Cerita Pak Harto Dijodohkan dengan Bu Tien dalam Suasana Perang
Humaniora | 25 November 2024, 14:46 WIBTernyata Pak Soemoharjomo dan Ibu Hatmanti bersedia menerima keluarga Soeharto, setelah Ibu Prawiro mendapatkan seseorang yang bertindak lebih dahulu sebagai perantara. Maka kemudian upacara “nontoni”, pertemuan antara yang akan melamar dan yang dilamar; dilangsungkan. "Agak kikuk juga sebab sudah lama saya tidak melihat Hartinah dan keragu-raguan masih ada pada saya, apakah dia akan benar-benar suka kepada saya," ujarnya.
Baca Juga: Ketika Bayi-Bayi Telantar Membuat Pak Harto Prihatin, Menko Kesra: Beranak Jangan Dianggap Enteng
Dalam pada itu sudah ada pertanda baik, yakni mereka semua suka menerima. Itu artinya lampu hijau bagi keluarga Soeharto. Ternyata pula suasana dalam upacara, “nontoni” itu baik sekali sehingga tidak diperlukan waktu lama, untuk kemudian langsung merundingkan soal waktu.
“Ini rupanya benar-benar jodoh saya,” pikir saya. Dan jodoh itu sama seperti lahir dan ajal, menurut orang tua-tua kita. Kemudian saya tahu bahwa sewaktu kami berkunjung ke rumah mereka itu, Hartinah baru saja sembuh dari sakit selama sebulan.
"Perkawinan kami dilangsungkan pada tanggal 26 Desember 1947 di Solo, pada waktu saya berusia 26 tahun dan Hartinah, istri saya, dua tahun lebih muda dari saya. Dari tempat tugas saya di Yogya saya naik sebuah kendaraan dinas tua menuju Solo. Saya mengenakan pakaian penganten, serapi-rapinya untuk waktu yang tidak tenang itu. Sebilah keris terselip di punggung saya. Waktu akan naik kendaraan itu, terasa bukan main repotnya. Sulardi yang mengantar saya, mengganggu saya sepanjang jalan."
"Perkawinan kami dilangsungkan pada sore hari dengan disaksikan oleh keluarga dan teman-teman Hartinah. Cukupan banyaknya, sebab keluarga Pak Soemoharjomo cukup terpandang dan disegani di kota ini. Dari pihak saya hadir Sulardi dan kakaknya. Tetapi kejadian yang bagi saya amat penting ini sayang tak ada yang mengabadikannya dengan potret."
Maklumlah, keadaan serba darurat. Malam harinya diadakan selamatan, tetapi cuma bisa dengan memasang beberapa buah lilin, karena kota Solo waktu itu harus digelapkan, di waktu malam, mencegah terjadinya bahaya besar jika Belanda melakukan serangan udara lagi.
Perkawinan keduanya langgeng dengan enam anak. Soeharto meninggal pada 27 Januari 2008 sementara Bu Tien meninggal lebih dulu pada 28 April 1996.
Penulis : Iman Firdaus Editor : Desy-Afrianti
Sumber : Kompas TV