> >

Berbekal Segenggam Kulit Bawang, Perempuan Sleman Yogyakarta Ini Bangkit dari Hantaman Pandemi

Gaya hidup | 2 November 2022, 08:30 WIB
Kharolin Hilda Amazona menunjukkan kulit bawang merah yang digunakan sebagai pewarna alami pakaian. Ia berinovasi setelah sang ibu terdampak pandemi Covid-19. (Sumber: Kompas TV/Kurniawan Eka Mulyana)

YOGYAKARTA, KOMPAS.TV - Hantaman pandemi Covid-19 bukan alasan untuk menyerah dan kalah, bahkan bisa menjadi pemicu kreativitas untuk sebagian orang yang kehilangan pekerjaan.

Kharolin Hilda Amazona, perempuan berusia 28 tahun ini mencoba memberdayakan wanita di sekitar desanya yang terdampak pandemi.

Olin, sapaan akrabnya, memanfaatkan limbah dari sayuran rumah tangga dan tumbuhan lokal menjadi pewarna pakaian, mulai dari kulit bawang merah, kulit pisang, hingga dedaunan tertentu.

Pagi itu, Senin (31/10/2022), wajah Olin terlihat sumringah. Ia menyiapkan satu kompor gas beserta dandang berukuran sedang di teras rumahnya, Dusun Wonorejo, Sariharjo, Ngaglik Sleman.

Selembar kain katun berwarna putih diambilnya dari dalam rumah. Setelah membasahi kain itu, Olin membentangkannya di lantai.

Jemari lentik perempuan itu sesekali mengatur agar kain itu terbentang rapi, lalu dengan lincah menaburkan potongan-potongan kulit bawang merah di atasnya.

Segenggam potongan kulit bawang merah itu ditabur sesuai dengan motif warna yang diinginkan. Kali ini, ia menaburnya dengan jumlah yang  tidak terlalu banyak.

“Kami memanfaatkan recycle dari limbah sampah sayuran rumah tangga dan  juga pemanfaatan sumber daya alam tanaman lokal,” kata perempuan yang terpilih sebagai juara dua Pemuda Pelopor Kabupaten Sleman 2022 itu.

Olin lalu menggulung kain yang telah ditaburi kulit bawang merah, kemudian mengikatnya dengan karet sebelum dimasukkan ke dalam dandang.

Proses pengukusan pada kain itu dilakukan selama kurang lebih satu jam. Tujuannya agar warna yang berasal dari kulit bawang merah tersebut menempel pada kain.

Sambil menunggu proses pewarnaan selesai, Olin banyak bercerita tentang awal mula dirinya melakukan inovasi di bidang fashion yang ramah lingkungan.

Dampak Pandemi

Kegiatannya dimulai saat sang ibu yang merupakan pedagang sembako di salah satu pasar di dekat rumahnya terdampak pandemi.

Kala itu, pendapatan sang ibu menurun drastis karena adanya pembatasan-pembatasan kegiatan. Tidak tanggung-tanggung, penurunannya mencapai 80 persen.

Padahal, sang ibu sudah lebih dari 20 tahun berdagang sembako, namun akhirnya harus terhenti.

“Jadi 80 persen pendapatan dari ibu kami berkurang. Akhirnya berhenti, dan kemudian saya mencoba melihat apa potensi yang ada di desa kami,” kenangnya.

“Yang terjadi pada ibu saya juga terjadi pada tetangga kami, misalnya perempuan petani yang 50 persen hasil taninya itu harganya turun.”

Di tengah kegundahannya, Olin pun mempelajari tentang eco print dan mencoba sejumlah bahan alami yang diharapkannya dapat menjadi pewarna pakaian.

Dari beberapa percobaan yang dilakukan, ia menemukan bahwa kulit bawang merah, kulit bawang bombay, dan kulit pisang, serta sejumlah dedaunan dapat digunakan sebagai pewarna.

Selain itu, Olin juga menggunakan pewarna alam dari kulit manggis dan kayu secang yang saat ini sudah umum digunakan.

Kharolin Hilda Amazona menunjukkan kain yang telah diwarnai menggunakan kulit bawang merah, di rumahnya, Dusun Wonorejo, Sariharjo, Ngaglik, Sleman. (Sumber: Kompas TV/Kurniawan Eka Mulyana)

Warna dari masing-masing bahan baku itu berbeda. Misalnya, bahan kulit bawang merah warnanya kuning agak hijau, bawang bombay agak semburat oranye, dan warna dari kulit pisang kepok adalah ungu.

Ia juga menggunakan daun indigofera untuk menghasilkan warna biru.

“Dengan pemanfaatan sumber daya alam yang ada, kami jadikan fashion berkelanjutan dengan nilai ekonomi.”

Dalam perkembangannya, Olin menggandeng sejumlah perempuan dari lima dusun berbeda untuk turut dalam produksi fashion ramah lingkungan tersebut.

Sampai saat ini, ada delapan perempuan yang ikut berkegiatan, termasuk penjahit. Namun, karena hingga kini pemasaran produknya belum terlalu lancar, Olin menggunakan uang pribadinya untuk pendanaan.

Baca Juga: Peringati Hari Sumpah Pemuda, Siswa SD di Balikpapan Upacara dengan Mengenakan Pakaian Adat!

