Muncul Isu Rivalitas PMII-HMI Menuju Ketum PBNU, Aktivis NU Nilai Sudah Tidak Relevan
Agama | 14 Oktober 2021, 17:09 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Muncul isu rivalitas antara dua organisasi kemahasiswaan berbasis Islam dalam perebutan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang akan digelar dalam Muktamar NU akhir tahun 2021 di Bandar Lampung. Dua organisasi itu adalah PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Isu dipicu oleh desas-desus di kalangan para aktivis NU dan merembet ke media sosial tentang latarbelakang para calon yang diisukan maju sebagai ketum PBNU. Sebagaimana amatan KOMPAS TV, isu ini kembali ramai setelah KH Imam Jazuli menulis tentang rivalitas dua organisasi itu di muktamar NU di Tribunnews.
Terkait rivalitas HMI-PMII ini, Sekretaris Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCI NU) Inggris, Munawir Aziz, menilai pembelahan antar dua organisasi itu sudah tidak lagi relevan. Apalagi dibawa dalam muktamar dan dikaitkan dengan para calon ketum PBNU.
“Pembelahan Isu HMI-PMII itu tidak relevan lagi untuk NU di masa depan. Kenapa? Karena tugas kita (NU-red) saat ini besar,” kata Munawir Aziz kepada KOMPAS TV melalui pesan daring, Kamis (14/10/21).
Baca Juga: Soal Potensi Rivalitas Menuju Ketum PBNU, Pengamat: NU bukan Organisasi Politik atau Parpol
Penulis buku Bapak Tionghoa Nusantara (Gramedia, 2017) itu juga menjelaskan pelbagai tantangan di NU yang lebih relevan dibanding perkara kader PMII-HMI dalam gelaran Muktamar. Salah satunya, adalah soal sumber daya NU di jaringan internasional yang saat ini sedang diinisiasi dan masih kurang.
“Contoh di luar negeri, PCINU jaringannya sudah 40 negara. Di negara itu misalnya Inggris atau beberapa negara Eropa, NU ditunggu untuk perannya dalam peran dakwah di negera-negara itu,” ucapnya.
Munawir saat ini tinggal di Inggris dan ia menceritakan, ia berjumpa secara khusus dengan mantan Dubes Inggris untuk Indonesia, Moazzam Malik, yang meminta para kader NU di negeri sepakbola itu ikut menyebarkan Islam damai di sana.
“Di negara-negara Eropa pun sama. Tapi rasanya masih kurang,” katanya.
Lebih lanjut, alumnus pascasarjana Universitas Gadjah Mada ini mengisahkan, bagi para kader NU di luar negeri ini dibutuhkan sistem dan kepemimpinan dari pengurus pusat di PBNU untuk mengatur peluang dakwah ini.
Penulis : Dedik Priyanto Editor : Desy-Afrianti
Sumber : Kompas TV