Ancaman Banjir Rob: Tahun 2030, 80 Persen Kota Pekalongan akan Berada di Bawah Laut
Berita daerah | 31 Desember 2021, 14:24 WIBPEKALONGAN, KOMPAS.TV - Banjir rob telah dua kali melanda Kota Pekalongan, Jawa Tengah pada tahun 2021 ini. Kini, banjir sudah mulai surut, tapi ancaman banjir rob masih mengintai daerah di Pantai Utara (Pantura) Pulau Jawa itu.
Sejak pertengahan November 2021, banjir rob melanda Kelurahan Degayu, Pekalongan Utara dan Pasirkratonkramat, Pekalongan Barat.
Salah satu korban banjir rob itu adalah Ghufron (48). Ghufron tinggal di Pasirsari, Kelurahan Pasirkratonkramat, Pekalongan Barat, Kota Pekalongan.
“Terakhir sebulan yang lalu. Kalau di ruang tamu saya, tinggi airnya 20cm. Di bagian rumah yang belum ditinggikan, airnya sampai 40cm. Kalau di Pasirsari sebelah barat, sampai 50 cm,” ujar Ghufron pada Kompas TV, beberapa waktu lalu.
Banjir di sekitar rumahnya dipicu melubernya air dari Sungai Bremi akibat air laut yang sedang pasang dan tingginya curah hujan.
Banjir ini tidak surut selama beberapa pekan di sekitar tempat tinggal Ghufron karena letaknya di daerah cekungan.
“Tanggul jebol di sungai sebelah barat. Sudah ditutup. Lalu banjir rob yang sekarang besar sekali sampai melewati tembok sungai,” tuturnya.
Banjir serupa juga mampir ke rumah Ghufron pada Februari 2021 silam. Saat itu, banjir bahkan menggenangi 16 kelurahan di Kota Pekalongan, lebih luas dari banjir pada November lalu.
Pada Februari 2020, jumlah wilayah yang dilanda banjir mencapai 25 kelurahan dari total 27 kelurahan di Kota Pekalongan.
Fakta itu tak bisa lepas dari potensi “tenggelamnya” Kota Pekalongan sesuai proyeksi tim peneliti dari Institut Teknologi Bandung (ITB).
Baca Juga: ITB: 112 Kabupaten/Kota di Indonesia Berpotensi Tenggelam
Peneliti Geodesi ITB Heri Andreas menyebut, Kota Pekalongan menjadi salah satu dari 112 kabupaten/kota yang terancam tenggelam pada 2030.
“Sebagai informasi 112 kabupaten/kota punya potensi tenggelam, nggak cuma Jakarta saja. Saat ini kita mesti lebih khawatir dengan beberapa wilayah Pantura, Jawa Tengah, tepatnya di Pekalongan, Semarang, dan Demak,” ujar Heri pada 4 Agustus 2021.
Kepada Kompas TV, Heri Andreas menjelaskan bahwa penurunan muka tanah adalah salah satu penyebab Kota Pekalongan “tenggelam” pada 2030.
Kecepatan penurunan muka tanah di Kota Pekalongan bahkan kini melebihi penurunan tanah di Jakarta yang telah berkurang.
Berdasarkan pantauan timnya, saat ini tanah di Pekalongan turun sebesar 15-20 cm/tahun, salah satu yang tertinggi di Pantura, termasuk Semarang dan Demak.
Sementara kajian tim Zurich Flood Resilience Alliance yang melibatkan IPB dan Undip menemukan, rata-rata penurunan tanah di Kota Pekalongan adalah 16,5 cm per tahun.
Saat ini, daerah yang paling rentan terkena banjir rob adalah wilayah Kecamatan Pekalongan Utara. Akan tetapi, penurunan muka tanah tertinggi justru terjadi di daerah Pekalongan Barat dan Pekalongan Selatan.
Tiga kelurahan yang paling cepat mengalami penurunan tanah hingga 34,5 cm per tahun adalah Kelurahan Tirto, Jenggot dan Buaran Kradenan. Ketiganya terletak berbatasan dengan Kabupaten Pekalongan.
