> >

Jelang Senja di Pesantren Tunarungu Darul Ahsom, Kala Santri Membaca tanpa Suara

Jawa tengah dan diy | 6 April 2023, 05:25 WIB
Seorang santri tunarungu di Pondok Pesantren Darul Ahsom, Kabupaten Sleman, sedang menyetor hafalan Alquran pada Ustadz Abu Kahfi, Rabu (5/4/2023). (Sumber: Kompas.TV/Kurniawan Eka Mulyana)

Kala itu tiba-tiba terbersit pikiran untuk mengajarkan ilmu agama pada difabel tuli di Yogyakarta dan sekitarnya.

Ia pun mencari rumah kontrakan di Yogyakarta, dan mendapatkan ruko dua lantai di kawasan Srandakan, Kabupaten Bantul.

“Akhirnya nyari kontrakan di Jogja, malah dikasih pinjam setelah dengar saya mau buka madrasah, ngaji anak-anak, taklim, maka ada yang minjemin ruko dua lantai.”

Setelah berjalan satu tahun, jumlah santrinya meningkat menjadi 40 orang, akibatnya, ruko yang dikontraknya tersebut tidak mampu menampung mereka.

Ia lalu kembali mencari lokasi untuk memindahkan pondok pesantrennya tersebut, dan mendapatkan tempat di lokasi saat ini.

“Di sinilah dua tahun setengah berjalan, alhamdulillah santri dan santriwati sekarang sudah 129.”

Saat membuka pondok pesantren, Ustadz Abu Kahfi memang fokus pada pesantren tahfidz atau penghafal Al-Qur'an.

Alasannya, karena para difabel tuli tersebut memiliki hambatan dalam berkomunikasi. Tetapi, mereka tetap bisa menghafalkan Al-Qur'an karena tetap bisa memelajari huruf.

Selama belajar membaca Al-Qur'an, para santri pun diberikan bekal berupa peningkatan kemampuan berbahasa.

Mereka yang kemampuan bahasanya dianggap sudah baik, kemudian dibolehkan mengikuti kelas nontahfidz.

Dua santriwati Pondok Pesantren Darul Ahsom, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, membaca dan menghafalkan Al-Qur'an dengan bahasa isyarat, Rabu (5/4/2023). (Sumber: Kompas.TV/Kurniawan Eka Mulyana)

“Jadi kelas di sini sesuai dengan kemampuan, bukan dengan usia,” kata pria kelahiran Ciamis ini.

Metode pembacaan Al-Qur'an menggunakan bahasa isyarat memiliki standar kebenaran, baik panjang pendeknya bacaan maupun harakat atau tanda baca.

Oleh sebab itu, tidak begitu sulit baginya memantau perkembangan bacaan dan hafalan para santri.

Bahkan, metode mengaji menggunakan bahasa isyarat berlaku universal, sehingga di mana pun mereka nanti, gerakan dan bacaan akan sama.

“Untuk tunarungu ini ada standar kebenaran, saya pegang mushaf, dia jalan, kalau dia salah ya diulangi.”

Baca Juga: 1.700 Santri Pesantren Ar Raudlatul Hasanah Medan Gelar Tadarus Massal

“Metode kami ini bukan buatan kita sendiri, tapi ini metode dari arab sana, jadi ngaji begini sudah universal, di negara Arab sudah biasa. Di Indonesia baru dibiasakan,” jelasnya.

Menghadapi Beragam Tantangan

Meski menyebut diberikan banyak kemudahan oleh Allah dalam melakukan syiar agama, Ustaz Abu Hanifah mengakui ada sejumlah tantangan yang harus dia hadapi dalam kegiatannya.

“Awalnya lumayan tantangannya, karena ini kan hal yang baru buat saya dan hal yang baru juga buat mereka.”

Selain tantangan berupa keterbatasan bahasa untuk berkomunikasi di awal, mengenalkan agama yang merupakan hal gaib pada mereka juga menjadi tantangan tersendiri.

Para tunarungu yang digandengnya yakin pada sesuatu yang terlihat secara visual, tapi sedikit tidak meyakini hal yang gaib atau tidak terlihat.

“Mereka kan yakin dengan visual, yang tidak visual kan tidak yakin, gimana menerangkannya? Alhamdulillah itu pun sudah dilalui. Saya sudah bisa menerangkan paada mereka,” lanjut Ustadz Abu Kahfi.

Setelah tantangan itu terlewati, muncul tantangan selanjutmya, yakni bagaimana cara meyakinkan para orang tua santri bahwa anak mereka berpotensi untuk belajar di pondok pesantren.

Terlebih saat itu belum ada pondok tunarungu yang berdiri.

Tantangan selanjutnya setelah para orang tua santri yakin pada kemampuan anak mereka, adalah bagaimana mereka diterima oleh masyarakat, bukan hanya universal tapi juga lokal.

“Sekarang mereka universal, belajar di Arab sama, tapi apakah di Indonesia mereka akan diterima?”

“Ini tantangan selanjutnya, bagaimana meyakinkan lingkungan sekitar ini bahwa mereka sama layaknya kita yang umum, hanya metodenya berbeda,” lanjutnya.

Ia berharap, lima atau enam tahun ke depan, sudah ada santri dari pondok pesantrennya yang hafal Al-Qur'an hingga 30 juz.

Seorang santriwati Pondok Pesantren Darul Ahsom, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, menyetor hafalan Alquran dengan bahasa isyarat, Rabu (5/4/2023). (Sumber: Kompas.TV/Kurniawan Eka Mulyana)

Tujuannya, agar mereka dapat mengajarkan ilmu yang telah diperoleh pada sesama difabel tuli di daerahnya masing-masing.

“Biar mereka langsung terjun ke masyarakat untuk mengajarkan pada teman tuli lainnya.”

Kini, selain mengjarkan membaca Al-Qur'an dan ilmu agama, pengurus pondok pesantren tersebut juga mengajarkan pencak silat sebagai ilmu beladiri wajib para santri.

Para santri yang berasal dari sejumlah daerah di Indonesia, mulai dari Aceh hingga Palu, Sulawesi Tengah tersebut juga diajarkan memanah serta berenang.

Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Kompas TV


TERBARU