang-undang untuk kembali menjadi abdi negara yang profesional, berintegritas dan independen, serta bebas dari intervensi politik.
"Sikap netral dari pengaruh politik yang dimiliki ASN menjadi hal yang wajib ada dalam diri ASN," katanya.
Ia mengatakan, netralitas terhadap politik harus dimiliki oleh ASN agar tidak terlibat menjadi anggota partai politik.
Termasuk terhindar dari kepentingan-kepentingan politik yang mengarahkan ASN untuk dapat memobilisasi (massa)/masyarakat untuk memenuhi kepentingan politik tertentu.
Penulis : Ade Indra Kusuma Editor : Deni-Muliya
Sumber : Kompas TV