> >

Para Lansia Penenun Wastra, Penjaga Warisan Budaya

Budaya | 11 Maret 2023, 09:27 WIB
Seorang pria perajin tenun lurik sedang melakukan proses pembuatan pola atau sekir, di kawasan Krapyak Wetan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, Selasa (7/3/2023). (Sumber: Kompas.TV/Kurniawan Eka Mulyana)

Berbeda dengan tenun kebanyakan yang menggunakan bahan baku benang untuk memproduksi kain, di lokasi ini, Ragil Jaya Craft, para perajin menenun menggunakan bahan serat alam.

Proses menenun serat alam, khususnya eceng gondok, memakan waktu lebih lama daripada menenun benang, sebab mereka harus menyusun batang demi batang secara manual.

Juntaian benang yang akan diproses untuk pemolaan atau sekir kain lurik di Krapyak Wetan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, Selasa (7/3/2023). (Sumber: Kompas.TV/Kurniawan Eka Mulyana)

Waluddin, pemilik Ragil Jaya Craft, menceritakan, usaha kerajinan tenun serat alam ini berdiri pada tahun 1998, seusai krisis moneter melanda Indonesia.

“Kalau tenunnya sudah lama, sejak tahun 1950-an sudah ada, tapi waktu itu bapak dan ibu masih ikut jadi karyawan, kemudian setelah menikah, bapak dan ibu mendirikan usaha tenun stagen,” tuturnya saat ditemui, Rabu (8/3/2023).

Usaha tenun kain stagen tersebut berjalan hingga tahun 1997, saat terjadi krisis moneter dan terjadi banyak pemutusan hubungan kerja (PHK).

Pada tahun 1998, pihaknya kedatangan tamu seorang pengepul barang kerajinan. Ia meminta pada Waluddin untuk membuat kerajinan tenun berbahan serat nenas.

Waluddin hanya diminta menyiapkan tenaga dan benang karena bahan baku serat nenas disiapkan oleh orang itu.

“Setelah jalan, ternyata ada beberapa tamu yang datang dan minta sampel, ada yang dari pabrik tas, awalnya produksi dari nilon kemudian berpindah ke serat alam.”

Beberapa bulan kemudian, ada tamu dari Bali yang meminta agar Waluddin memproduksi kerajinan tenun dari bahan serat alam apa pun.

Ia pun mulai menggarap tenun berbahan serat nenas, tali agel, lidi, mendong, eceng gondok, pandan, akar wangi, dan serat alam lainnya.

“Kita kombinasikan supaya jadi motif yang berbeda.”

Hasil akhir dari kerajinan tenun serat alam biasanya berupa alas piring, tetapi bisa juga dijadikan sebagai cover tempat pakaian kotor.

Kini, jumlah perajin tenun serat alam di daerah Gamplong yang merupakan sentra tenun tersebut mulai berkurang.

Salah satu penyebabnya, kata Waluddin, adalah rendahnya minat generasi muda untuk menjadi perajin tenun karena pekerjaan itu dinilai kurang keren.

“Untuk minat yang muda itu memang sekarang kurang, mungkin istilahnya kurang keren.”

Ia juga pernah mencoba merekrut generasi muda untuk menjadi perajin tenun. Saat itu, kata Waluddin, ada sepuluh orang yang dipekerjakannya dan digaji dengan sistem upah harian.

Tapi, sebagian mereka kurang disiplin, dan akhirnya berhenti sebagai perajin tenun serat alam.

”Minat generasi muda untuk melanjutkan kerajinan tenun itu memang masih kecil,” tegasnya.

Dari segelintir perajin tenun serat alam yang masih bertahan, Waluddin dan sang istri merupakan salah satunya.

Ia berharap kebertahanannya tersebut dapat meningkatkan harga jual kerajinan tenun serat alam agar menarik minat generasi muda.

Dengan harga yang meningkat, diharapkan upah para pekerja pun dapat ditingkatkan, dan menjadi daya tarik untuk generasi muda.

“Daripada mereka kerja di luar, harus keluar bensin, makan siang. Kalau upahnya tinggi kan harapannya mereka bisa tertarik.”

Kerajinan tenun serat alam buatannya bukan hanya dipasarkan di Yogyakarta dan sekitarnya, tetapi sudah merambah mancanegara.

Pesanan terbesar berasal dari Jerman dan Amerika Serikat, namun ada juga pembeli yang berasal dari Korea.

Waluddin tidak mengekspor sendiri kerajinan tenun serat alam buatannya. Barang-barang itu diekspor oleh pelanggannya.

Saat ini, ia mematok harga di kisaran Rp4 ribu hingga Rp20 ribu untuk setiap lembar kerajinan tenun serat alam berukuran 35 x 45 sentimeter.

Seorang wanita perajin tenun sedang membuat tenun dari serta alam di Desa Wisata Gamplong, Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, Rabu (8/3/2023). (Sumber: Kompas.TV/Kurniawan Eka Mulyana)

“Kalau beli lembaran, yang ukuran lebar 70 sentimeter kita jual per lembar Rp40 ribu, untuk yang 1 meter harganya Rp50 ribu.”

Proses pembuatan satu meter tenun serat alam tergantung pada bahan dan tingkat kesulitan. Kerajinan tenun eceng gondok misalnya, dengan ukuran sama, bisa memakan waktu yang berbeda karena ada yang harus dipotong kecil dan ada yang ditenun batangan.

Dalam sehari, Waluddin dapat memproduksi antara 10 hingga 20 meter tenun serat alam dengan lebar 35 sentimeter.

“Yang paling mudah bisa 10 sampai 20 meter per hari, ukuran 35 sentimeter. Kalau yang lebar lebih dari itu waktunya lebih lama lagi.”

Warisan Budaya Tak Benda

Pihak Pemerintah Kabupaten Sleman dalam keterangan di laman mereka menyebutkan pemerintah telah menetapkan kerajinan tenun serat alam asal Gamplong sebagai salah satu Warisan Budaya Takbenda Indonesia dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Penetapan sebagai Warisan Budaya Takbenda tersebut telah dilakukan sejak tahun 2017 lalu, dan dan masuk dalam domain keterampilan dan kemahiran kerajinan tradisional.

Mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 106 Tahun 2013, Warisan Budaya Takbenda Indonesia adalah berbagai hasil praktek, perwujudan, ekspresi pengetahuan dan keterampilan, yang terkait dengan lingkup budaya, yang diwariskan dari generasi ke generasi secara terus-menerus melalui pelestarian dan/atau penciptaan kembali serta merupakan hasil kebudayaan yang berwujud budaya takbenda setelah melalui proses penetapan Budaya Takbenda.

 

Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : Kompas TV


TERBARU