Jebakan Banjir Rob, Sumur Air Tanah, dan Kerusakan Lingkungan
Berita daerah | 31 Desember 2021, 22:01 WIBEksploitasi air tanah pun terjadi selama bertahun-tahun hingga penurunan tanah hingga banjir rob tak terhindarkan.
Baca Juga: ITB: 112 Kabupaten/Kota di Indonesia Berpotensi Tenggelam
Kerusakan Lingkungan
Masalah akibat eksploitasi air tanah ini belum mempertimbangkan faktor-faktor lain penyebab banjir dan rob di Kota Pekalongan. Perlu diketahui, bentang alam Kota Pekalongan yang datar di pesisir juga memicu banjir.
Di sisi lain, tata guna lahan di Kabupaten Pekalongan pun berdampak pada Kota Pekalongan. Kota Pekalongan hampir tidak memiliki dataran tinggi.
Dataran tinggi lebih banyak berada di Kabupaten Pekalongan. Namun, sebagian besar Kabupaten Pekalongan didominasi lahan sawah padi atau palawija.
“Nilai limpasan permukaan pada lahan ini lebih tinggi dibandingkan hutan. Kondisi ini tidak hanya akan mengakibatkan peningkatan potensi banjir di wilayah tengah dan hilir pada saat terjadi hujan ekstrim, tetapi juga menurunkan jumlah air yang terinfiltrasi menjadi cadangan air tanah,” jelas tim Zurich Flood Resistance Alliance.
Tak cuma itu, masalah infrastuktur soal kualitas drainase juga masih tersisa. Perlu diketahui, ada 53 saluran drainase, termasuk 11 sungai di Kota Pekalongan.
Seluruh drainase itu memiliki panjang total 31.715 meter pada 2020. Namun, Pemkot Pekalongan mencatat, hanya 58,9 persen drainase yang berfungsi baik.
Sepanjang 7.534 meter drainase kota sudah dalam kondisi rusak dan 8.894 meter rusak sebagian.
Kerusakan lingkungan, pencemaran, dan tata guna lahan di daerah hulu sungai ini tentu bukan masalah ringan.
Kepala DLH Kota Pekalongan Joko Purnomo menyoroti hal ini sebagai masalah lintas kabupaten/kota.
“Untuk pencemaran di Kota Pekalongan ini memang tidak serta-merta berasal dari kota. Karena wilayah sungai dan wilayah irigasi itu semua dari area Batang dan Kabupaten Pekalongan,” kata Joko.
“Memang perlu kerja bareng antar kabupaten/kota untuk pencemaran air atau limbah di Kota Pekalongan ini, tidak bisa bekerja sendiri karena juga hulunya ada di kabupaten sekitar,” tambahnya.
Di Kota Pekalongan sendiri, pengelolaan limbah masih menjadi masalah. Kota Pekalongan hanya memiliki 6 Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL). Ada pula IPAL Bersama, IPAL milik industri besar dan IPAL industri kecil.
Namun, sebuah IPAL tidak beroperasi optimal karena sudah tua. IPAL itu terletak di Jenggot, lokasi sama yang mengalami banjir berwarna merah pada Februari 2021.
Data DLH Kota Pekalongan menunjukkan, seluruh IPAL itu mampu mengolah total 2.606 m3. Sementara, volume limbah cair di Kota Pekalongan mencapai 5.190 m3, 960 m3 limbah cair B3, 1.818,96 m3 limbah padat B3.
Itu artinya, hanya sekitar sepertiga limbah itu yang dapat diolah di seluruh IPAL yang ada saat ini.
“Kita kekurangan IPAL. Kita punya banyak kawasan batik yang belum ada IPAL, seperti di Medono, Pasirsari, Pabean, Tirto. Di Jenggot pun IPAL-nya sudah lama dan perlu revitalisasi. Karena Jenggot itu area industri rumahan yang lumayan memproduksi banyak limbah,” kata Joko.
Untuk mengelola limbah dan pencemaran di sungai daerah Pekalongan, Pemkot mesti mencari anggaran dari Pemprov Jateng atau bahkan Pemerintah Pusat.
Baca Juga: Peringatkan Sumur Air Tanah Berpotensi Bikin Pantura Tenggelam, Peneliti: Ganti dengan Pipa PDAM
“Keterbatasan anggaran di Pemkot, sehingga memang belum bisa menganggarkan (untuk IPAL),” ujar Joko.
Bagaimanapun, limbah yang ada saat ini terus menimbulkan masalah. Limbah ini dapat mencemari air tanah hingga menyebabkan penyakit kulit.
Kerugian Ekonomi dan Kesehatan
Sebuah skripsi berjudul “Estimasi Kerugian Ekonomi Akibat Industri Batik di Kelurahan Jenggot Kecamatan Pekalongan Selatan” karya Abdul Rasyid dan Hidayat Aceng dari IPB menyebut, limbah batik menyebabkan kerugian ekonomi senilai Rp986 ribu tiap KK per tahun.
Totalnya, limbah batik menyebabkan masyarakat mesti membayar biaya eksternal senilai Rp644 juta per tahunnya.
Tak cuma itu, ada pula dampak kesehatan jangka panjang dari air tanah yang tercemar limbah. Hal ini sempat pula diteliti oleh Kepala Dinas Kesehatan Kota Pekalongan Slamet Budiyanto.
Dalam penelitian itu, Slamet menemukan bahwa 61,4 persen dari 210 sumur sampel di Jenggot, Kota Pekalongan sudah tercemar logam berat jenis timbal (Pb) di atas standar baku air bersih.
“Asupan logam berat untuk tubuh manusia melalui minuman, makanan, atau tabung bronkial dapat menyebabkan masalah kesehatan serius. Paparan Pb dalam darah manusia dapat menyebabkan, antara lain, rendah hemoglobin (Hb) atau anemia, hipertensi, gangguan reproduksi, dan lain sebagainya,” tulis Slamet dalam disertasi yang dimuat di jurnal JPHTCR itu.
Akibatnya, masyarakat yang tak mampu mendapatkan akses PDAM berada dalam kondisi terjepit. Di satu sisi, mereka tak bisa mengonsumsi air sungai yang sudah sangat tercemar.
Sebagai gantinya, mereka lebih memilih menggunakan air tanah. Tetapi, air tanah pun telah tercemar dan penggunaannya dapat memicu rob hingga penyakit.
Penulis : Ahmad Zuhad Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Kompas TV