Komunitas Adat di Bengkulu Minta Pemerintahan Prabowo Sahkan RUU Masyarakat Adat
Politik | 11 Oktober 2024, 10:42 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Komunitas adat di Provinsi Bengkulu meminta Presiden terpilih Prabowo Subianto mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat yang telah mandek sejak 14 tahun lalu.
Hal tersebut disampaikan perwakilan komunitas adat Tana Serawai di Kabupaten Seluma, Bengkulu, Endang Setiawan, Jumat (11/10/2024).
“Kepada presiden yang baru, 14 tahun bukan waktu sebentar kami bersabar. Ini cuma soal iktikad saja. Dan kami percaya di tangan Presiden Prabowo, ada iktikad baik untuk masyarakat adat,” kata Endang, dikutip dari siaran pers Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Bengkulu.
AMAN Bengkulu mengatakan RUU Masyarakat Adat telah diusulkan kepada pemerintah dan DPR untuk menjadi usulan undang-undang sejak 2003. Namun baru pada 2010, naskah akademik atas RUU tersebut masuk di DPR dan beberapa kali masuk dalam daftar program legislasi nasional.
Tetapi sampai kini, RUU yang menjadi payung pengakuan dan perlindungan masyarakat adat itu tak jua menjadi perhatian.
Baca Juga: Derita Masyarakat Adat di Tengah Eksploitasi Sawit dan Timah
Padahal, kata Endang, sederet konflik terutama terkait tanah dan hak masyarakat adat di Bengkulu, selalu menjadi masalah pelik.
“Di Seluma misalnya, tanah-tanah kini nyaris habis untuk perkebunan sawit. Sementara, orang-orang di kampung, sudah tidak ada lagi yang punya lahan. Ada lahan milik leluhur, itu pun dicaplok untuk HGU perkebunan,” ujarnya.
Ketua Pengurus Harian Wilayah AMAN Bengkulu Fahmi Arisandi menambahkan, kehadiran ratusan perwakilan masyarakat adat Bengkulu di Jakarta adalah bagian dari kepedulian untuk mengawal pemerintahan baru.
Sebab, untuk mewujudkan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat bergantung pada iktikad baik dan tulus dari pemerintah.
“Sudah belasan tahun, RUU Masyarakat Adat tertahan karena tidak ada iktikad baik dari negara. Karena itu, kami meyakinkan diri kalau Presiden Prabowo, punya iktikad ini,” ujar Fahmi.
Sementara perwakilan Dewan AMAN Nasional Deftri Hardianto mengatakan mandat dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35 Tahun 2012 terkait hak atas wilayah adat yang dijalankan pemerintah, masih sangat jauh dari harapan.
Baca Juga: Masyarakat Adat Awyu dan Moi di Papua Lawan Korporasi Sawit, Bagaimana Duduk Perkaranya?
Menurut AMAN Bengkulu, kebijakan lewat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan baru mencapai 75.783 hektare untuk pengembalian hutan adat.
Sedangkan penetapan tanah ulayat oleh Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertahanan Nasional sejak Indonesia merdeka, baru sebanyak 20.000 hektare.
“Ini bukti bahwa pemerintah masih setengah hati menjalankan mandat konstitusi untuk menghormati, melindungi dan memenuhi masyarakat adat,” kata Deftri.
Di sisi lain, kata Deftri, pemerintah dan DPR justru memproduksi kebijakan yang merugikan posisi masyarakat adat lewat Undang-Undang (UU) Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE).
“Bukannya mengkoreksi terhadap penataan ulang kawasan konservasi. Malah makin memperkuat sentralisasi lewat penunjukan dan penetapan kawasan konservasi tanpa memperhatikan para penunggu di wilayah adat,” kata Deftri.
Menurut data AMAN, paling sedikit 1,6 juta hektare wilayah adat masih tumpang tindih dengan kawasan konservasi. Bahkan jika merujuk pada laporan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), setidaknya ada seluas 4,5 juta hektare wilayah adat tumpang tindih di kawasan konservasi.
"Dengan rincian yang 2,9 juta ha di antaranya berada di dalam Taman Nasional, dan 6.200 desa berada di dalam dan sekitar kawasan konservasi," kata Deftri.
Penulis : Ninuk Cucu Suwanti Editor : Edy-A.-Putra
Sumber : Kompas TV