> >

Adakah Tempat yang Aman dari Pelecehan?

Kriminal | 11 Oktober 2022, 10:34 WIB
Catcalling itu pelecehan! (Sumber: Freepik/joaquincorbalan)

Jakarta, KOMPAS.TV – Disahkannya RUU TPKS boleh jadi berita baik bagi masyarakat Indonesia. Akan tetapi, perjuangan lepas dari ancaman pelecehan seksual belum berakhir. Karena pelecehan dapat terjadi kapan dan di mana saja.

Pelaku juga tidak memandang umur dan gender. Selama ada kesempatan, pelaku pelecehan seakan-akan siap untuk mengintai. Terlebih, pelecehan bukan saja secara fisik, melainkan verbal juga, seperti catcalling yang sifatnya mengobjekkan.

Dalam siniar Anyaman Jiwa bertajuk “Catcalling itu Pelecehan”, Rizqah Nailah Nahdah, bagian dari Tim Manusia Asa, menjelaskan perihal dampak dari catcalling, yaitu efek psikologis.

“Ungkapan-ungkapan (pelaku) mengarah pada appearance,” ungkap Rizqah. Pasalnya, korban pelecehan catcalling akan berpengaruh pada sisi batinnya. Korban akan menanggung malu, tersakiti, dan bahkan dapat menjadi penyebab dirinya memisahkan diri dari orang lain.

Apabila tidak segera mendapat penanganan psikologis, bukan tidak mungkin pelecehan tersebut akan menjadi pengalaman traumatis. Mereka akan hidup dalam ketakutan. Tidak ada lagi tempat aman bagi korban pelecehan seksual, khususnya perempuan.

Baca Juga: Soal Gesek HP Fans, Pamungkas: Itu Aksi Panggung, Bukan Pelecehan

Pasalnya, catcalling seperti sudah membudaya karena dianggap hal yang biasa dan seolah-olah dibiarkan. Catcalling juga seakan sebuah cermin bahwa di ruang publik, perempuan berada di posisi inferior. Tidak jarang perempuan kerap mendengar ungkapan-ungkapan, seperti “Hey, cantik seksi banget, sih” atau “Mau ke mana cantik? Mau ditemenin?”.

Ungkapan-ungkapan tersebut merepresentasikan aktivitas di ruang publik penuh ancaman. Itu sebabnya, harus ada gerakan penyadaran sosial tentang pelecehan seksual, sehingga tak makin banyak orang yang jadi korban.

Pemerintah Harus Terus Berperan

Dengan disahkannya RUU TPKS, pemerintah telah menaruh perhatian untuk mengatasi kekerasan dan pelecehan seksual. Ini sebuah langkah yang harus diapresiasi karena pemerintah menyadari kekerasan dan pelecehan seksual tidak memiliki tempat di masyarakat.

Salah satu kasus pelecehan seksual yang menjadi sorotan publik adalah kasus yang terjadi di UNSRI dengan pelaku, yaitu dosen dan korbannya adalah mahasiswi. Kasus ini sangat disayangkan karena sebagai dosen sudah sepatutnya memahami bahwa pelecehan seksual merupakan tindakan yang melanggar etika dan moral.

Baca Juga: Empat Anak jadi Korban Pelecehan Seksual oleh Guru Ngaji di Purwakarta, Korban Diiming-imingi Uang

Perlu Adanya Penyadaran Masyarakat

Bila kita sedikit melihat pada film “Yuni” (2021), diperlihatkan bagaimana budaya patriarki seolah-olah laki-laki memiliki hak untuk melamar perempuan begitu saja. Mereka (perempuan) tidak berdaya bila orangtua sudah berkata “iya” pada keluarga laki-laki.

Belum lagi ada mitos-mitos pamali, seperti “bila perempuan menolak lamaran sampai tiga kali, maka dirinya akan menjadi perawan tua”. Masalahnya, bukan pada benar atau tidaknya mitos tersebut, melainkan kepercayaan atas mitos telah menguatkan pengobjekkan terhadap perempuan.

Itu sebabnya, perlu adanya kesadaran dalam diri perempuan bahwa dirinya juga manusia. Tidak berada dalam belenggu laki-laki dan budaya. Jauh sebelum reformasi dan film “Yuni” hadir, Sutan Takdir Alisjahbana (STA) pernah mengangkat perempuan yang berani memperjuangkan kehidupannya pada tokoh Tuti dalam novel Layar Terkembang (1936).

STA menitikberatkan kodrat sebagai sesuatu yang menekan kehidupan perempuan. Secara harfiah, kodrat yang diberikan Tuhan berkaitan dengan takdir manusia yang tidak dapat diubah, yaitu jenis kelamin laki-laki dan perempuan.

Sayangnya, kodrat yang dimaksudkan dalam budaya patriarki adalah pembenaran tindakan pengobjekkan terhadap perempuan yang dikaitkan dengan nilai baik dan buruk. Perempuan hanya boleh berkehidupan domestik, seperti mengurus rumah dan anak.

Baca Juga: Martin Sebut Saksi dan Bukti Komnas Perempuan soal Istri Sambo Alami Kekerasan Seksual Palsu

Kehidupan perempuan dibangun sedemikian rupa yang dapat dimodifikasi dan dijadikan objek seksual karena ruang geraknya dibatasi. Itulah mengapa, perempuan harus bersuara mengenai kehidupannya. Tidak boleh dilarang dan dikuasai.

Bila terus demikian, bukan tidak mungkin “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang diperjuangkan R.A. Kartini hanya menjadi sebuah wacana saja.

Dengarkan informasi dan cerita kesehatan mental lainnya hanya melalui siniar Anyaman Jiwa di Spotify. Di sana, ada banyak cerita dari teman-teman yang mempunyai masalah hidup serupa sehingga kita tak akan merasa sendiri.

Ikuti juga siniarnya agar kalian tak tertinggal tiap ada episode terbaru yang tayang tiap Rabu dan Jumat!

 

Penulis: Zen Wisa Sartre dan Ikko Anata

Penulis : Ristiana D Putri Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV


TERBARU