Mengenal Kawin Kontrak, Modus yang Digunakan dalam Wisata Seks Halal
Berita kompas tv | 16 Februari 2020, 18:05 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Bareskrim Polri membongkar praktek perdagangan orang (human trafficking) untuk prostitusi di daerah Puncak, Bogor, Jawa Barat, Jumat (14/2/2020).
Baca Juga: Modus Wisata Seks Halal: dari Short Time Hingga Kawin Kontrak
Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim, Brigjen Ferdy Sambo menyatakan, belakangan ini dunia prostitusi di daerah Puncak Bogor itu kini menjadi isu internasional.
Terutama setelah salah satu akun di youtube mempublikasinnya sebagai lokasi wisata “sex halal”.
Kata “halal” ini dimunculkan atas dasar klaim pelakunya bahwa pelanggan dan PSK (pekerja seks komersial) telah “dinikahkan” sebelum melakukan hubungan seks bebas.
Menurut Ferdy, dalam keterangan persnya, modus perdagangan orang yang dilakukan para tersangkanya itu salah satunya adalah dengan cara kawin kontrak.
Istilah kawin kontrak dalam bahasa arab adalah kawin mut`ah.
Secara bahasa, mut'ah mengandung arti barang yang sedikit atau barang yang menyenangkan.
Dalam konteks pernikahan, menurut Sayyid Sabiq dalam Fiqh as-Sunnah, nikah mut'ah juga disebut sebagai nikah al-muaqqat (kawin kontrak, dibatasi waktunya) dan nikah al-munqathi' (perkawinan yang terputus).
Mengapa terputus?
Karena pernikahan ini akan bubar dengan berakhirnya batas waktu yang telah ditentukan pada saat akad.
Waktunya bisa sehari, sepekan, sebulan, atau setahun.
Dalam sejarah awal Islam, mut'ah pernah diperbolehkan, meskipun pada akhirnya dilarang oleh Rasulullah SAW.
Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Saraf an-Nawawi, seorang pakar fikih, mencatat bahwa penghalalan dan pengharaman nikah mut'ah terjadi hanya dua kali.
Pertama, sebelum Perang Khaibar (7 H/628 M), tetapi kemudian diharamkan ketika Perang Khaibar masih berlangsung.
Kedua, pada saat pembebasan kota Mekkah (8 H/630 M), lalu diharamkan dalam jangka waktu tak terbatas.
Mengapa nikah mut'ah pernah dihalalkan?
Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Salamah bin al-Akwa': dalam suatu perang, Rasulullah pernah memberikan dispensasi kepada para sahabatnya untuk melakukan nikah mut'ah selama tiga hari, kemudian ia melarangnya.
Merujuk pada Imam Muslim pula, dari Saburah al-Juhni dijelaskan bahwa sewaktu terjadi pembebasan kota Mekkah, Al-Juhni adalah salah satu sahabat yang ikut serta.
Rasulullah sendiri mengizinkan para sahabatnya, termasuk Al-Juhni, melaksanakan nikah mut'ah.
Tapi, sejak itu, Al-Juhni tidak pulang dari kota Mekkah sampai akhirnya Rasulullah mengharamkan nikah mut'ah.
Kala itu, Rasulullah bersabda, ''Sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat."
Dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah, Rasulullah bersabda, "Wahai manusia, saya pernah mengizinkan kamu nikah mut'ah, tetapi sekarang ketahuilah bahwa Allah telah mengharamkannya sampai hari kemudian."
Para ulama Sunni berpendapat, nikah mut'ah tidak sesuai dengan tujuan dilaksanakannya nikah.
Yakni keluarga sakinah yang didasari saling mencintai (mawaddah) dan menyayangi (rahmah), serta melahirkan anak-anak sebagai buah hati bersama.
Nikah mut'ah hanya bertujuan menyalurkan kebutuhan biologis, bukan untuk mendapatkan anak dan mendidik mereka agar menjadi generasi yang saleh.
Dalam kasus nikah mut'ah, yang paling dirugikan adalah pihak perempuan.
Mereka bagaikan benda yang dengan mudah bisa pindah tangan setelah "kontrak"-nya habis.
Begitu pula anak-anak hasil nikah mut'ah. Setelah kontraknya habis, sang ibu dan anak ditinggalkan begitu saja, tak ada nafkah, tak ada waris, dan status hukumnya mangkrak alias terbengkalai.
Baca Juga: Setelah Wisata Seks Halal, Ada Lagi Wisata Seks Rumah Makan
Penulis : Deni-Muliya
Sumber : Kompas TV