Kisah Nadia Nadim: Dulu Ayahnya Dibunuh Taliban, Kini Jadi Pesepakbola Top dan Seorang Dokter
Kompas sport | 18 Januari 2022, 05:17 WIBAARHUS, KOMPAS.TV - Pesepakbola Timnas Putri Denmark, Nadia Nadim kini mendapatkan gelar baru. Per 14 Januari 2022, ia resmi lulus dari Universitas Aarhus dan kini bergelar dokter.
Pendidikan dokter tersebut ditempuh Nadia kendati ia disibukkan keseharian sebagai pesepakbola profesional. Striker berusia 34 tahun ini bermain untuk klub Amerika Serikat, Racing Louisville FC sejak Juni 2021.
Nadia Nadim sendiri sudah lama dikenal sebagai salah satu pesepakbola perempuan top di Eropa. Ia sempat memperkuat Manchester City dan Paris Saint-Germain, meraih titel Liga Prancis pada 2020/21.
Di tingkat internasional, Nadia telah menorehkan 99 caps dan 38 gol bagi Timnas Denmark. Ia membantu negara itu mencapai final Piala Eropa Wanita 2017.
Baca Juga: Akhirnya, Taliban Berjanji Izinkan Perempuan Afghanistan Bisa Sekolah pada Akhir Maret
Di luar lapangan, persona Nadia pun amat berpengaruh. Pada 2019, UNESCO menobatkannya sebagai jagoan pembela pendidikan perempuan.
Untuk mencapai semua itu, Nadia mesti melalui perjalanan pahit sejak 2000, ketika ayahnya dieksekusi rezim Taliban.
Kisah Nadia Nadim: Kabur dari Taliban hingga 'kesasar' di Denmark
Nadia Nadim lahir di Herat, Afghanistan pada 2 Januari 1988. Ia berasal dari keluarga militer dengan empat saudari.
Ayah Nadia adalah seorang jenderal Angkatan Bersenjata Afghanistan. Ketika Taliban menguasai negara itu pada 1996-2001, sang ayah ditangkap kemudian dieksekusi pada 2000.
Keluarganya kemudian memutuskan untuk meninggalkan Afghanistan. Mereka hendak bermigrasi ke Inggris.
“Keluargaku memutuskan untuk melarikan diri dari Afghanistan, karena itu bukanlah tempat aman bagi keluarga dengan enam perempuan,” kata Nadia dalam situs web pribadinya.
Baca Juga: Cerita Pengungsi Afghanistan Berjuang di Tengah Musim Dingin: Sulit Hangatkan Diri & Kelaparan
Keluarga Nadia berhasil sampai ke Italia melalui Pakistan. Mereka menumpang truk dengan harapan sampai ke London, ibu kota Inggris.
Nadia dan keluarga naik truk selama beberapa hari. Ia berharap, seturunnya dari truk, pemandangan Big Ben akan menyambutnya.
Akan tetapi, mereka cuma melihat pepohonan ketika turun. Curiga, mereka pun menanyai orang lewat dan tahu bahwa itu bukanlah London.
“Kami menanyai pejalan kaki dan sadar bahwa truk itu menurunkan kami di Denmark, sebuah negara kecil di utara Eropa, yang kini aku rujuk sebagai rumah,” tulis Nadia.
Di rumah barunya, Nadia bisa melakoni hobi bermain sepakbola. Ia kemudian gabung klub lokal Gug Boldklub.
Di Denmark, ia sempat bermain untuk B52 Aalborg, Team Viborg, IK Skovbakken, dan Fortuna Hjorring.
Pada 2014, Nadia mengadu nasib di Amerika Serikat. Ia gabung dengan Sky Blue FC. Pada 2016/17, ia pindah ke Portland Thorns FC.
Nadia kembali ke Eropa pada 2018. Kali ini ia hijrah ke Manchester City dan mengantar klubnya menjadi runner-up FA Women's Super League.
Baca Juga: Profil Miftah Anwar Sani, Pesepakbola Indonesia Pertama yang Main di Tim Kasta Teratas Liga Bosnia
Pada 2019, Nadia pindah ke Paris Saint-Germain. Selama satu setengah musim, ia merengkuh gelar liga dan mencetak 18 gol bagi klub ibu kota Prancis tersebut.
Pengalaman berpindah-pindah negara, baik karena karier atau mengungsi, membuat Nadia menguasai sembilan bahasa.
Ia juga vokal dalam hal hak-hak perempuan. Pada 2018, ia bersama rekan-rekannya di Timnas Denmark menolak memainkan partai persahabatan lawan Belanda untuk memprotes upah dan kondisi kerja pesepakbola perempuan.
Begitu pensiun dari sepakbola, Nadia berniat menjadi dokter bedah. Pada 2020, ia sempat berpraktik membantu operasi pembedahan.
Pada usia 34 tahun, cukup senior bagi pesepakbola, dan keberhasilannya menyelesaikan studi di Aarhus, Nadia agaknya akan mewujudkan impian itu tak lama kemudian.
“Aku punya satu tujuan dalam hidup, yakni menjadi yang terbaik, dalam apa pun yang aku lakukan,” katanya.
Baca Juga: Mantan Tentara Perempuan Afghanistan Ketakutan di Bawah Taliban: Kami Tak Punya Masa Depan
Penulis : Ikhsan Abdul Hakim Editor : Desy-Afrianti
Sumber : Kompas TV