> >

Mengenal Lingkungan dan Belajar tanpa Ujian di Sekolah Alam Sayogya

Jawa tengah dan diy | 1 Juni 2023, 05:24 WIB
Sejumlah siswa Sekolah Alam Sayogya didampingi sejumlah tenaga pengajar, mengumpulkan dedaunan kering untuk membakar ubi jalar, Selasa (30/5/2023). (Sumber: Kompas.TV/Kurniawan Eka Mulyana)

YOGYAKARTA, KOMPAS.TV – Lembaga pendidikan berbasis pendidikan keluarga seperti sekolah alam, menjadi pilihan sejumlah orang tua di Yogyakarta untuk menyekolahkan putra putri mereka.

Pagi itu, sekitar 30 anak berusia antara empat hingga sembilan tahun berkumpul di halaman Sekolah Alam Sayogya, Jalan Puspita Baru, Beran Kidul, Tridadi, Kecamatan Sleman, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Mereka merupakan siswa sekolah alam tersebut. Berbeda dengan sekolah lain yang mayoritas mewajibkan seragam pada murid-muridnya, di tempat ini bocah-bocah itu mengenakan pakaian yang beragam.

Beberapa wanita berhijab dan seorang pria yang merupakan tenaga pendidik di tempat itu, mengelompokkan belasan bocah tersebut menjadi tiga.

Baca Juga: Mengenang Sosok Lendo Novo, Penggagas Sekolah Alam Indonesia yang Pernah Masuk Penjara

Seperti anak-anak lain sebayanya, beberapa bocah berkejaran di halaman saat teman mereka mendengarkan arahan guru.

Beberapa lainnya mendekati seorang tamu sekolah yang membwa kamera. Tampak bahwa rasa ingin tahu anak-anak itu cukup tinggi.

Mereka bergantian memotret setelah tamu itu mengizinkan bocah-bocah tersebut menggunakan kameranya.

Tidak ada bentakan di tempat itu. Guru di situ hanya memanggil nama bocah yang berlarian dan belajar memotret dengan nada lembut, agar mereka kembali ke kelompoknya.

Setelah mereka bergabung dengan kelompoknya masing-masing, sang guru membagikan sejumlah ubi jalar mentah untuk masing-masing kelompok.

Hari itu, Selasa (30/5/2023) jadwal mereka outbond di sekitar lingkungan sekolah, salah satu kegiatannya adalah membakar ubi.

Anggota masing-masing kelompok kemudian berpencar untuk mencari bahan bakar, sesuai dengan arahan guru mereka.

Ada yang mencari kayu di halaman rumah warga di seberang sekolah, ada yang mengais dedaunan kering di halaman belakang, dan sebagian mencari benda mudah terbakar di tanah lapang samping sekolah.

Tiga anak terlihat saling bantu saat menemukan batang pohon pepaya yang sudah cukup kering. Jemari mungil mereka menyingkirkan benda-benda yang menutupinya di tanah.

Lalu, seorang dari bocah itu membawanya menuju titik kumpul kelompok mereka di halaman.

Desi Mayasari, tenaga pendidik di Sekolah Alam Sayogya, menjelaskan, siswa yang berkegiatan pada pagi menjelang siang itu adalah anak-anak dari tingkar Semai dan Mula, atau setara dengan taman kanak-kanak.

Sejumlah siswa Sekolah Alam Sayogya mengumpulkan ranting dan dedaunan kering untuk membakar ubi jalar di halaman sekolah, Selasa (30/5/2023). (Sumber: Kompas.TV/Kurniawan Eka Mulyana)

“Usianya yang Semai itu antara 4 sampai 6 tahun, itu kurang lebih setara TK. Kemudian di atasnya lagi usia 7-9 tahun, itu namanya jenjang mula,” tuturnya.

Selain jenjang Semai dan Mula, Sekolah Alam Sayogya juga mendidik anak-anak usia 9-12 tahun yang disebut jenjang Madya.