“Kita tahu wilayah Pekalongan kan pesisir dan dataran rendah. Kalau dataran rendah dan tanahnya terus turun, suatu saat akan ada di bawah laut,” jelas Heri pada akhir November 2021.
Ia mewanti-wanti bahwa hampir setengah Kota Pekalongan kini sudah berada di bawah permukaan laut. Ini sesuai data dari Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Pekalongan.
Pada 2020, banjir dan rob di Kota Pekalongan menggenangi areal seluas 1.730 hektare. Luas genangan banjir dan rob itu setara 38,23 persen luas total wilayah Kota Pekalongan, yaitu 4.525 hektare.
“Sekarang saja sudah lebih dari 40 persen wilayah pesisir Pekalongan itu di bawah laut. Otomatis kalau ada ombak pasang tinggi, terjadi banjir rob. Diproyeksikan di 2030, bisa sampai 80 persen wilayah kota Pekalongan berada di bawah laut,” kata Heri.
Tenggelam adalah skenario terburuk bagi Kota Pekalongan. Heri menyebut, sudah ada beberapa daerah di Kota Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan yang menjadi bukti dari skenario itu.
Di Dusun Simonet, Kecamatan Wonokerto, Kabupaten Pekalongan, rumah-rumah sudah terendam secara permanen. Fenomena serupa juga terjadi di Kelurahan Bandengan, Kota Pekalongan.
“Ada beberapa daerah yang berada satu km di tengah laut. Sudah dilakukan evakuasi. Atap bangunannya dibongkar dan wilayahnya sudah jadi laut. Sekitar satu meter di bawah laut, ada sisa-sisa pondasi rumah,” beber Heri.
Baca Juga: Peringatkan Sumur Air Tanah Berpotensi Bikin Pantura Tenggelam, Peneliti: Ganti dengan Pipa PDAM
Eksploitasi Air Tanah
“Kira-kira 15 tahun sudah merasakan. Setelah ada pemanasan global, dampaknya itu (banjir),” kata Ghufron.
Pernyataan serupa juga dilontarkan Heri Andreas. Hal ini sesuai dengan penelitian timnya yang telah memantau penurunan muka tanah di Pantura sejak tahun 2000.
Ia menyebut banjir rob mulai kerap menyambangi Pekalongan sejak pertengahan dekade awal 2000, ketika terjadi penurunan tanah di wilayah pesisir kota itu.
“Kalau di tahun 2000-an, relatif wilayah Pantura dan Pekalongan masih di atas laut. Pada 2005, mulai ada yang di bawah laut sampai sekarang. Karena tanah terus turun dan turun, (pesisir Pekalongan) jadi di bawah laut dan banjir rob,” ujarnya.
Namun, banjir rob ini tidak begitu saja terjadi akibat faktor alamiah. Pemanasan global dan krisis iklim memang menyebabkan kenaikan permukaan air laut, tetapi hal itu bukanlah faktor utama.
“Kalau air laut naik 6 mm/tahun atau kecil, tidak sampai 1 cm. Puluhan kali lipat lebih cepat penurunan tanah yang mencapai 15-20 cm/tahun dibanding kenaikan air laut,” beber Heri.
Perilaku manusialah yang menjadi penyebab terbesar penurunan tanah dan banjir rob di Kota Pekalongan.
Menurut Heri, ada beberapa penyebab penurunan tanah biasanya terjadi. Tanah bisa turun secara alami akibat kompaksi alamiah atau pergerakan tektonik.
Pembangunan gedung-gedung bertingkat juga dapat membebani tanah hingga mengalami penurunan. Selain itu, eksploitasi air tanah menjadi faktor terakhir yang mungkin membuat tanah turun.
Heri mengaku timnya telah menggali penyebab terbesar fenomena penurunan tanah di Kota Pekalongan itu. Ia memiliki kesimpulan sementara bahwa eksploitasi air tanah adalah penyebab utama penurunan tanah di Kota Batik itu.
“Kalau bangunan tinggi yang membebani tanah, tidak ada di Pekalongan. Eksploitasi air tanah kalau dari pemodelan kita, efeknya besar atau dominan bisa sampai 80 persen,” kata Heri.
