Ir Soeratin Soesrosoegondo, Pahlawan Nasional Sepak Bola Indonesia
Kompas sport | 9 November 2021, 06:40 WIBSebagai pendiri, Soeratin kemudian menjadi ketua umum organisasi selama 11 tahun berturut-turut.
Baca Juga: Piala Dunia 2034, PSSI Susun Program dengan AFF
Jasa Soeratin
Kegiatannya mengurus PSSI membuat Soeratin memutuskan untuk keluar dari perusahaan Belanda tempat di mana ia bekerja dan mendirikan usaha sendiri.
Ketika masa Jepang menjajah Indonesia dan perang kemerdekaan meletus, kehidupan Soeratin menjadi amat sulit. Rumah yang ia huni bahkan pernah diobrak-abrik oleh Belanda.
Soeratin juga sempat aktif dalam Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan pangkat Letnan Kolonel.
Setelah penyerahan kedaulatan, ia menjadi salah seorang pimpinan Djawatan Kereta Api (DKA), cikal bakal PT Kereta Api Indonesia (Persero).
Soeratin meninggal tahun 1959 setelah menderita sakit dan tak mampu menebus obat akibat kemiskinan.
Rumahnya berukuran 4 x 6 meter di Jalan Lombok Bandung, hanya terbuat dari gedhek (dinding bambu). Tidak ada yang ditinggalkan kecuali organisasi yang ia cintai, PSSI.
Sepak bola yang jarang ditulis dalam sejarah Indonesia, sebetulnya juga terkait nasionalisme dan integrasi bangsa sebagaimana dikatakan Freek Colombijn (The Politics of Indonesian Football, Archipel 59, Paris, 2000):
"Football and society, or football and politics, are so interwoven that it would be possible to tell Indonesia s recent history of integration, nationalism, and modernization in terms of the development of football."
"Sepak bola dan masyarakat, atau sepak bola dan politik, begitu terjalin sehingga memungkinkan untuk menceritakan sejarah integrasi, nasionalisme, dan modernisasi Indonesia baru-baru ini dalam hal perkembangan sepak bola."
Dilansir dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), saat masa Hindia Belanda, klub sepak bola pertama didirikan tahun 1895 oleh John Edgar di Surabaya.
Di Padang, klub pertama yang dibentuk adalah Padangsche Voetbal Club tahun 1901.
Klub di Hindia Belanda waktu itu masih bersifat segregasi. Tiap kelompok ras memiliki klub sendiri yang juga bertanding sesama mereka (Eropa, Tionghoa, dan pribumi).
Para tahun 1921 di Padang ada liga yang menarik bayaran dari penonton (10 sen bagi pribumi, menonton sambil berdiri, 20 sen untuk "bukan pribumi ", dan 50 sen dapat kursi). Belum ada stadion permanen dengan tribun, melainkan tersebar di sekeliling lapangan dengan dipasang bambu.
Dalam konteks masa penjajahan, jasa Soeratin sangatlah banyak. Namun ada tiga hal yang membuatnya layak untuk disebut sebagai pahlawan nasional.
Pertama, ia berani menggunakan label Indonesia pada organisasi yang didirikan, bukan Hindia Belanda.
Kedua, pertandingan sepak bola yang rutin dan periodik dilakukan antarklub pribumi di antarkota merupakan realisasi Sumpah Pemuda 1928. Langkah tersebut sekaligus bagian proses penumbuhan integrasi nasional yang kemudian juga menjadi tujuan Pekan Olahraga Nasional (PON) yang digelar setelah Indonesia merdeka.
Ketiga, tujuan organisasi persepakbolaan yang digagas dan diwujudkan adalah mencapai kedudukan yang setara dengan orang Eropa (juga Tionghoa).
Dengan banyaknya jasa yang telah diberikan oleh Soeratin tak salah rasanya jika suatu saat ia diberi gelar pahlawan nasional.
Nantinya, pemberian gelar pahlawan nasional untuk Soeratin diharapkan bisa menjadi momentum guna membangkitkan kembali sepak bola di tanah air agar ke depannya bisa memberikan suatu prestasi yang membanggakan bagi Indonesia.
Baca Juga: 90 Tahun PSSI, Ketum Perjuangkan Soeratin Sosrosoegondo Jadi Pahlawan Nasional
Penulis : Rizky L Pratama Editor : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV/LIPI/Kompas