> >

Kesaksian Anak Jenderal Korban G30S saat Peristiwa 1965: PKI Berjaya, Kondisi Ekonomi Sangat Buruk

Humaniora | 30 September 2024, 12:05 WIB
Sampul buku karya Nani Sutojo, anak dari Jenderal Sutojo Siswomihardjo. (Sumber:Iman Firdaus/Kompas.TV-)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Tanggal 30 September merupakan salah satu hari kelabu dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Tepatnya 30 September 1965, tujuh jenderal meninggal dunia secara mengenaskan dan mayatnya ditemukan di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur. Mereka kini dikenal sebagai tujuh pahlawan revolusi. Sejarah pun mencatat, Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi dalang dari peristiwa tersebut.

Salah seorang anak dari korban pembunuhan itu, Nani Nurachman Sutojo, anak Jenderal Sutojo Siswomihardjo, mengungkapkan situasi sosial, ekonomi dan politik menjelang dan ketika peristiwa itu terjadi. Dalam bukunya Kenangan Tak Terucap, Saya, Ayah, dan Tragedi 1965 (Penerbit Kompas, 2013), Nani menuliskan, pada awal 1965 PKI sedang berjaya.

"Partai Komunis Indonesia (PKI) kala itu sedang berjaya. Mereka partai komunis terbesar di negara nonkomunis," kata Nani yang kala itu berusia 15 tahun. PKI selalu menjadi pemberitaan di media massa dengan jargonnya seperti Kapitalis Birokrat-Kabir atau Tujuh Setan Desa

Baca Juga: Kisah Perwira Angkatan Udara Didakwa Sembunyikan Tokoh PKI Njoto: Kepentingan Partai Lebih Utama

Masa itu, juga bersamaan dengan konfrontasi Indonesia-Malaysia. Sehingga dalam pidato-pidatonya, Presiden Soekarno sering mengatakan, "Ganyang Malaysia!" atau "Go to Hell with Your Aid!". 

Namun di sisi lain, situasi ekonomi justru sedang morat-marit.

"Seingat saya, situasi ekonomi sebelum Tragedi 1965 boleh dikatakan sangat buruk," katanya.

Nani dan ayahnya, yang merupakan perwira tinggi militer, juga mengalami hal yang tak jauh berbeda dari rakyat kebanyakan. "Kami mendapat beras pembagian yang jelek kualitasnya, dan kami harus setiap kali menukarnya ke pasar dengan tambahan sejumlah uang untuk mendapat gantinya," katanya.

Pernah juga, Nani bersama sopir sang ayah harus mengantre mendapatkan satu jeriken minyak tanah. "Sebagian besar dari masyarakat kita memang miskin, pangan dan kebutuhan dasar sulit diperoleh," tambahnya.

Tapi, rakyat dan mahasiswa wajib ikut latihan kemiliteran sebagai sukarelawan dalam menghadapi konfrontasi dengan Malaysia. Bahkan, banyak istri prajurit harus ikut dalam indoktrinasi politik di Wisma Yani di Jalan Taman Suropati, Jakarta.

Nani yang masih remaja tak tahu persis apa yang sedang terjadi di negerinya. "Semuanya samar-samar. Tak begitu jelas situasi sosial politik saat itu dalam pemahaman saya. Saya tidak mampu bertanya banyak ke ayah karena takut dimarahi," tuturnya.

Baca Juga: Anies: Anggota BPUPKI Mendirikan Republik Ini untuk Semua, Bukan untuk Kepentingan Keluarganya

Termasuk di malam ketika sang ayah dijemput paksa oleh pasukan Cakrabirawa.

"Semua berlangsung cepat. Ayah telah dibawa pergi oleh sepasukan tentara yang mengaku bagian dari pasukan pengawal Presiden Sukarno. Cakrabirawa. Ia masih mengenakan pakaian tidur motif batik saat pergi dari rumah. Saat itu belum terbersit sedikit pun, kami tidak akan pernah bertemu lagi dengannya," katanya.      

 

 

Penulis : Iman Firdaus Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Kompas TV


TERBARU