Akibat eksploitasi lewat sumur-sumur bor itu, permukaan air di dalam tanah Kota Pekalongan juga mengalami penurunan signifikan berdasarkan pantauan tim ESDM Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.
Pemantauan dilakukan di Kelurahan Kergon, Pekalongan Barat di mana permukaan air tanah turun dari -49,16 meter pada Februari 2021 menjadi -50,62 pada November 2021.
Itu artinya, permukaan air tanah turun hingga 1,36 meter dalam waktu 9 bulan.
Kerugian dan Biaya Akibat Rob
Heri Andreas menyebut, kerugian ekonomi akibat banjir rob di Pekalongan saja akan mencapai puluhan triliun rupiah.
“Itu hitungan ekonomi dampak langsung banjir rob, seperti luas wilayah yang tergenang, berapa rumah yang terdampak, lalu konsekuensi untuk meninggikan jalan, membuat tanggul,” kata Heri.
Zurich Flood Resilience Alliance menyebut, banjir rob dapat berdampak pada sektor pertanian, kehutanan dan perikanan.
Sementara, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Pekalongan di sektor itu adalah Rp353,19 miliar pada 2020.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Pekalongan dari Pemerintah Kota (Pemkot) menyatakan bahwa banjir rob menjadi salah satu penyebab penyerapan tenaga kerja di sektor industri tidak optimal.
Perlu diketahui, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Kota Pekalongan pada 2020 ada di angka 7,02 persen atau meningkat 1,25 poin.
“Beberapa musibah seperti kebakaran Pasar Banjarsari dan bencana banjir rob yang menggenangi wilayah industri di Kota Pekalongan juga mengurangi penyerapan tenaga kerja di sektor industri,” tulis Pemkot Pekalongan.
Heri sendiri memperkirakan, bila banjir rob benar-benar merendam permanen berbagai wilayah Pekalongan, Pemkot membutuhkan anggaran relokasi hingga Rp16 triliun.
Kerugian ekonomi ini belum menghitung anggaran penanganan banjir rob yang sudah dan akan digunakan.
“Pekalongan saja beberapa tahun lalu anggaran untuk tanggul itu di angka Rp500 miliar. Kemudian, tahun ini dan tahun depan ada anggaran Rp1,2 triliun untuk pembuatan tanggul, itu belum menghitung peninggian jalan, rumah-rumah,” kata Heri.
Anggaran pembuatan tanggul itu berasal dari APBD Jawa Tengah lewat Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali Juana dan APBN.
Muhammad Adek Rizaldi, Kepala BBWS Pemali Juana mengatakan, pihaknya akan memfasilitasi pembangunan tanggul di Sungai Lodji, Sungai Banger, dan Sungai Gabus Pekalongan.
BBWS Pemali Juana menyiapkan anggaran Rp1,24 triliun untuk pembangunan selama 2021-2023.
Sementara, Pemerintah Pusat sendiri lewat Perpres 79 tahun 2019 memberikan dana Rp1,55 triliun untuk pengendalian banjir di Sungai Lodji dan Sungai Sengkarang.
Tanggul-tanggul di sungai itu adalah infrastruktur pelengkap bagi tanggul di bibir pantai Kota Pekalongan yang telah dibangun sejak 2015, tetapi tidak kuat menahan gelombang laut.
Banyaknya anggaran untuk penanggulangan banjir ini belum menghitung alokasi dari Pemerintah Kota Pekalongan sendiri.
Pada 2021 saja, Pemkot Pekalongan menyiapkan anggaran Rp26,2 miliar untuk menangani banjir.
Anggaran itu disiapkan untuk pembangunan kolam penampung air hujan (kolam retensi), penambahan stasiun pompa air, perbaikan tanggul dan rehabilitasi drainase.
Akan tetapi, seluruh biaya dan kerugian ekonomi itu akan terus bertambah, bila akar masalah penurunan tanah di Pekalongan tak juga diselesaikan.
Baca Juga: Cuaca Malam Tahun Baru, BMKG: 17 Wilayah di Indonesia akan Diguyur Hujan
Penulis : Ahmad Zuhad Editor : Edy-A.-Putra
Sumber : Kompas TV