“Kemudian di atas lagi yang setara SMP jadi 12 sampai 14 tahun itu jenjang muda. Kemudian yang di atasnya lagi itu dewasa, 15-17 tahun atau usia SMA.”

Baca Juga: Penggagas Sekolah Alam Lendo Novo Meninggal Dunia, Anies Baswedan Berduka

Kegiatan Siswa Sekolah Alam Sayogya

Sekolah Alam Sayogya menerpkan kurikulum yang mereka sebut dengan Panca Darma Sayogya, yakni hubungan dengan Tuhan, keluarga, diri sendiri, masyarakat, dan relasi atau hubungan dengan alam.

Pelajaran tentang relasi dengan Tuhan dibagi menjadi empat, yakni Akidah Islam, Syariah Ibadah Muamalah, Surah dan Siroh, Alquran dan hadits.

Kemudian relasi dengan keluarga, dibagi menjadi tiga, yaitu silsilah keluarga, adab keluarga, dan sinergi keluarga.

Sementara, hubungan dengan diri sendiri atau tentang mengenal diri, dibagi menjadi beberapa literasi.

“Ada tentang pendidikan nalar dan emosi. Matematika itu masuk di sini, nalar.  Matematika itu sebenarnya bukan tentang bagaimana anak-anak menyelesaikan operasi hitung, tapi bagaimana mereka bisa menalar sebuah situasi kemudian akan menjadi operasi matematika.”

“Kemudian literasi emosi, jadi bagaimana anak-anak ini  berkonflik satu sama lain tapi dnegan cara yang sehat,” tambahnya.

Ia mencontohkan tentang literasi emosi, misalnya saat anak berkonflik dengan anak lain, mereka guru akan melatih mereka untuk menyelesaikannya dengan baik. Si anak diajari untuk menyampaikan keluhan dan keinginannya, kemudian diselesaikan dengan baik.

Hal lain yang juga menjadi bagian dari hubungan dengan diri sendiri adalah pendidikan jasmani dan kesehatan, termasuk di dalamnya bagaimana mereka peduli terhadap asupan makanan dan kesehatan tubuh.

Di sini, bocah-bocah itu juga mendapatkan stimulasi untuk mengembangkan minat dan bakat, dengan cara melakukan dan mencoba berbagai kegiatan.

Kegiatan itu antara lain, menanam pohon, olahraga, silaturahmi ke tetangga, eksplorasi alam, berkunjung ke museum, dan sejumlah kegiatan lain.

Para siswa juga diajari untuk bercocok tanam dan memelihara ternak sapi. Kandang ternak sapi berada di lokasi peternakan milik warga sekitar.

Keempat, relasi atau hubungan dengan masyarakat, yang menurut Desi merupakan mata kurikulum terbanyak.

“Ada tatakrama desa, kemudian wawasan budaya Yogyakarta, bahasa dan estetika, bisnis dan kewirausahaan, kemudian ada juga pendidikan kewarganegaraan.”

Kurikulum kelima, tentang alam, yang terbagi menjadi beberapa mata kurikulum, di antaranya sains alam, jelajah alam, konsevasi alam, dan budidaya alam.

Dalam memberikan pelajaran pada para siwas, tenaga pendidik di tempat ini memberlakukan pendidikan terintegrasi berbasis kegiatan. Misalnya, dalam suatu kegiatan outbond, siswa bukan hanya diajari untuk mengenal alam saja.

Seorang siswa Sekolah Alam Sayogya antusias belajar memotret di halaman sekolah itu, Selasa (30/5/2023). (Sumber: Kompas.TV/Kurniawan Eka Mulyana)

Para tenaga pendidik juga mengajarkan mereka tentang sains, seperti benda apa saja yang mudah terbakar dan ciri-cirinya, kemudian mengapa api bisa tetap menyala, dan lain-lain.

“Sainsnya ada. Kemudian anak-anak cari sumber dayanya berarti mereka berusaha untuk jelajah, terhubung dengan alam.”

“Kemudian, misalnya mereka menemukan sumber daya di rumah tetangga, mereka perlu bilang ke tetangga menggunakan tatakrama, itu terintegrasi,” kata Desi.