Tak jarang, uang hasil memenangkan kompetisi digunakannya untuk memodali produk-produknya.

Olin berpendapat, jika ia tidak berani bergerak menggunakan dana pribadinya, ia tidak akan pernah tahu bagaimana hasilnya nanti.

Ia mencontohkan, untuk jasa jahit, Olin menggunakan sistem beli putus, yakni membayar langsung perempuan penjahit yang jasanya ia gunakan.

“Kalau misalnya menjahit, kami beli putus, jadi nggak nunggu produknya terjual dulu. Harganya pun bisa dibilang penjahitannya di atas rata-rata yang kami bayarkan ke ibu-ibunya.”

“Ini karena kami kegiatan kepeloporan juga, jadi harus berani bergerak dulu. Ibaratnya memberikan bukti,” tuturnya.

Proses Pewarnaan

Jika melihat sekilas, warna dan motif fesyen yang diproduksi oleh Olin tampak sederhana. Namun, proses pewarnaannya tak sesederhana yang terlihat.

Olin setidaknya membutuhkan waktu sekitar empat hari untuk proses pewarnaan. Itu di luar proses penjahitan.

Untuk membuat produk eco print, ia menggunakan kain katun yang telah dibersihkan dari bahan-bahan kimia.

Kemudian, ia meletakkan dedaunan atau bahan alami lain pada kain tersebut untuk memberikan motif dan warna.

“Selanjutnya kita tata, kemudian kita gulung, kemudian kita ikat, dan direbus. Nanti akan muncul motifnya.”

Proses pewarnaan tidak berhenti sampai di situ. Setelah selesai proses perebusan atau pengukusan, kain yang telah bermotif itu dijemur selama beberapa hari.

Selanjutnya, agar warna yang ada tidak mudah luntur, Olin melakukan proses fiksasi dengan tawas atau tunjung.

Tawas digunakan jika ia ingin memberikan warna yang lebih cerah, sementara tunjung dipakai untuk memberi kesan agak gelap.

“Jadi ada perbedaan antara bahan yang digunakan untuk eco print dengan bahan untuk membuat pewarna pakaian. Tidak semua yang bisa digunakan untuk eco print bisa jadi pewarna,” Olin menjelaskan.

Untuk pembuatan pewarna pakaian alami, Olin menggunakan beberapa bahan. Salah satunya adalah kulit pisang kepok.

Proses pembuatan pewarna pakaian sedikit lebih sederhana, yakni cukup merebus bahan yang akan digunakan.

Setelah itu, kain yang hendak diwarnai tinggal dicelupkan ke dalam air hasil rebusan bahan-bahan tadi.

Kharolin Hilda Amazona menunjukkan beberapa pakaian yang diwarnai menggunakan limbah sayuran rumah tangga hasil buatannya, Senin (31/10/2022). (Sumber: Kompas TV/Kurniawan Eka Mulyana)

Namun, karena menggunakan bahan alami, warna yang dihasilkan tidak bisa setebal pewarna kimia, sehingga untuk penggunaannya harus mencelup beberapa kali.

“Kalau pewarna alam, itu cukup direbus saja, ada takarannya tersendiri. Nanti tinggal kain yang sudah diproses, dicelupkan dan dikeringkan.”

“Ada beberapa proses karena warnanya itu tipis sekali. Jadi beberapa kali pencelupan agar warnanya jadi tebal,” kata Olin.

Saat ini, hasil produksinya baru dipasarkan pada teman dan keluarganya saja, termasuk melalui sejumlah media sosialnya.

Ia mematok harga mulai Rp10 ribu untuk produk ikat rambut, hingga Rp1,1 juta untuk pakaian wanita.

“Kami kan baru jalan empat bulan, jadi pemasarannya masih pada keluarga, teman, dan (lewat) sosial media,” tuturnya.

Olin juga mengaku tidak berniat untuk memproduksi secara massal, dengan pertimbangan menjaga kelestarian alam.

Ia khawatir jika memroduksi secara massal, niat yang tadinya untuk membuat pewarna ramah lingkungan justru akan menyebabkan kerusakan lingkungan.

“Jangan sampai nantinya malah merusak alam. Makanya, selain mengambil dari alam, saya juga menanam sendiri bahan-bahannya,” terangnya.

Olin berharap, ke depannya, ada perhatian khusus dari pemerintah daerah setempat, agar desa tempat tinggalnya bisa menjadi desa wisata khusus eco print dan pewarna alami pakaian.

Musiyati (55), ibu dari Olin, mengaku sangat mendukung kegiatan yang dilakukan oleh sang putri. Terlebih, kegiatan itu juga bermanfaat untuk masyarakat.

Meskipun, ia mengaku, pada awalnya bertanya-tanya tentang kegiatan Olin yang dinilainya ribet dan menyebabkan barang-barag berantakan.

“Awalnya juga saya bertanya, dia itu bikin apa, kok ribet sekali, bikin berantakan, kotor. Ternyata bermanfaat juga,” ujarnya.

Sebagai bentuk dukungan, Musiyati pun turut mengumpulkan kulit bawang merah di pasar untuk anak perempuannya tersebut.

 

Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Kompas TV


TERBARU