Survei Kepuasan Jokowi: Antara Bansos, Lemahnya Penegakkan Hukum dan Revolusi Mental
Peristiwa | 8 Oktober 2024, 11:05 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV- Di ujung kepemimpinannya, yang akan berakhir 20 Oktober 2024, kepuasan terhadap Presiden Joko Widodo atau Jokowi stabil di angka yang tinggi.
Hasil Survei Kepemimpinan Nasional oleh Litbang Kompas pada 27 Mei-2 Juni 2024 menunjukkan, 75,6 persen responden survei menyatakan puas terhadap jalannya pemerintahan.
Alasan terbesar masyarakat puas karena sering mendapatkan bantuan sosial atau bansos (21,7 persen). Hal ini mengalahkan alasan pada pembangunan infrastruktur yang masif dalam 10 tahun terakhir (10,5 persen).
Anggaran bansos selama satu dekade Jokowi berkuasa memang melonjak tajam. Saat Jokowi menjabat Presiden pertama kali pada 2014, anggaran bansos hanya sekitar Rp97 triliun.
Jelang akhir pemerintahan Jokowi periode pertama atau menuju kontestasi Pemilihan Presiden 2019, anggaran bansos naik menjadi Rp112 triliun.
Baca Juga: Jokowi Serahkan Keppres Pemindahan Ibu Kota ke Prabowo, Dasco: Masih Dikaji
Namun soal bansos ini bukan tanpa masalah. Dikutip dari Kompas.id, (https://www.kompas.id/baca/humaniora/2024/10/06/alarm-pembangunan-manusia-jangka-panjang?open_from=Humaniora_Page) Koordinator Kelompok Riset Kemiskinan, Ketimpangan, dan Perlindungan Sosial Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yanu Endar Prasetyo, Minggu (6/10/2024), mengatakan, meskipun angka kemiskinan turun dari 1,25 persen pada tahun 2014 menjadi 9,03 persen pada 2024, namun ketimpangan antardaerah masih menjadi masalah.
Beberapa provinsi dan kabupaten memiliki tingkat kemiskinan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya sehingga distribusi kesejahteraan belum merata.
Sementara itu, sistem pendataan masih membingungkan. Pemerintah memiliki tiga acuan data yang berbeda untuk penanganan kemiskinan, mulai dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dari Kementerian Sosial, Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) dari Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, serta Penyasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) dari BKKBN dan Kemenko Perekonomian.
”Ketiadaan data tunggal kesejahteraan sosial ini tentu akan menyulitkan akurasi dari agenda penurunan kemiskinan. Pemerintah ke depan perlu memprioritaskan adanya data tunggal kesejahteraan sosial dan menghilangkan tumpang tindih data,” kata Yanu.
Baca Juga: Jokowi Dipastikan Hadir di Pembukaan Peparnas XVII 2024 di Solo Malam Ini
Dominasi bansos membuat program pemberdayaan masyarakat belum optimal. Bahkan, bansos justru sering disalahgunakan untuk tujuan politik, alih-alih membantu masyarakat. Transparansi dan akuntabilitas dalam tata kelola bansos masih menjadi pekerjaan rumah yang belum tuntas.
Masyarakat yang belum berdaya membuat angka pengangguran masih tinggi. Walau jumlahnya menurun dari 5,7 persen pada 2014 menjadi 4,8 persen pada 2024, para pekerja dan pencari kerja masih dalam situasi sulit; badai PHK di berbagai sektor, lowongan kerja formal kian langka, hingga berujung turunnya daya beli masyarakat.
”Ini patut menjadi alarm bahwa kebijakan yang hanya berdampak sesaat harus diimbangi dengan terobosan jangka panjang,” katanya.
Belum selesai masalah tersebut, masalah sosial lain, seperti kekerasan terhadap anak dan perempuan, serta jeratan judi dan pinjaman daring (pindar) membuat ketahanan keluarga semakin rentan. Ini tergambar dalam angka perceraian yang semakin meningkat dan mengancam kualitas hidup generasi selanjutnya.
”Jargon revolusi mental yang pernah digaungkan terasa nihil di ujung pemerintahan saat ini dengan semakin lemahnya penegakan hukum pada berbagai kasus korupsi/koruptor, nepotisme, dan bahkan kejahatan jalanan yang dilakukan oleh anak-anak dan remaja justru semakin miris dan menakutkan,” tutur Yanu.
Penulis : Iman Firdaus Editor : Gading-Persada
Sumber : Kompas TV