Sejarawan Yogyakarta Berkumpul demi Kembalikan Warisan dan Nilai Sejarah
Sosial | 12 April 2021, 13:49 WIBBaca Juga: Polemik Nobar Film G30S PKI, Sejarawan: Harusnya yang Dikhawatirkan Bangkitnya Orde Baru
Salah satu temuan yang didapatkannya dari mempelajari naskah-naskah kuno adalah pada masa lampau situs-situs kerajaan terletak di sisi utara. Sementara di selatan atau yang sekarang wilayah Yogyakarta ini dulunya disebut sebagai Sapta Sendawa.
Sapta artinya tujuh dan sendawa dari asal kata "sindu" yang artinya sungai. Jadi Yogyakarta dialiri tujuh sungai mulai dari Progo, Bedog, Winongo, Code, Gajah Wong, Kuning, dan Opak.
Ketujuh sungai ini pada masa kuno berfungsi sebagai maritim sungai dengan berbagai fungsi. Di sepanjang aliran tujuh sungai ini terdapat banyak asrama tempat kaum Brahmana melelahkan diri.
Yogyakarta dipilih karena tempat ini bukan wilayah kosong melainkan telah dihuni oleh kaum Brahmana yang secara turun temurun melahirkan tradisi peradaban luhur.
“Inilah salah satu unsur penting yang membuat Yogyakarta memiliki banyak nilai keistimewaan, dan bukan kebetulan jika dikemudian waktu di wilayah Yogyakarta saat ini berkembang pusat-pusat pendidikan dan dikenal orang sebagai tempat untuk belajar," kata Romo Manu.
Sejarawan muda Aan Ratmanto menekankan pentingnya pelurusan sejarah Indonesia khususnya pada 1945 hingga 1950. Pada masa itu, Sultan HB IX memegang peran sentral bagi keberlangsungan NKRI.
Dari arsip-arsip sejarah ditemukan fakta menarik, Presiden Soekarno, yang waktu itu sedang dalam masa pembuangan, memberikan mandat kuasa penuh kepada Sultan HB IX untuk menjalankan roda pemerintahan transisi pada periode 1 Mei hingga 30 Juli 1949.
Ibu kota Republik Indonesia waktu itu berada di Yogyakarta.
Baca Juga: Sejarawan Terus Desak Ridwan Kamil Buru Penjual Surat Nikah dan Cerai Soekarno-Inggit
Pada malam hari 30 Juni 1949 melalui siaran RRI, Sultan HB IX menyatakan Proklamasi kemerdekaan RI untuk yang kedua kalinya.
"Sayangnya fakta sejarah menarik ini belum masuk dalam materi pembelajaran sejarah di sekolah-sekolah bahkan kampus-kampus,” kata Aan.
Bahkan diorama di Monumen Yogya Kembali sekali pun tidak ada yang mengilustrasikan peran penting Sultan HB IX.
Widihasto Wasana Putra sebagai penggagas Jas Merah, mengajak sejarawan untuk menaruh kepedulian dan bergerak bersama-sama menjaga keberlangsungan Indonesia sebagai bangsa besar lewat beragam topik dan kajian kesejarahan.
Penulis : Switzy Sabandar Editor : Iman-Firdaus
Sumber : Kompas TV