Kisah Rio Martil, Jagal Sadis Bermartil Dua
Kriminal | 31 Oktober 2021, 09:56 WIBAksi berikutnya di Semarang, menginap di Hotel Adem Ayem, lalu menyikat mobil Panther berwarna abu-abu dan membunuh sopirnya.
Baca Juga: Kelanjutan Pembantaian GaJah secara Sadis di Aceh, Lima Terdakwa Dituntut Pasal Berlapis
Kemudian di Surabaya ia menginap di Hotel Mirama dan membawa kabur sedan Mercy berwarna putih, lagi-lagi sopirnya ditemukan tewas.
Kemudian beraksi di Yogyakarta, dengan menginap di Hotel Ibis. Tapi aksi pembunuhannya gagal gara-gara saat hendak memukul, gagang martilnya terlepas.
Sopirnya hanya terluka lalu kabur sambil kesakitan. Konon peristiwa itulah yang membuat Rio selalu membawa dua martil, satu buat cadangan sekaligus alat keduanya.
Berdasar bukti-bukti itu, 14 Mei 2001, Rio divonis mati. Mendengar keputusan hakim, ia mengaku pasrah. "Saya bersyukur karena tidak mati saat sedang melakukan kejahatan. Tetapi mati dalam hukuman, mati dalam bertobat," katanya kepada para wartawan sesaat setelah vonis dijatuhkan.
Rio menjalani hukumannya di LP Kedungpane, Semarang, sebelum akhirnya dipindahkan ke LP Permisan di Pulau Nusakambangan.
Di LP yang terletak di di sebuah di selatan Cilacap ini terkenal sebagai tempatpara narapidana yang menjalani hukuman berat atau hukuman mati.
Di sinilah Rio bersahabat dengan Iwan Zulkamain, bekas pegawai PT. Pos Indonesia terpidana kasus korupsi bilyet giro setoran pajak PT. Semen Tonasa senilai Rp42 miliar yang divonis 16 tahun di penjara.
Iwan pula yang menuntun Rio belajar membaca Alquran. Hidup di penjara memang membuat Rio banyak beribadah. Kitab suci Alquran dimilikinya beberapa buah, selain ada pula buku-buku keagamaan lain. Kabarnya, ia tidak pernah lupa menjalankan salat wajib, termasuk salat malam.
Namun ketenangan itu tak berlangsung lama. LP gempar setelah pada 2 Mei 2005, Iwan ditemukan tewas di kamar mandi sel. Kondisinya sungguh mengenaskan. Tulang tengkorak retak dan kulit kepala sobek sepanjang 5 cm, lebar 0,5 cm.
Di dinding dekat tempatnya jatuh bersimbah darah, ada noda-noda percikan darah. Tampak Iwan mati dibunuh seseorang dengan cara dibenturkan ke dinding. Tudingan langsung mengarah kepada Rio, karena saat itu sel hanya dihuni tiga orang.
Awalnya Rio berkelit. Polisi sampai harus merencanakan tes mendalam terhadap noda-noda darah di sarung milik Rio. Tapi dengan sejumlah pendekatan, akhirnya ia mengaku telah membunuh Iwan lantaran kesal.
Pada malam kejadian, sekitar pukul 21.30, Rio memanggil Iwan untuk mengajarinya mengaji. Tapi acara itu harus terganggu karena hujan membuat atap bocor dan airnya menggenangi lantai.
Iwan lalu mengepel lantai, sementara Rio hanya duduk-duduk saja di dipan. Saat itulah Iwan sempat mengucapkan kata-kata yang menyinggung perasaan Rio. Kata Iwan, Rio boleh saja ditakuti di luar, tapi di dalam LP tidak punya jalu.
Merasa tersinggung, Rio langsung menyerang. Iwan dibekap dengan sarung, mulutnya disumpal kain. Kepalanya dibenturkan ke dinding berkali-kali. Suasana sel sempat gaduh, tapi petugas saat itu mengaku tidak mendengarnya lantaran hujan turun sangat deras.
Sempurna sudah kejahatan Rio Martil. Maka pada 1 April 2008, setelah surat penolakan PK dari MA diterima Kejaksaan Negeri Purwokerto, dia dibawa ke hadapan regu tembak.
Tak banyak komentar yang keluar dari mulutnya. Jelang eksekusi, keluarga kecilnya berkumpul. Kesempatan itu pun terjadi untuk memenuhi satu dari tiga permintaan terakhir Rio.
Sesaat setelah eksekusi, sejumlah media massa sempat memberitakan penolakan sebagian warga di Kelurahan Berkoh, Purwokerto, jika Rio dimakamkan di wilayah mereka.
Tapi akhinya Kejaksaan berhasil mendapatkan tempat di TPU Sipoh, Desa Kejawar, Kecamatan Banyumas, di blok makam orang-orang tak dikenal.
Penulis : Iman-Firdaus
Sumber : Kompas TV