> >

Beda Pendapat 3 Mahasiswa di Semarang tentang Kebijakan Tidak Wajib Skripsi

Kampus | 1 September 2023, 16:37 WIB
Ilustrasi mahasiswa. (Sumber: Photo by KOBU Agency on Unsplash)

SEMARANG, KOMPAS.TV -  Sejumlah mahasiswa di Kota Semarang, Jawa Tengah berbeda pendapat mengenai kebijakan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikburistek), Nadiem Makarim,  tentang tidak wajibnya mahasiswa mengerjakan skripsi.

Seorang mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes) Jurusan Pendidikan IPS angkatan 2019, Khumaeroh, mengaku tidak setuju dengan kebijakan tersebut.

Khume, sapaan  akrabnya, berpendapat skripsi merupakan salah satu bentuk bukti pencapaian mahasiswa selama menimba ilmu di perguruan tinggi, terlebih jurusan pendidikan seperti dirinya.

"Itu jadi bukti bahwa mahasiswa mampu menerapkan ilmunya ke lingkungan yang nyata baik itu sekolah, budaya, masyarakat, maupun instansi yang sesuai dengan ilmu yang diajarkan. Meski skripsi bisa diganti proyek, tapi menurutku tetap beda," ucap Khume kepada Kompas.com, Kamis (31/8/2023).

Baca Juga: Kemendikbud Tak Wajibkan Skripsi Bagi S1, Sudah Tepat? Ini Tanggapan Pengamat

Ia juga menyebut bahwa  skripsi merupakan  cerminan hasil belajar para mahasiswa selama menimba ilmu di perguruan tinggi.

Dengan mengerjakan skripsi, lanjut dia, mahasiswa mampu menelaah masalah hingga mencetuskan solusi.

"Sebetulnya masih pro kontra banget ya soalnya belum berjalan juga. Kalau dari padanganku sih kebijakan ini jadi kurang worth it buat kedepan," tutur dia.

Khume juga menilai bahwa skripsi dan kemampuan ialah seperti hardware dan software yang ada di perangkat laptop. Dua hal tersebut berbeda, namun saling berkesinambungan.

"Menurutku pasal skripsi dan kemampuan itu sudah hal yang beda, tapi keduanya bisa dikolaborasikan. Karena skill kita di dunia kerja ya tetap butuh landasan.”

“Selagi ada ilmunya, mendingan digabungin biar lebih jelas dan kita bisa mengira-ngira," ujar mahasiswa semester 9 itu.

Sementara, seorang mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Mukhlis, mengaku sangat setuju dengan kebijakan tak wajib skripsi sebagai syarat kelulusan.

Menurut dia, skripsi bukan hal mendesak yang dibutuhkan masyarakat saat ini.

Daripada harus mengerjakan skripsi, kata Mukhlis, ia lebih memilih untuk membuat sebuah produk karya yang dapat diimplementasikan kepada masyarakat sekitar.

"Kalau misal kita bisa bikin produk karya, nantinya bisa langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Jadinya lebih bagus dan worth it," tutur mahasiswa Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) angkatan 2019 itu.

Tugas lain pengganti selain skripsi, menurut dia justru memudahkan mahasiswa untuk lebih cepat lulus dan menemukan jati diri melalui kemampuan atau skill yang didalami selama kuliah.

"Kita juga harus punya power atau kemampuan yang berguna, bermanfaat di dunia pekerjaan," imbuh dia.

Hal berbeda disampaikan oleh, mahasiswa Universitas Diponegoro (Undip) Jurusan Sastra Indonesia, Chintya Agnesty.

Ia berpendapat, ada sisi dua sisi yang harus dilihat dalam aturan baru Mendikbutristek tersebut.

Menurut Chintya,  menyelesaikan skripsi tidak sebanding dengan perjuangan belajar di kampus selama kurang lebih empat tahun.

Bahkan, banyak kasus Drop Out (DO) yang terjadi kepada mahasiswa akibat tidak bisa menyelesaikan skripsi, yang nota bene  tidak semua mahasiswa memiliki passion untuk mengerjakannya.

"Ternyata tidak semua orang memiliki passion untuk menjadi akademisi, peneliti, dan penulis ilmiah yang penuh dengan teori. Selain itu, adanya skripsi itu jadi batasan mahasiswa untuk berkarya," ucap Chintya.

Ia menambahkan, dirinya yang merupakan mahasiswa angkatan 2019  telah merasakan perubahan kurikulum secara berkala.

"Jadi, untuk apa dong kurikulum dan cara belajar kita ini diubah-ubah terus, tapi pada akhirnya skripsi jadi satu-satunya yang menentukan kelulusan," ucap dia.

Meski begitu, Chintya mengakui bahwa skripsi merupakan hal penting bagi orang yang memiliki ketertarikan di bidang kepenlelitian.

Baca Juga: Dosen UM Surabaya Sebut Aturan Skripsi Tak Wajib untuk S1 Baik asal 5 Hal Ini Terlaksana

Sebab,  mereka akan lebih banyak membaca, menelaah, dan mencetuskan masalah dalam bidang kepenelitian.

"Ini lebih mengarah ke orangnya sih passionnya ke arah mana, tidak bisa disamaratakan semua. Karena kita tau semua orang punya passionnya masing-masing," ucap dia.

Kesimpulannya, kata dia, kebijakan tidak wajibnya skripsi memang perlu diterapkan. Dengan catatan, disesuaikan menurut passion dan kemampuan yang dimiliki masing-masing mahasiswa.

"Misal hanya ditentukan dengan penilaian skripsi, itu juga tidak bisa. Karena balik lagi, ternyata masing-masing dari kita tidak semua passion loh untuk ngerjain skripsi. Jadi kebijakan ini harus bisa dipilih," urainya.

Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas.com


TERBARU