Berbasis Pendidikan Keluarga

Sekolah Alam Sayogya tidak menggunakan jenjang kelas dalam mendidik para siswa, melainkan menggunakan jenjang usia.

Penggunaan jenjang usia tersebut tidak lepas dari konsep sekolah ini yang berbasis pendidikan keluarga.

Jadi, anak-anak di sini tidak melulu belajar bersama teman-teman seusia. Terkadang siswa jenjang Mula belajar bersama jenjang Semai, atau jenjang Semai belajar dengan kakak-kakaknya yang jenjang Madya, atau semua jenjang belajar bersama.

“Jadi, lebih terasa bahwa yang anak besar akan belajar mengasuh adik-adiknya, yang bawah akan belajar bagaimana menghormati kakak. Jadi konsepnya adalah konsep keluarga, gitu,” Desi menjelaskan.

Bahkan, kurikulum sekolah pun bukan hanya dibuat untuk siswa semata, tetapi juga untuk guru dan orang tua mereka.

Di tempat ini, orang tua tidak bisa memasrahkan sepenuhnya pendidikan kepada pihak sekolah, Mereka wajib terlibat dalam mendidik anak-anaknya. Itu semua demi tumbuh kembang anak-anak mereka ke depan.

Orang tua siswa pun wajib mengikuti training parenting dan pendidikan yang diselenggarakan oleh pihak sekolah.

Siswa hanya empat hari belajar di sekolah, yakni mulai dari Selasa hingga Jumat. Pada Hari Sabtu hingga Senin, mereka belajar di rumah bersama orang tua dan keluarga.

“Jadi mereka setelah jam 1 siang bisa sama orang tuanya, main bareng teman-teman di rumahnya, itu masih leluasa.”

Pada dasarnya, Sekolah Alam Sayogya ingin membangun bekal dasar anak-anak itu, dan jika ingin mendapatkan pendidikan di jenjang akademik formal, mereka bisa mengikuti pendidikan kesetaraan di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM).

“Si anak ini nanti akan diencourage untuk mereka bisa belajar di jenjang formalnya. Sekarang kan ada PKBM juga untuk mereka belajar akademiknya, dan itu bisa,” lanjutnya.

“Kami di sini nggak ada ujiannya juga. Jadi ya yang kami lihat adalah transformasi mereka day by day, week by week, tahun ke tahun.”

Sejumlah siswa Sekolah Alam Sayogya belajar dan bermain bersama seorang tamu sekolah itu, Selasa (30/5/2023). (Sumber: Kompas.TV/Kurniawan Eka Mulyana)

Di Sekolah Alam Sayogya perkembangan dan transformasi anak tidak dinilai secara kuantitatif dengan angka.

Desi menjelaskan, saat awal berdirinya Sekolah Alam Sayogya pada tahun 2019 lalu, sekolah yang diinisiasi oleh Muhammad Firman ini hanya membuka untuk jenjang usia SMA.

Namun, seiring perkembangan waktu, ternyata kebutuhan tentang pendidikan berbasis pendidikan keluarga ini semakin besar. Akhirnya, pengelola pun membuka beberapa jenjang untuk anak usia TK hingga SD.

Baca Juga: Sejumlah WNA Jadi Relawan Pengajar di Sekolah Alam Toraja

Kini, jumlah siswa Sekolah AlamSayogya mencapai 50 siswa, terdiri dari 33 siswa jenang Semai dan Mula, serta 17 siswa jenjang Dewasa.

“Makin ke sini ada kebutuhan dari kami sendiri, teman-teman sekitar kami, akhirnya kumpullah segini banyak, sekarang sudah 50 anak. Total di sini (jenjang Semai dan Mula) 33, yang di sana 17 anak,” tuturnya.

Lokasi pembelajaran siswa jenjang Madya dan Dewasa tidak satu tempat dengan jenjang Semai dan Mula, letaknya terpisah beberapa ratus meter saja.

Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Gading-Persada

Sumber : Kompas TV


TERBARU